Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para mahasiswa Jurusan Teknik Hidraulik Universitas Qinghua, Beijing, era 1960-an agaknya sulit melupakan nama ini: Hu Jintao. Dikenal berpotongan klimis dan pandai berdansa, putra saudagar teh antarprovinsi itu "bisa meluncur seperti bidadari pada saat berdansa," begitu teman-temannya melukiskan kemahiran Hu di lantai dansa. Seperti lazimnya aktivitas pemuda di Cina saat itu, pria kelahiran 21 Desember 1942 ini masuk Liga Pemuda Komunis (LPK).
Hu juga aktif mengurus koran populer yang diterbitkan LPK, yaitu Cina Youth Daily. Dia menggunakan media itu untuk membantu propaganda melawan Barat, yang disebutnya sebagai borjuis liberal. "Dia pragmatis, berpikiran terbuka, dan berhasil mempengaruhi pemuda Cina di awal dekade," kata Fred Hu, temannya pada masa sekolah yang kini tinggal di Hong Kong.
Kini, 40 tahun kemudian, Hu Jintao si pedansa ulung menjadi orang paling berkuasa di Republik Rakyat Cina. Tiga posisi penting ada dalam genggamannya: Presiden, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC), sekaligus Ketua Komisi Militer Pusat. Pemerintah, partai komunis, dan militer adalah tiga pilar kekuasaan yang menopang negeri berpenghuni 1,3 miliar manusia itu. "Saya tak pernah membayangkan dia akan menjadi pemimpin Cina," kata mantan teman sekolah Hu Jintao.
Jangankan si teman sekolah. Bahkan para pengamat politik Cina tak pernah memprediksi tiga kuasa tertinggi di negeri itu bakal dipegang Hu Jintao. Apalagi Hu tak pernah masuk Klik Shanghaikelompok elite politik di bawah mantan presiden Jiang Zemin. Kelompok ini dikenal memiliki lobi yang kuat dan bisa ikut menentukan pemegang posisi kunci di PKC dan militer. Salah satu anggotanya adalah mantan perdana menteri Zhu Rongji.
Toh, Hu Jintao membuktikan bahwa dia bisa berdansa ke puncak kekuasaan tanpa harus terikat pada Klik Shanghai. Pertautannya dengan PKC dimulai selepas dia lulus kuliah pada 1965 dengan menjadi instruktur politik dalam partai. Tugasnya "mengajarkan" teori Marxis kepada para mahasiswa. Saat Revolusi Kebudayaan di Cina memuncak pada era 1968, Hu dikirim ke Provinsi Gansu. Dia ditugasi mengurus perumahan bagi para petani yang digusur karena ada pembangunan waduk.
Peran "penting" pertama yang disandang Hu adalah Sekretaris PKC di (wilayah otonomi) Tibet. Gaya kepemimpinan Hu mulai terlihat ketika ia mengatasi aksi demonstrasi yang menuntut kemerdekaan Tibet, awal 1989. Dalam kerusuhan politik itu, sejumlah aktivis dan warga Tibet tewas. Hu dituding sebagai orang yang bertanggung jawab dalam insiden itu. Kecaman dan cacian pun muncul dari gerakan prodemokrasi. Tapi, di mata para penguasa di Beijing, tindakan kerasnya meredam aksi di Tibet itu justru prestasi yang layak diganjar "pahala".
Setapak demi setapak Hu mulai merambat ke puncak. Berbagai jabatan penting partai pun disandangnya. Pada 1992, Hu Jintao masuk jajaran elite PKC. Dalam usia 50 tahun itu ia terpilih menjadi satu dari sembilan anggota Komite Pusat Politbiro PKCkalau di Indonesia, ini semacam Dewan Syuro di Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam sejarah politik di Cina, Hu memecahkan rekor dengan menjadi anggota komite politbiro paling muda.
Komite ini antara lain bertugas menggodok nama-nama calon pejabat PKC dan militer. Sepuluh tahun kemudian, saat dilangsungkan Kongres Nasional PKC ke-16, Hu Jintao terpilih menjadi Sekretaris Jenderal PKC, menggantikan Jiang Zemin, yang ketika itu Presiden Cina. Setelah itu, Hu semakin melaju.
Dalam Kongres Nasional Rakyat Cina ke-10, pertengahan Maret 2003 lalu, Hu terpilih menjadi Presiden Cina periode 2003-2008, menggantikan Jiang Zemin. Kekuasaan Hu kian kuat ketika Komite Pusat PKC mengukuhkannya sebagai Ketua Komisi Militer Pusat, yang memberinya wewenang mengendalikan 2,5 juta tentara (bandingkan dengan Indonesia, yang hanya memiliki sekitar 300 ribu tentara).
Alhasil, tukang dansa pada masa sekolah itu telah meraih impian yang jauh lebih luas daripada sekadar kesohoran di lantai dansa. Dia menjadi tokoh nomor wahid dalam lakon politik Cina dengan 1,3 miliar penonton: para anak Negeri Tirai Bambu.
Johan Budi S.P. (Times, AFP, BBC News, Xinhua NA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo