Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Horor di Kongo Salah Siapa

Konflik antara etnis Hema dan Lendu di Kongo punya akar yang panjang. Makin tajam karena keterlibatan pihak asing dan perebutan sumber alam.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUHIGWA Likoka menguburkan keempat anaknya yang tubuhnya sudah terpotong-potong di halaman rumahnya yang tinggal asap dan abu. Mungkin tinggal Ruhigwa yang masih bertahan di desa di Provinsi Ituri di timur laut Republik Demokratik Kongo itu. Penduduk lainnya yang masih selamat sudah lari mengungsi ke kamp Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bunia atau ke negara tetangga. Wajah Bunia, ibu kota Ituri, sudah tak seperti sebuah kota, melainkan mirip rumah sakit besar. Setiap bangunan di sana digunakan untuk merawat orang yang terluka akibat babatan machet (pisau besar Afrika) atau tertembus peluru. Luka-luka parah di tubuh mereka itu masih bukan apa-apa jika dibandingkan dengan keadaan tubuh yang dibunuh: dimutilasi, dibakar, dimakan bagian-bagiannya. Semua kengerian itu disebabkan oleh konflik antara etnis Hema dan Lendu yang kembali berkobar sejak awal Mei lalu. Korban jiwa sudah mencapai 350 orang dan akan terus bertambah meskipun Presiden Joseph Kabila sudah menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Hema dan Lendu pada 16 Mei 2003. Tentara perdamaian PBB—mayoritas Uruguay—yang ditugasi untuk menjaga perdamaian pun tak berdaya. Pasukan berbaret biru itu hanya mampu melihat pembantaian di depan mata mereka. Sekitar dua pekan silam, dua anggota tentara perdamaian yang ditugasi mengumpulkan informasi tentang milisi yang beroperasi di Ituri terbunuh. Dua tentara asal Yordania dan Malawi itu dibantai oleh milisi bersenjata. Tubuh mereka tak lengkap lagi. Toh, horor di Kongo belum membuat dunia tergerak. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan sudah memohon agar kekuatan besar di Dewan Keamanan PBB dapat mengirim bantuan tentara, tapi kurang mendapat tanggapan. AS menolak, sedangkan Inggris menyatakan sudah telanjur bertugas di Irak. Hanya Prancis yang menyatakan sanggup mengirim tentara, dalam minggu ini. Kengerian yang terjadi di Ituri sebenarnya merupakan bagian dari empat tahun perang sipil di Kongo, yang sudah menelan korban 3,5 juta jiwa. Mulanya terjadi pemberontakan Gerakan Pembebasan Kongo dari etnis Hema dan Perjuangan untuk Demokrasi Kongo yang beretnis Lendu. Dua gerakan ini didukung Uganda dan Rwanda untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Laurent Kabila. Pada Agustus 1998, tentara pemberontak berhasil menduduki Kinshasa, ibu kota Kongo. Tapi kemudian Kabila mendapat dukungan Zimbabwe, Namibia, dan Angola. Tentara pemberontak pun dipukul mundur dan hanya bertahan di bagian timur Kongo. Keadaan tak membaik. Pada 1999, Gerakan Pembebasan pecah kongsi dengan Perjuangan untuk Demokrasi. Artinya, pecah pula "kekompakan" tentara asing pendukung, yaitu Uganda dan Rwanda. Konflik makin menajam di timur Kongo karena daerah itu kaya emas, minyak, dan mineral lainnya. Kesepakatan damai antara Hema, yang dikenal sebagai suku penggembala, dan Lendu, suku petani, pertama kali dilakukan pada Juli 1999. Dewan Keamanan PBB mengirimkan 5.500 tentara perdamaian untuk mengawasi gencatan senjata. Pada saat yang bersamaan, Uganda dan Rwanda mulai menarik pasukan mereka dari garis utama medan pertempuran. Tapi perjanjian damai antara dua etnis yang sudah bermusuhan selama berabad-abad memperebutkan tanah dan sumber alam itu tak berlangsung lama. Konflik bersenjata dengan korban jiwa kembali terjadi beberapa kali di bagian timur Kongo. Setiap konflik disusul dengan kesepakatan damai baru. Demikian seterusnya hingga meletus konflik di Ituri, awal Mei 2003. Kekerasan berdarah itu kembali terjadi bersamaan dengan tenggat terakhir bagi tentara Uganda untuk meninggalkan Kongo. Dunia khawatir pertikaian Hema-Lendu akan menjadi seperti Hutu-Tutsi di Rwanda. Sampai saat ini, PBB masih kebingungan dalam menyelesaikan konflik di Kongo. Setiap langkah damai seperti sia-sia saja karena Uganda dan Rwanda tetap campur tangan dengan cara mendukung milisi. Meskipun dalam perjanjian yang ada tentara asing sudah harus mundur dari Kongo, kenyataannya masih ada 15 ribu-40 ribu tentara Rwanda di daerah hutan Kongo. Mereka adalah veteran Hutu yang membantai etnis Tutsi di Rwanda pada 1994. Tentara Uganda dan Rwanda yang masih tinggal diam-diam di kawasan Kongo inilah yang terus-menerus melatih milisi. Bahkan mereka melatih anak-anak yang masih berusia 10 tahun untuk menggunakan senjata AK-47 dan menyerang orang. Presiden Joseph Kabila, anak Laurent Kabila yang menggantikan ayahnya pada Januari 2001, tak mampu melakukan langkah berguna. Bina Bektiati (The Economist, The Washington Post, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus