Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusar ada di mana-mana.
Pura Besakih, yang terletak di kaki Gunung Agung, Bali, adalah sebuah pusar, juga ibu dari segala pura di Bali. Semua pura kecil, pura-pura keluarga di Bali, menginduk ke sana. Dalam setiap Odalan (perayaan ulang tahun pura), banyak orang dari segala penjuru datang bersembahyang.
Di Jawa, Gunung Tidar adalah pusar. Awalnya, Pulau Jawa terapung-apung di samudra. Seperti sepotong gabus ia diempas gelombang, terlempar ke sana-sini, sehingga dibutuhkan sebuah paku untuk menancapkan pulau kosong itu ke bumi. Paku itu berupa bukit. Itulah mengapa Borobudur dibangun di dekat perbukitan Tidar.
Dan di Yunani, pusar itu adalah Delphi.
Alkisah, Zeus ingin mengetahui di mana pusat semesta. Ia melepas dua ekor elang, satu terbang ke timur, satu ke barat. Tempat bertemu kembali dua ekor burung itu adalah pusat alam semesta. Dan ternyata elang-elang itu bersua di sebuah pegunungan karang bernama Delphi.
Tiap kebudayaan memiliki mitologi sendiri mengenai axis mundi, pilar semesta. Dan hari itu Bajra Sandhi melakukan ziarah ke Delphi, yang kini menjadi salah satu situs terbesar di Yunani di bawah lindungan UNESCO. Perjalanan dari Athena memerlukan waktu tiga jam. Rutenya meliuk-liuk. Sepanjang jalur melewati dataran tandus, garing, dengan bukit-bukit berumput kering. Kesan pertama, situs yang luas penuh puing-puing reruntuhan ini sama sekali lengang. Jauh berbeda dengan Akropolis, Athena, daerah yang selepas pukul sepuluh pagi sudah mulai diserbu turis. Tapi justru itulah, aura arkaiknya lebih terasa.
"Suasana pegunungan batu-batunya mengingatkan saya pada daerah Culik, Bali," kata Granoka. Gunung karang Delphi terletak di pinggir jalan. Dua tebing kembar raksasa bernama Phaedriades menjadi pusat kompleks itu. Untuk menapak ke atas, pertama kita harus melalui bekas sumber air suci Castalia, tempat dahulu para pendeta "berwudu". Begitu masuk, terdapat jalan setapak berbatu yang disebut jalan kekudusan.
Segera kita melihat bahwa dahulu kompleks ziarah ini memanfaatkan topologi lereng tebing yang bergelombang. Dulu, kuil dibangun pada tiap saf lereng itu. Setiap kota besar di Yunani dahulu seperti Athena, Thebes, Sparta, Thessaly, memiliki semacam kuil perwakilan untuk melakukan sembahyang dan persembahyangan seperti di Delphi. Tapi yang menjadikan Delphi terkenal adalah kepercayaan masyarakat Yunani bahwa Delphi adalah tempat mencari orakel atau ramalan Dewa Apollo. Menurut para arkeolog, sekitar abad ke-7 SM berbagai nubuat Apollo sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial masyarakat Yunani.
Letak Kuil Apollo ini di atas reruntuhan kuil-kuil milik kota. Kini tinggal pilar-pilar polos. Sepi sendiri, namun tetap seperti berkata sesuatu. Panorama sekeliling yang terjal dan memungkinkan kita melihat lanskap luas di bawahdari atas pilar-pilaritu tampak menggetarkan. Dahulu, setiap warga Yunani dapat menanyakan nasibnya di Kuil Apollo. Untuk masuk kuil, pertama-tama mereka harus membersihkan tubuhnya dengan mata air, pancuran suci Castalia.
Dari berbagai inskripsi dapat diketahui, setelah itu para penziarah di dalam kuil menemui para wanita medium yang disebut Pythia. Phytia akan mendengar segala pertanyaan. Phytia kemudian akan mengunyah daun salam, meminum air suci Kassotis, menghirup semburan uap retakan tanah. Ekstase, ia akan menjawab segala pertanyaan dengan kata-kata yang tak jelas, samar. Para pendeta lalu menerjemahkan, kadang dalam bentuk puisi atau prosa. Yang datang ke Kuil Apollo bukan hanya warga, tapi juga para politisi. Ramalan Delphi terkenal karena memberikan nujum-nujum yang humanistis dan memberikan dorongan untuk melakukan reformasi politik dan sosial yang menuju terbentuknya gagasan demokrasi.
Bila diperhatikan arsitektur lokasinya, Delphi mengingatkan pada lokasi dan konsep berbagai candi atau petilasan milik kita sendiri. Misalnya, kompleks percandian di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, yang dibangun pada abad ke-11 oleh Dharmawangsa Teguh, mertua Erlangga (anak Udayana). Kompleks ini dahulu merupakan wanaprasta atau tempat penggemblengan dan pengisolasian para calon pandita dalam agama Hindu.
Candi-candi ditata sedemikian rupa hingga letak ketinggiannya hierarkis sesuai dengan tingkat "samadi" calon pandita. Tempat paling bawah di kaki barat Penanggungan adalah Petirtaan Jolo Tundo. Sama seperti mata air Castalia di Delphi, mata air ini menjadi semacam Sungai Gangga kecil, tempat awal pembasuhan diri mereka yang hendak menapak naik. Lokasi Penanggungan mungkin lebih terjal dibandingkan dengan Delphi. Candi Kendalisodo, misalnya, ditatah pada bibir tebing. Tanjakannya demikian curam sehingga bila mendakinya kita harus merayap dengan posisi lutut kita bertemu dagu
Yang sangat membedakan Yunani dengan kita kini adalah museum. Setiap situs di Yunani selalu dilengkapi museum yang sangat informatif. Museum Delphi, misalnya, memiliki data-data ekskavasi yang sangat lengkap, hingga kita bisa membayangkan bagaimana kompleks ziarah Delphi waktu itu. Berbagai patung, pilar-pilar, relief-relief yang ditemukan dirawat dengan baik dan diberi penjelasan ilmiah. Dengan data-data itu, imajinasi kita bergerak bukan pada yang klenik, melainkan pada berbagai pencapaian dan keruntuhan sebuah peradaban.
Berbeda dengan rata-rata artifak kita yang tak dilengkapi museum memadai. Bahkan arca-arcanya makin lama makin hilang. Di Penanggungan, yang tingginya 1.659 meter di atas permukaan laut itu, misalnya, mulanya tersebar 81 situs candi. Kini yang terdeteksi cuma 40 buah. Itu pun banyak yang rusak. Padahal relief-relief di sana menggambarkan cerita asli tanah Jawa: Panji, Arjuna Wiwaha, Bima Ruci, sosok-sosok yang tidak ada dalam Hindu India.
Bila menatap patung-patung di Delphi, mungkin ada benarnya spekulasi pemikiran yang menyatakan bahwa sesungguhnya alam pikir religius Yunani sedikit-banyak dirembesi pemikiran "Timur". Filsuf-filsuf pertama Yunani datang dari Asia kecil, daerah yang banyak dirasuki pemikiran Timur. Gerak kebudayaan memang pada dasarnya osmosis, saling menyerap. Lihat, misalnya, patung Sphinx setinggi 10 meter yang berada di Museum Delphi. Mirip imajinasi patung-patung Mesir.
Berkepala wanita, bertubuh singa, dan bersayap, patung ini adalah patung persembahan dari Naxians, diperkirakan sekitar tahun 570 SM. Letaknya dahulu di lereng karang Sybil. Patung ini populer karena miniaturnya banyak dibikin oleh industri keramik Yunani. Kalau kita jalan-jalan ke toko-toko kerajinan antik di Plaka, Athena, banyak ditawari "Sphinx kecil" dengan harga cukup mahal.
Turun dari areal Bukit Phaedriades, menyeberang jalan kita menuju kawasan lain Delphi. Di sana terdapat Tolos, sebuah puing terkenal karena kecantikan arsitekturalnya. Diduga dibuat pada tahun 4 SM, bentuknya berupa saf-saf lingkaran pilar. Lingkaran luarnya patah, tapi jelas terlihat dahulunya terdapat 20 pilar bergaya Dorian. Lingkaran dalam tinggal tersisa tiga kolom. Para arkeolog sampai kini belum tahu sesungguhnya apa fungsi dan tujuan bangunan ini. Diduga, itulah bangunan pemujaan. Tapi sejauh ini tak ada yang berani memastikan.
Delphi adalah sebuah pembuka wawasan bagi kelompok Bajra Sandhi. Dan itu bisa mempengaruhi perjalanan kreativitas mereka. Sebab, setelah berziarah, tiba-tiba kelompok ini ingin pementasan selanjutnya bisa dilakukan di petilasan atau candi di Jawa atau Bali yang letaknya di ketinggian. "Kami akan membawa Bajra Sandhi untuk melakukan pertunjukan di kompleks Ratu Boko di Jawa Tengah dan Gunung Padang," kata Ngurah Paramartha, Ketua Gigir Manuk, yang bekerja sama dengan Bajra.
Boko dipilih karena dari atas dapat terlihat panorama indah Gunung Merapi. Kompleks yang diduga didirikan pada sekitar abad ke-7 Masehi ini masih mengandung misteri: apakah ia dulu candi, petilasan, atau benteng. Sedangkan Gunung Padang, yang letaknya 35 kilometer dari Cianjur, diduga merupakan peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara.
Di situ terdapat tumpukan ribuan blok batu andesit yang tersusun membentuk teras berundak-undak. Terdiri dari lima tingkatan, makin ke atas makin kecil. Di situ terdapat pelataran rerumputan yang cukup jembar. Kita bisa melihat ke bawah pemandangan lebat perbukitan. Masih ada tanda tanya apakah susunan blok-blok batu itu diatur tangan manusia atau alam. Tapi, yang menarik, di situ terdapat batu-batu dengan tata pola tertentu yang bila kita pukul mengeluarkan suara-suara bak gamelan. Tiap batu bisa berbeda-beda nadanya. Secara alami, situs itu memang memiliki akustik yang baik. Para sinden daerah Cianjur percaya, bila mandi di mata air yang terdapat di bawah situs akan mendapatkan aura "kesindenan". Karena itu, lokasi ini menarik untuk pertunjukan kesenian, apalagi yang berorientasi "spiritual" seperti Bajra Sandhi.
Menziarahi Delphi adalah awal proses untuk mengenali kembali sejarah kita sendiri yang gelap .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo