Di bawah tatapan nanar berpasang-pasang mata di ruang pertemuan Partai Likud di gedung Knesset—parlemen Israel—Ariel Sharon membenamkan tubuhnya seperti tersangka yang tengah dihardik jaksa. Arik, ini nama kecil Sharon, dikenal ganas menghadapi dunia luar—Presiden AS George Bush pun dihardiknya—sampai-sampai dia dijuluki "Sang Buldoser".
Tapi saat menyimak umpatan kaum tua-tua di Partai Likud, yang mendukungnya selama ini, Arik sempat mengkerut. Matanya memang berapi oleh amarah, tapi tak satu pun kalimat meluncur dari mulutnya saat menghadapi "pengadilan" di Knesset pada Senin pekan silam.
Setelah beberapa saat lewat, barulah Sharon menggeliat dan beraksi secara amat khas militer, menyerang balik dari arah tak terduga: dia menerima Peta Damai yang selama ini ditolaknya—dan juga ditolak dengan keras terutama oleh politikus ultrakanan Israel. Di depan para anggota parlemen, Ariel membacakan pleidoinya selama 20 menit. Dia berkata, "Mengangkangi 3,5 juta rakyat Palestina melalui pendudukan adalah hal paling buruk bagi Israel, bagi ekonomi Israel, serta buruk bagi rakyat Palestina," ujarnya.
Pidato Sharon merupakan terobosan dalam kamus politik Partai Likud. Selama empat dekade konflik Israel-Palestina, partai itu menolak tuduhan Israel menduduki tanah Palestina. Alhasil, banyak anggota Knesset melongo keheranan saat mendengar pleidoi tersebut. Tapi Sharon jalan terus: "Anda ingin tetap selamanya menduduki Ramallah, Jenin, Nablus, Bethlehem? Salah besar!" sang Perdana Menteri menyergah dengan nada tinggi.
Ibarat bom terbaru yang mengguncang Israel, keputusan Sharon ini telah mendapat dukungan kabinet. Sehari sebelumnya, dalam sebuah pemungutan suara, kabinet setuju menerima Peta Damai. Disodorkan Amerika Serikat, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Rusia, salah satu butir dalam Peta Damai adalah berdirinya negara Palestina pada tahun 2005.
Walau didukung 12 menteri, Sharon mendapat tentangan cukup keras. Tujuh menteri menolaknya, empat abstain. Salah satu menteri yang abstain adalah Menteri Keuangan Benjamin Netanyahu, seteru sekaligus kawan seiring Sharon—tadinya kedua orang ini sama-sama menentang keras ide negara Palestina. Tapi sejarah berubah. Untuk pertama kalinya, partai garis keras Likud memilih jalan damai dengan Palestina.
Mantan Menteri Luar Negeri Israel David Levi, yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Likud, mencerca sikap Sharon. "Ini bukan kompromi, tapi mempersembahkan semuanya (kepada Palestina)." Levi tak berlebihan, sebab butir-butir dalam Peta Damai ini jauh lebih eksplisit menjamin perwujudan negara Palestina ketimbang Perjanjian Oslo yang diteken almarhum bekas perdana menteri Yitzhak Rabin dari Partai Buruh pada 10 tahun silam.
Jadi, orang pun bertanya-tanya: ada apa dengan Pak Sharon, si arsitek permukiman Yahudi di tanah Palestina? Tekanan Presiden George W. Bush diduga sebagai salah satu sebab. Bush ingin merealisasi janjinya kepada negara-negara Arab setelah meluluh-lantakkan Irak. "Kini bukan saatnya melawan niat AS," kata Ehud Olmet, salah satu menteri kabinet Sharon. Sharon memang dikritik keras bahwa dia kini tak mampu lagi bertengkar dengan AS.
Para pengamat politik menilai, sejatinya Sharon bukanlah politikus kanan yang ideologis. "Dia seorang pragmatis," ujar Efraim Inbar, Direktur Pusat Studi Begin-Sadat di Universitas Bar Ilan, Tel Aviv. Menurut Inbar, Sharon mampu berubah bila ada kondisi yang memaksa. Analis politik Shimon Shiffer bahkan menghubungkan keputusan Sharon dengan usianya yang kini 75 tahun. Sharon pernah menyatakan, dia mustahil mengambil sikap seperti saat ini sepuluh tahun silam. "Dia berada di persimpangan jalan," kata Shiffer.
Sharon sendiri mengaku tak lagi memiliki ambisi politik selaku perdana menteri. "Tujuan saya adalah membawa bangsa ini ke arah perdamaian dan keamanan. Itu sebabnya saya membuat upaya yang dahsyat," katanya. "Saya percaya, akhirnya akan terwujud satu negara Palestina," dia menambahkan.
Toh, masih tetap ada isu sensitif yang bakal memanaskan pembicaraan Sharon dengan Perdana Menteri Palestina Mahmud Abbas. Umpama, hak kembalinya 1,3 juta pengungsi Palestina ke tempat asalnya di Israel, yang mati-matian ditolak Sharon. Juga soal status Kota Yerusalem. Dengan lain kata, niat sang Perdana Menteri bukan mustahil bisa mentah kembali.
Raihul Fadjri (Haaretz, Jerusalem Post, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini