Andaikata Muhammad ibn Abdul Wahab—punggawa besar gerakan Wahabi—masih hidup, barangkali dia akan menitikkan air mata pada hari-hari ini. Kaum keturunannya, para penganut Wahabi, kini diburu bagai penjahat di seantero Kerajaan Arab Saudi. Pasalnya, kelompok Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin—kebanyakan mereka penganut Wahabi—diduga menjadi pelaku pengeboman di Riyadh, Chechnya, dan Casablanca pada tiga pekan lalu. Korban yang tewas dalam peristiwa itu 34 orang—terdiri dari warga lokal dan Amerika. Bom itu pula melukai 200 lebih korban.
Pemerintah Riyadh pun segera bergerak. Pada Selasa pekan lalu di Madinah, polisi membekuk sepuluh orang yang diduga menjadi dalang pengeboman di Riyadh. Salah satunya Ali Abdulrahman al-Ghamdi. Dia disebut-sebut mendapat perintah langsung dari Usamah bin Ladin, pimpinan jaringan Al-Qaidah. Ghamdi termasuk salah satu dari 19 orang yang wajahnya dipajang oleh Kementerian Dalam Negeri Saudi kepada publik.
Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Pangeran Nayef bin Abdul Aziz, menilai penahanan tersebut adalah kemajuan berarti dalam proses penyelidikan pasca-pengeboman. Peristiwa berdarah di Riyadh yang memetik nyawa sejumlah warga lokal dan Amerika Serikat itu memang telah mencoreng nama Saudi di dunia internasional dan membuat Raja Fahd berang bukan main.
Kerajaan serta-merta mengambil langkah yang keras. Raja Fahd memberi maklumat bahwa pemerintah akan memerangi dan menumpas habis terorisme. Lalu, Pangeran Mahkota Abdullah mengumumkan satu aturan baru yang "tidak biasa", yakni "barangsiapa yang melakukan kejahatan dan kekerasan atas nama agama, dia akan dituduh melakukan terorisme dan dihukum sekeras-kerasnya". Hingga saat ini, sudah seratusan orang yang ditahan dan diinterogasi.
Deklarasi untuk memerangi terorisme Wahabi amat melegakan hati Amerika. Presiden AS George W. Bush dan para punggawanya sudah lama mendesak dan membujuk penguasa Kerajaan Saudi agar jangan sedikit pun memberi hati kepada kaum militan di negeri mereka yang menjadi lahan subur terorisme. Tapi segala bujuk-rayu Amerika ditanggapi dingin saja oleh Saudi. Maklumlah, Wahabi sudah menjadi sekte resmi kerajaan itu selama hampir dua setengah abad (lihat Habis Manis, Kawan Diburu).
Keluarga kerajaan juga tak segan mengalirkan dana ratusan juta dolar untuk mengembangkan gerakan dan ajaran Wahabi di dalam ataupun di luar negeri. Apa boleh buat. Sikap pemerintah Saudi terhadap kaum Wahabi terpaksa berbalik total ketika bom menggelegar di depan hidung mereka dan menewaskan puluhan orang. Para penyelidik Arab Saudi, dibantu sekitar 66 personel Biro Penyelidik Federal (FBI), segera berwaspada terhadap kemungkinan serangan berikutnya.
Belum jelas apakah bom itu diledakkan untuk merusak kepentingan AS. Yang jelas, bom itu mengguncang Riyadh setelah Presiden Bush berpidato di atas kapal perang Abraham Lincoln, 13 Mei silam. Di hadapan ribuan prajurit, Bush bersabda: "Perang terhadap terorisme memang belum selesai. Tapi Anda sekalian bisa melihat bahwa 'pasang sudah mulai surut'." Alih-alih surut, 34 nyawa lebih melayang tiga hari setelah pidato itu diucapkan dan cuma beberapa jam sebelum kunjungan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell ke Riyadh.
Peristiwa berdarah ini berlanjut di Chechnya dan Casablanca, Maroko. Ratusan orang meninggal dunia dan terluka. Padahal, di dua negara inilah Powell berencana menunaikan hajat diplomatiknya. Presiden Bush marah bukan main. "Perang harus kita lanjutkan," katanya. Dia juga kembali mendesak pemerintah Saudi agar jangan berlenggang-kangkung saja menghadapi terorisme. Raja Fahd pun mengangguk. Lalu keluarlah maklumat dan sederet aturan ketat yang bertujuan menjaring teroris.
Lantas, apa yang membuat pemerintah Arab akhirnya sepakat dengan AS soal kaum Wahabi yang "menggunting dalam lipatan"? Sejak Perang Teluk I pada tahun 1991, pemerintah Raja Fahd menghadapi tumbuhnya oposisi. Sebagian gerakan oposisi ini dipandu oleh kaum Wahabi konservatif yang militan. Golongan ini berpendapat, kehadiran tentara Amerika di tanah Saudi sejak 12 tahun silam itu adalah sebuah dosa yang harus segera diakhiri.
Dari kaum Wahabi konservatif pula, Raja Fahd mendapat kritikan keras bahwa reformasi ekonomi di Saudi hanya mengalirkan kemakmuran kepada keluarga kerajaan dan investor asing. Kesehatan sang Raja yang lemah membuat roda pemerintahan sehari-hari praktis dijalankan oleh saudara tirinya, Pangeran Abdullah. Di tangan Abdullah, reformasi sosial mulai dilancarkan. Akar-akar terorisme dia upayakan agar dipangkas pelan-pelan. Kaum Wahabi mulai sedikit tersenyum tatkala Amerika memutuskan menarik 5.000 tentaranya dari Arab Saudi pada April silam.
Tapi nyawa-nyawa yang melayang di Riyadh membikin ceritera segera berbalik. Dana kepada sejumlah gerakan Wahabi mulai dipangkas. Delapan yayasan ditutup, antara lain Yayasan Haramain, Al-Rabita, World Moslem Youth League, dan International Islamic Relief Organization. Dan para tokoh Wahabi yang dicurigai main mata dengan Al-Qaidah mulai ditelisik habis-habisan. Pengeboman itu membuat Saudi tidak punya banyak pilihan kecuali bergandeng tangan dengan AS untuk memburu para calon tersangka teroris.
Apalagi, Amerika punya alasan kuat: sejak Februari lalu Washington telah gencar memperingatkan Arab Saudi bahwa para teroris sedang sibuk bergentayangan di Saudi bersama bom-bom mereka. Tapi gayung tak kunjung bersambut. Padahal pihak AS juga telah melayangkan tiga surat dari Washington kepada pihak kerajaan. Intinya, Amerika meminta pengamanan yang lebih ketat terhadap warganya.
Masih waswas, Washington kemudian mengeluarkan surat peringatan resmi kepada seluruh warga AS di Saudi agar berhati-hati. Penasihat Keamanan AS, Stephen Hadley, sempat mampir ke Saudi pada 2 Mei lalu untuk mengingatkan pemerintah setempat bahwa ancaman bom dari Al-Qaidah bukan soal main-main.
Tak mengherankan bila pemerintah Saudi menjadi "jinak" setelah bom meledak di Riyadh. Langkah konkret memburu orang-orang Wahabi yang dicurigai segera digegas. Sumbangan-sumbangan dari kerajaan untuk yayasan dan organisasi kelompok Wahabi distop. Dan AS bernapas lega melihat sikap kooperatif Saudi kali ini.
Al-Qaidah, gerakan Wahabi, serta Usamah bin Ladin kini terletak di koordinat yang sama. Mereka menjadi ikon terorisme versi AS saat ini. Bekas Direktur CIA, James Woolsey, di hadapan Kongres sekali waktu pernah berkata: "Paham ekstrem Wahabi mirip sikap ekstrem Nazi."
Perburuan terhadap kaum Wahabi kali ini—lagi-lagi atas desakan Amerika—boleh jadi akan menjadi perburuan panjang tanpa hasil tokcer. Seperti yang sudah-sudah. Seperti di Afganistan dan di Irak.
Rommy Fibri (New York Times, The Economist, Shia News, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini