SUHU politik kembali beranjak ke titik didih. Empat kota di Korea Selatan secara serentak diguncang demonstran Sabtu pekan lalu. Sembilan ribu mahasiswa turun ke jalan-jalan di empat kota utama: Seoul, Kwangju, Pusan, dan Taegu. Polisi, yang bergerak cepat, hari itu juga menangkap tidak kurang dari 600 mahasiswa. Di samping itu, ada juga yang luka-luka, baik di pihak polisi maupun demonstran. Tampaknya, kali ini polisi tak mau tanggung-tanggung menghadapi mahasiswa. Di ibu kota Seoul saja sekitar 30.000 polisi dikerahkan untuk menghadapi 2.000 mahasiswa yang turun ke jalan. Unjuk perasaan berubah menjadi peristiwa kekerasan tatkala polisi mulai menggunakan tongkat dan granat gas air mata. Tanpa gentar kaum perusuh membalas dengan batu dan bom molotov. Berita terakhir mengatakan, sejumlah aktivis mahasiswa, tokoh pembangkang dan politikus oposisi ditahan polisi. Di antara mereka terdapat dua orang pembangkang terkemuka yakni Kim Dae-jung dan Kim Young-sam. Tokoh pembangkang Kim Dae-jung sebenarnya sudah menjadi langganan polisi, sejak ia kembali dari pengasingannya di Amerika, 1985. Menurut Reuters, sejumlah satuan polisi telah mengurung rumah tempat Kim ditahan agar ia dan beberapa pengikutnya batal memanjatkan doa bersama untuk upacara kematian Park Chong-chol. Park adalah mahasiswa yang tewas akibat penganiayaan polisi, Januari baru lalu. Kedua polisi yang dituduh membunuh Park telah mengakui perbuatan mereka. Tapi mahasiswa kurang puas dan akhirnya turun lagi ke jalan akhir pekan lalu. Aksi-aksi militan mahasiswa belakangan memang cenderung meningkat, setelah agak mereda tahun silam. Yang sangat mendapat perhatian dari pemerintahan Chun adalah makin menonjolnya peranan para pemimpin radikal yang menunjukkan gejala kekiri-kirian. Pengaruh mereka diperkirakan meluas di kalangan buruh dan penduduk pedesaan. Pemerintah sangat prihatin melihat kegiatan sebuah organisasi yang menamakan dirinya Sanmintu (Komite Perjuangan Sanmin, yang dibentuk April 1985). Komite itu merupakan suatu ikatan solidaritas mahasiswa yang mengaku mewakili perjuangan untuk "kesatuan nasional, pembebasan massa, dan sistem demokrasi". Pemerintah biasanya memberi cap komunis kepada organisasi itu atau paling tidak anti-Amerika. Menurut kabar, Sanmintu berkoalisi dengan dua organisasi radikal lain: Dewan Pemuda Oikumene dan Liga Mahasiswa dan Pemuda Nasional Demokrasi. Sanmintu, menurut polisi, bertanggung jawab atas perebutan dan pendudukan Perpustakaan USIS di Seoul pada Mei 1985. Mereka menuduh pemerintah Amerika terlibat dalam pembantaian terhadap demonstran-demonstran mahasiswa di Kwangju. Untuk itu mereka menuntut pemerintahan Reagan secara terbuka minta maaf seraya mencabut dukungan Washington terhadap pemerintahan Chun Do-hwan. Seperti diketahui, mereka yang menduduki perpustakaan Amerika itu akhirnya menyerah dengan damai. Tapi pengadilan atas mereka yang tadinya ditunda-tunda berakhir dengan kekacauan dan berubah menjadi sidang yang mengejek sistem hukum Korea Selatan. Insiden yang terjadi di ruang pengadilan memaksa Menteri Kehakiman Kim Suk-hwi mengundurkan diri. Pemerintahan Chun lalu bereaksi dengan keras dan mengadakan penertiban di badan-badan pendidikan tinggi. Rektor Universitas Nasional Seoul, Lee Hyn-Jae, dipecat karena menolak memecat para mahasiswa yang terlibat dalam pendudukan Perpustakaan Amerika. Memang, radikalisme mahasiswa selama ini tampaknya berpusat di kampus Universitas Seoul. Untuk menjinakkan mereka, Chun menerapkan politik tangan besi. Ia mengancam akan membubarkan organisasi mahasiswa nasional, dan Dewan Mahasiswa di universitas. Undang-undang stabilisasi kampus sengaja dipaksakan untuk membunuh gerakan mahasiswa. Tapi gerakan itu masih tetap saja hidup, dan selalu reaktif terhadap soal-soal nasional. Tewasnya Park Chong-chol di tangan polisi bagaikan percik api yang kembali mengobarkan amarah mahasiswa. Tangan besi Chun sekalipun tampaknya tidak akan berhasil membendung arus protes mahasiswa. A. Dahana, Laporan Reuters & Asian Survey
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini