MENYAMAKAN persepsi Utara dengan Selatan memang sulit. Apalagi bila menyangkut hak asasi manusia. Itulah yang akan dihadapi oleh 5.000 peserta dari 100 negara di Konferensi Hak Asasi Manusia se-Dunia di Wina, Austria, yang dibuka Senin pekan ini. Sejauh ini ada dua pendapat yang berbeda: satu pihak menganggap hak asasi manusia harus diterapkan secara universal, tanpa pandang bulu. Pihak lain menilai penerapan hak asasi tergantung kondisi budaya dan politik setiap negara. Pendukung pendapat pertama adalah negara-negara Barat, dan yang kedua adalah sejumlah negara Asia dan Afrika. Cina, Myanmar, Kuba, dan Yaman merupakan negara paling vokal menentang tuduhan Barat. Malahan Kuba, misalnya, berniat menentang pembentukan Komisi Tertinggi Hak Asasi Manusia PBB dan Tribunal Hak Asasi Manusia, salah satu acara pokok Konferensi Wina ini. ''Negara-negara miskin akan dijadikan tertuduh saja oleh Barat, nantinya,'' ujar Roberto Robaina, Menlu Kuba. Negara-negara berkembang umumnya beranggapan bahwa Utara terlalu mendikte Selatan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948, yang dianggap berbau Barat itu, dianggap tidak cocok dengan kondisi negara-negara di Selatan. Orang di Selatan biasanya melihat budaya Barat tak cocok dengan budaya negara berkembang. Apalagi di bidang politik dan kehidupan sosial ekonomi. Selatan tak bakal bertemu dengan Utara. Menurut negara-negara Selatan yang umumnya miskin, hak asasi manusia baru terbatas pada hak seseorang memperoleh pendidikan atau menikmati kehidupan yang layak. Selalu menjadi dilema bagi Selatan: akan mendahulukan soal hak asasi, atau upaya membangun ekonomi negeri. Tak kurang dari Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali mengingatkan perlunya dikaji perbedaan kondisi itu, dan kaitannya dengan hak asasi. Dalam artikelnya di harian International Herald Tribune pekan lalu, Boutros Ghali mengingatkan Barat bahwa hak asasi tak akan dipedulikan oleh penduduk suatu negara yang melilit perutnya karena kelaparan. ''Hak asasi baru bisa ditegakkan sejalan dengan kemajuan sosio- ekonomi suatu bangsa,'' lanjutnya. Tapi Barat menganggap, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, hak-hak ekonomi sama pentingnya dengan hak-hak sipil dan hak politik. Karena itulah Barat tetap pada pendiriannya dan bersikeras menempuh segala cara untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia di semua negara, ''Termasuk mengaitkan isu hak asasi sebagai prasyarat bagi pemberian bantuan ekonomi,'' kata Jimmy Carter, bekas presiden AS, yang diundang dalam Konferensi di Wina itu. Tapi, seandainya nanti tercapai kesepakatan di Wina, masih ada persoalan yang perlu dikaji. Yakni, dapatkah Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan Tribunal Hak Asasi berfungsi menegakkan perdamaian dan keadilan di dunia bila terbentuk kelak. Belum tentu juga. Laporan Amnesti Internasional mencatat, 104 negara yang dianggap demokratis ternyata mentoleransi penyiksaan terhadap para tahanan. Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan Tribunal Hak Asasi mungkin akan bernasib sama seperti Badan Peradilan Internasional atau Dewan Keamanan PBB. Yaitu, kebijaksanaannya banyak ditentukan oleh negara-negara kaya selaku pemberi dana terbesar. Lebih kongkret lagi, bila susunan organisasi PBB tak juga diubah, Dewan Keamanan-lah yang akan menentukan kebijaksanaan itu. Dan, seperti diketahui selama ini, Dewan Keamanan didominasi oleh lima anggota tetap (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina), yang punya hak veto. Contoh-contoh yang terjadi belakangan, tanpa mempertimbangkan adakah itu adil atau tidak, atau merupakan gerakan yang sesuai dengan hak asasi manusia atau tidak, menunjukkan betapa dominannya anggota tetap Dewan Keamanan dalam menentukan kebijaksanaan PBB. Suatu operasi pasukan multinasional dilaksanakan setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan deklarasi yang memberi izin operasi militer untuk mengusir Irak yang menduduki Kuwait. Diketahui, deklarasi PBB dikeluarkan setelah ada desakan AS. Demikian pula operasi bersenjata tentara PBB di Somalia adalah atas inisiatif AS. Kenyataan yang lain tampaknya bisa memperkuat sinyalemen itu. Ketika pasukan AS menyerbu Panama, untuk menangkap Jenderal Noriega, Dewan Keamanan PBB tak melakukan protes apa pun, padahal itu jelas-jelas tindakan yang melanggar kedaulatan suatu negara. Sebaliknya, banyak pelanggaran hak asasi kelas berat, tapi PBB paling-paling hanya mengeluarkan pernyataan, tanpa tindakan keras. Soalnya, pihak negara yang mendominasi Dewan Keamanan tak tertarik pada masalah itu, mungkin karena tak punya kepentingan. Contoh yang jelas adalah pembersihan etnis di Bosnia. PBB selalu menolak intervensi militer, padahal jelas- jelas etnis muslim Bosnia tak berdaya menghadapi pembersihan etnis itu. Masalahnya, AS rupanya tak mendesakkan betul intervensi itu meskipun negara superkuat ini sudah merinci tindakan apa yang diperlukan: pengeboman dan pengiriman senjata kepada etnis muslim Bosnia. Juga, apa yang dilakukan Dewan Keamanan PBB pada kasus ditahannya tokoh oposisi yang memenangkan pemilu di Myanmar? Padahal Aung San Suu Kyi adalah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991. Apa pula yang sudah dilakukan Dewan Keamanan PBB untuk membantu Tibet yang dikuasai oleh Cina? Padahal pemimpin Tibet, Dalai Lama, yang hidup di pengasingan, tahun 1989 lalu pun mendapat Hadiah Nobel Perdamaian. Masalahnya memang tak sederhana. Misalnya, ada ketentuan bahwa PBB tak boleh melakukan intervensi dalam kasus domestik bila tak ada permintaan dari dalam negeri itu sendiri. Tapi, seperti kata pengamat, permintaan itu bisa saja diatur. Cuma, dipenuhinya atau tidak, masalahnya kembali pada Dewan Keamanan yang didominasi lima anggota tetap itu. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini