Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OTONG Zaenuddin duduk terpekur di kedai kopi di bibir Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Kakinya ditekuk, matanya menatap ke waduk. Kopi yang tinggal separuh gelas ia biarkan jadi dingin. Kamis pekan lalu itu, seperti hari-hari sebelumnya, tak banyak orang yang memakai ojek perahu tempelnya. Sejak kemarau tiba, air waduk menyusut drastis. Biasanya, selain melayani penumpang rutin, ia menjalani rute Kampung Serpis, Jatiluhur, ke Desa Ciririp, nun di seberang waduk, pergi-pulang. Selalu ada penumpang yang cuma ingin diajak berkeliling waduk. Tapi sekarang, karena air menyusut, penumpang pelesiran seperti itu tak ada lagi.
Kemarau tak hanya membuat air waduk melorot dan membuat putaran turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatiluhur melemah. Karena debit air berkurang drastis, kualitasnya pun sangat merosot. Otong masih ingat, sepuluh tahun lalu air di waduk itu masih berwarna biru bening. Sekarang, yang ada adalah warna kuning keruh. Ini terutama terlihat di sejumlah lokasi keramba, seperti di blok Tanggul Usman, Pasir Laya, dan Pasir Jangkung.
Keruhnya waduk terjadi sejak bermunculannya keramba jaring-jaring terapung milik para petambak. Saat ini di waduk seluas 83 kilometer persegi itu tersebar 3.083 unit keramba milik 209 petambak. Dari ribuan keramba itu setiap tahun dikeruk 16.869 ton ikan. Dan setiap hari, pemilik tambak menebar sekitar 10 ton pakan ikan. Dengan tebaran sebanyak itu, bagaimana mungkin air waduk bisa bening?
Tak hanya membuat air jadi keruh, berton-ton pakan ikan juga menyebabkan air waduk berbau amis. Padahal, danau buatan ini adalah sumber pengairan bagi sekitar 240 ribu hektare areal persawahan di wilayah Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Karawang, Subang, dan sebagian Indramayu. "Sebelum ada keramba, air waduk tak pernah berbau," kata Warisdi, pengojek perahu tempel lainnya.
Tjetjep Sudjana, Direktur Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, tak membantah bahwa waduk yang ada di bawah tanggung jawabnya itu mengalami pencemaran. Tapi ia memastikan, pencemaran tidak mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan. Dia juga menjamin kiriman air baku dari Waduk Jatiluhur untuk kon-sumsi warga DKI Jakarta aman dari limbah berbahaya. "Saya bisa menjamin itu," katanya.
Tjetjep boleh jadi benar. Mungkin saja ribuan keramba itu tidak banyak mempengaruhi kualitas air Jatiluhur. Tapi, jangan lupa, di arah hulu Jatiluhur ada dua waduk yang kondisinya juga mulai tercemar. Kedua waduk itu adalah Waduk Saguling dan Cirata, yang airnya juga mengalir ke Jatiluhur.
Lilik Tjarli Tahlan, Corporate Secretary PT Indonesia Power, anak Perusahaan Listrik Negara yang menangani Waduk Saguling, mengatakan timbunan limbah pakan ikan itu hanyalah bagian kecil dari penyebab tercemarnya air waduk. "Yang paling parah adalah limbah buangan rumah tangga dan industri yang mengotori daerah aliran Sungai Citarum," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Ia mengakui, dibandingkan dengan Cirata dan Saguling, kondisi air di Jatiluhur tergolong "bersih". Menurut Lilik, parahnya kondisi Saguling terutama akibat rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kualitas air di daerah aliran Sungai (DAS) Citarum, sumber pemasok utama air waduk. Dari sumber mata airnya di Gunung Wayang, Sungai Citarum berkelok-kelok sepanjang 268 kilometer membelah dua kota dan enam kabupaten di Jawa Barat. Dengan jalur sepanjang itu, memang bisa dibayangkan berapa banyak limbah rumah tangga seperti sampah yang dibuang ke Citarum setiap hari.
Itu baru limbah rumah tangga. Sungai Citarum juga menampung sulfur akibat aktivitas Gunung Patuha dan Tangkubanperahu. Sungai ini sekaligus pula menjadi tempat pembuangan limbah dari sekitar 1.500 industri di Cekungan Bandung, seperti Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Dayeuhkolot, Ujung Berung, Cimahi, dan Padalarang. Dari sini saja, Citarum harus menampung 280 ton limbah kimia anorganik setiap hari. Tak salah jika Lilik menyebut Saguling, yang menampung air Citarum, sebetulnya lebih mirip "septic tank" raksasa ketimbang sumber air bersih. "Gimana enggak? Semua sampah masuk ke sini," ujarnya.
Lilik tidak sedang menakut-nakuti. Dari hasil penelitian yang dilakukan PT Indonesia Power bersama Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran, Bandung, pada tahun 2004 kualitas air Waduk Saguling sudah di atas ambang batas normal. Kandungan merkuri (Hg), misalnya, meroket hingga menembus angka 0,236. Padahal, menurut standar baku mutu, angka aman adalah 0,002.
Logam merkuri itu, menurut penelitian PPSDAL Universitas Padjadjaran, berasal dari pakan ikan dan industri plastik. Sedangkan logam berat lainnya berasal dari pabrik tekstil untuk proses pewarnaan kain (lihat tabel). Timbunan logam inilah yang akan menjadi bom waktu. "Sekarang air Waduk Saguling tidak layak lagi dimanfaatkan untuk konsumsi, pertanian, dan perikanan," kata Lili.
Kondisi di Waduk Cirata, sekitar tiga puluh lima kilometer dari Waduk Saguling, pun setali tiga uang. Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata, Eman Surachman, mengatakan pihaknya pernah melakukan penelitian bersama Laboratorium Jatiluhur dan Laboratorium Higiene Industri dan Taksikologi Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasil penelitian bulan Juni lalu itu cukup mengejutkan. Dari beberapa sampel ikan mas dan nila yang diambil dari jaring apung petambak di waduk seluas 6.200 hektare itu, ditemukan empat kandungan logam berat. "Keempatnya adalah timbel (Pb) 0,6 part per million (ppm), zinc/seng (Zn) 22,45 ppm, krom (Cr) 0,1 ppm, dan air raksa atau merkuri (Hg) 179,13 partikel per berat badan (ppb)," kata Eman. Tak mengherankan jika pertengahan Juli 2004 lalu Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Cianjur mengeluarkan data bahwa kematian ikan di Waduk Cirata, yang mencapai 300 ton, adalah akibat koi herpes virus.
Tentu saja, selain virus, pekatnya limbah ikut membuat ikan-ikan itu meregang nyawa. Nah, bila ikan saja tercemar lalu mati, memang sulit membayangkan bahwa air waduk masih aman dikonsumsi. Baik Lili maupun Eman mengakui, air Waduk Saguling dan Cirata kini tak lagi layak konsumsi karena baku mutu air normal untuk minum sudah terlewati. Yang masih agak lumayan adalah air Waduk Jatiluhur. Dengan posisi di hilir, Jatiluhur bernasib lebih baik karena air kotor dari hulu secara alamiah ditampung lebih dulu oleh Waduk Saguling dan Cirata.
Meski sulit mengatasi pencemaran, toh upaya meminimalkan risiko tetap dilakukan. Di Waduk Saguling, misalnya, sudah dipasang dendistrik atau kumpulan drum di pintu masuk air untuk menahan limbah. Selain itu juga diadakan arboretum atau penghijauan kembali kawasan hulu sungai. "Mengeruk waduk sebesar itu jelas tidak mungkin," kata Lili.
Tapi, dengan tingkat pencemaran yang begitu tinggi, memang upaya tersebut lebih mirip menggarami laut. Jika ini terus terjadi, bukan mustahil ketiga waduk itu lebih pantas disebut kubangan sampah ketimbang sumber air bersih.
Raju Febrian, Rini Srihartini (Bandung), Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo