Pertalian itu putus seiring dengan keluarnya satu maklumat pekan lalu. Isinya, pemerintah Arab Saudi menyatakan "perang" melawan kaum Wahabi, yang dituding menjadi kaki tangan jaringan Al-Qaidah di kerajaan itu. Keputusan ini membikin banyak orang melongo—termasuk Amerika. Maklumlah, hampir ratusan tahun Wahabi dijadikan agama dan ideologi politik resmi Arab Saudi. Pertalian Wahabi dan pihak Kerajaan Arab Saudi bahkan terpatri jauh ke belakang sejak abad ke-18.
Gerakan ini lahir pada masa kepemimpinan dwitunggal Muhammad ibn Saud dan Muhammad ibn Abdul Wahab pada 1744 di kawasan tengah Jazirah Arab. Ibn Saud memegang kekuatan politik dan Ibn Abdul Wahab menjadi pemimpin spiritual—kolaborasi yang saling menguntungkan. Ibn Saud memiliki legitimasi atas kaum muslim. Sebaliknya, Ibn Abdul Wahab mengegolkan ajarannya menjadi agama resmi negara. Pada tahap ini kreasi kedua pemimpin tersebut melahirkan negara Saudi-Wahabi.
Sepeninggal Ibn Saud pada 1765, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya, Abdul Aziz ibn Muhammad. Abdul Aziz meneruskan impian ayahnya untuk meluaskan kekuasaan ke seluruh Jazirah Arab. Dengan bantuan Inggris dia mencaplok Kuwait pada 1811. Mekah dan Madinah takluk. Damaskus (kini ibu kota Yordania) dan Irak menunduk pula ke bawah bendera Saudi-Wahabi.
Sepak terjang Aziz segera dibalas Kerajaan Turki, yang saat itu menguasai Damaskus. Turki juga berhasil membebaskan sejumlah daerah lain dari cengkeraman Wahabi. Keluarga Saud pindah ke Jeddah. Di bawah perlindungan Inggris mereka menggeliat bangun dan menyusun kembali kekuasaannya sembari menantikan lahirnya seorang pemimpin baru.
Abdul Aziz ibn Abdul Rahman al-Saud adalah nama pemimpin baru itu. Dia segera mematok "program kerja" yang jelas: memerangi dan mengusir para penguasa lokal yang bergelar khalifah. Salah satunya, Khalifah Al-Rashid buru-buru hengkang ke Kuwait. Singkat cerita, jazirah timur Arabia akhirnya jatuh ke tangan Rahman al-Saud serta mitranya, pemerintah kolonial Inggris.
Al-Saud memerintah dengan tangan besi. Enteng saja dia menggantung dan memajang kepala musuh-musuh politiknya di gerbang kota. Dia lantas memproklamasikan diri sebagai Sultan Najdi dan Hijaz, pada 8 Januari 1926. Maka bertakhtalah dinasti baru Saudi-Wahabi di tanah Arab. Pada 23 September 1932, keluarga Ibn Saud berganti kulit menjadi pemimpin Kerajaan Arab Saudi. Mereka juga menetapkan Wahabi sebagai agama dan ideologi politik negara.
Dalam pada itu, hubungan antara anak-cucu Ibn Saud dan pengikut Syekh Abdul Wahab mulai dilanda pasang-surut. Ketika Ibn Saud mengangkat dirinya sebagai penguasa tunggal Arab-Saudi, ia merapatkan diri ke Inggris dan membunuhi pengikut Wahabi yang menentangnya. Ketegangan muncul. Sekelompok Wahabi puritan bahkan sudah mengangkat senjata untuk menghapus sistem kerajaan dari Jazirah Arab.
Pada musim haji tahun 1979, mereka mencoba merebut kekuasaan pemerintah Arab Saudi di Mekah dengan mengangkat seorang khalifah. Kekhalifahan, bagi mereka, lebih Islami ketimbang bentuk kerajaan ala keluarga Ibn Saud. Akibatnya, penguasa Arab Saudi segera memerintahkan tentaranya agar menghabisi kaum Wahabi kendati harus menerobos Ka'bah dengan sepatu lars dan senjata.
Daniel Pipes, Direktur Forum Kajian Timur Tengah dan penulis buku Militant Islam Reaches America, menilai hubungan kerajaan dan pengikut Wahabi sempat akur lagi ketika ada rekrutmen mujahidin pada era 1980. Ketika itu hampir 25 ribu orang mendaftar sebagai mujahidin. Mereka dilatih oleh Pusat Intelijen Amerika (CIA) untuk melawan tentara Rusia di Afganistan. Pihak Kerajaan Saudi menyumbangkan banyak dana dalam kerja sama dengan CIA ini.
Dalam bukunya Inside Islam, Reza F. Safa bahkan memperkirakan Kerajaan Saudi telah menggelontorkan dana US$ 87 juta (sekitar Rp 696 miliar) sejak 1973 untuk mengembangkan gerakan Wahabi di AS dan negara Barat lainnya. Hubungan mesra AS, Arab Saudi, dan Wahabi mengalami titik balik setelah tragedi 11 September 2001. Amerika memburu mereka dan terang-terangan menuding Arab Saudi sebagai penyokong gerakan terorisme Wahabi.
Toh pemerintah Saudi baru bereaksi keras setelah bom mengguncang Riyadh tiga pekan lalu. Sejumlah warga AS dan penduduk lokal tewas. Amerika meradang. Arab Saudi kali ini mengangguk pasrah. Lalu perburuan kaum Wahabi pun dimulai.
Rommy Fibri (Al-Islami Online, Front Page Magazine)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini