Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal-jenderal di Pentagon mungkin perlu belajar untuk bisa lebih kreatif. Dulu, mereka menyerang Libya cuma dengan tiga jurus sederhana: tuduh dulu, tuduh lagi lebih serius, lalu gempur. Perkara apakah Libya benar sarang teroris, itu urusan belakangan.
Lalu, jurus yang sama dipakai di Irak. Lempar tuduhan bahwa negeri itu menyimpan senjata maut, tuduh lebih serius dengan seolah-olah menemukan bukti, kemudian gempur. Hasilnya, Saddam terguling, meski senjata maut tak pernah ditemukan.
Kini, jurus tiga langkah itu juga yang akan dipakai di Iran. Dengan gencar, mereka menuduh Iran menyimpan senjata nuklir—sebuah tuduhan yang bahkan sudah disiramkan sejak Desember 2002.
Sebetulnya, pada November 2003, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengumumkan bahwa negeri para mullah itu tak terbukti mengembangkan bom nuklir. Yang bisa mereka temukan hanya indikasi bahwa Iran melakukan proses pengayaan uranium dan memproduksi plutonium. Dan ini adalah proses normal: bisa menunjukkan bahwa Iran mengembangkan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik, bisa pula memang mereka mengembangkan bom nuklir.
Toh, bagi Amerika, indikasi itu saja sudah lebih dari cukup. Bahkan, ketika pada 2003 Iran menantang untuk bersedia diperiksa lebih ketat oleh IAEA, Amerika tak peduli. Mereka tetap yakin negeri itu memang mengembangkan bom maut. Dan pada Juni 2004, Amerika mengubah tekanannya. Bersama Israel, mereka sepakat melakukan langkah diplomatik mendesak IAEA agar membawa Iran kepada Dewan Keamanan PBB.
Kali ini IAEA setuju. Sabtu dua pekan silam, IAEA mengeluarkan resolusi. Bunyinya adalah meminta Iran membekukan semua aktivitas pengayaan uranium, termasuk gedung-gedung dan instalasi pemutaran (centrifuges), dalam dua bulan. Jika tenggat pada November tak digubris, IAEA akan membawa masalah ini ke Dewan Keamanan PBB, yang akan menjatuhkan sanksi bagi pemerintahan Khatami.
Bukannya gentar dengan ancaman itu, tiga hari setelah resolusi turun, Khatami menyatakan akan terus melanjutkan program nuklirnya. "Semua program pengayaan uranium kami lakukan untuk menghasilkan listrik dan tujuan-tujuan damai. Tak ada niat membuat senjata nuklir," kata Khatami.
Situasi makin panas ketika tak sampai 24 jam kemudian Menteri Luar Negeri Israel, Silvan Shalom, menyarankan agar Dewan Keamanan PBB segera "menyelesaikan dengan tuntas mimpi buruk ini"—sebuah ungkapan diplomatik yang tak sulit diduga ke mana arahnya.
Arah itu makin jelas ketika Amerika mengajak Israel bekerja sama melalui sebuah program transfer persenjataan senilai US$ 319 juta. Inilah program penyediaan paket 5.000 bom pintar berbagai tipe. Salah satunya jenis bom penjebol bungker terbaru sebanyak 500 biji. Dengan bom ini, bungker setebal hampir 2 meter bakal tembus seperti puding karamel ditusuk garpu. Urusan apa Israel menyimpan begitu banyak bom penjebol bungker jika tidak untuk ditodongkan ke Iran?
Amerika tentu saja membantah sedang bersiap menyerang Iran. Tapi simaklah kata bersayap Menteri Pertahanan AS Colin Powell: "Kita tak membahas soal serangan (terhadap Iran). Tapi setiap opsi tentu saja tersedia."
Di mata Joseph Cirincione dari Carnegie Endowment for International Peace, Washington, tak disangsikan lagi, "Inilah persenjataan untuk perang. Akan ada serangan udara dalam skala besar, yang menyebabkan korban dalam jumlah besar juga."
Andaikan Cirincione benar, faktor apakah yang membuat Bush begitu bergegas? Adakah karena mengejar tenggat sebelum pemilu yang juga jatuh persis pada bulan November?
Akmal Nasery Basral (BBC, Al-Jazeera)
Nuklir dalam Kalender
1960
Program nuklir Iran dimulai atas dukungan AS dalam kerangka perjanjian bilateral kedua negara.
1967
Pusat Nuklir Teheran dibangun.
1974
Dimulai dari Kota Busher, Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi mengembangkan 20 pusat nuklir yang tersebar di seantero Iran. Fasilitas ini dibangun atas bantuan teknologi dari AS serta perusahaan-perusahaan Barat lain, seperti Kraftwerk Union (anak perusahaan Siemens).
1975
Massachusetts Institute of Technology menandatangani kontrak dengan Badan Energi Atom Iran (AEOI) untuk melatih para insinyur nuklir negeri itu.
1979
Revolusi Islam Iran menghentikan sementara semua program nuklir yang sedang berjalan. Siemens keluar dari proyek Busher.
1980-1988
Perang Irak-Iran, yang menyedot banyak biaya, menyebabkan program pengembangan nuklir mati suri.
1990
Iran memulai negosiasi dengan Rusia untuk mengaktifkan kembali proyek PLTN Busher yang terbengkalai.
1992
Cina sepakat membangun dua reaktor 950 watt di Kota Darkhovin. Namun, itu belum terealisasi sampai sekarang.
1995
Kesepakatan kontrak senilai US$ 800 juta (setara dengan Rp 7,2 triliun) diteken pemerintah Iran dan Kementerian Atom dan Energi Rusia (Minatom) di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Desember 2002
Amerika Serikat menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir. Sebuah organisasi anti-pemerintah Iran, Mujahidin Khalq, merilis dua gambar reaktor nuklir di Natanz dan Arak.
11 November 2003
IAEA mengumumkan tak ada bukti bahwa Iran sedang berusaha mengembangkan bom atom.
13 November 2003
Pemerintah AS menilai laporan IAEA ”tak mungkin dipercaya”.
Juni 2004
Menteri Luar Negeri Iran, Kamal Kharrazi, menyebutkan negerinya telah mencapai kemampuan teknis yang amat tinggi dan diakui oleh komunitas klub nuklir internasional.
24 Agustus 2004
Iran menyatakan akan melawan Israel ”atau negara mana pun” yang akan menerapkan serangan penangkalan (preemptive strike) terhadap berbagai program nuklirnya.
18 September 2004
Sebuah resolusi yang dikeluarkan IAEA menyerukan agar Iran menyetop semua program pengayaan uranium yang sedang dilakukannya.
21 September 2004
Iran menyatakan akan tetap melanjutkan semua program nuklirnya untuk mengolah 37 ton uranium dengan alat pemutar (centrifuges) yang akan menghasilkan bahan bakar untuk reaktor nuklir sipil dan bukan untuk pengembangan bom atom.
Akmal Nasery Basral (Reuters, Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo