BANYAK negara tampaknya kini sangat acuh terhadap pemberantasan korupsi. Tak peduli siapa orangnya, sedang berkuasa atau tak berkuasa, si pelaku akan dibawa ke depan pengadilan. Setelah Brasil, Venezuela, dan Italia, kini Bangladesh. Bekas Presiden Bangladesh, Hussain Mohammad Ershad, 63 tahun, dan istrinya, Begum Raushan Ershad, 54 tahun, divonis tujuh tahun penjara Senin pekan lalu. Pengadilan menyatakan tuduhan korupsi terhadap bekas presiden dan ibu negara itu, serta 17 pejabat yang tersangkut, terbukti. Biro antikorupsi Bangladesh memulai pengusutan korupsi Ershad dua tahun lalu, ketika bekas presiden itu tengah menjalani hukuman 13 tahun penjara karena tuduhan memiliki senjata api secara tidak sah dan salah mengurus keuangan negara. Yang diusut kemudian oleh biro tersebut adalah kasus penjualan tanah milik negara yang terletak di daerah elite Dhaka, ibu kota Bangladesh. Tentu, penjualan seharga 60 juta taka (sekitar US$ 1,5 juta) kepada teman-teman Ershad sendiri itu tidak sah. Uang hasil penjualan itu kemudian dibelikannya lagi tanah di tempat yang sama dengan nama istrinya. Kemudian, di atas tanah itu dibangun gedung bertingkat 13 dengan nama Janata Tower. Nah, di situlah istrinya mulai terlibat. Nyonya Begum Raushan Ershadlah yang kemudian mengurus Janata Tower, termasuk perusahaan penerbitan Janata yang berkantor di gedung itu. Sang istri dituduh mengetahui perbuatan melanggar hukum tapi tak melaporkanya kepada pihak yang berwajib. Malah, ia ikut mengelola hasil pelanggaran itu. Ketika bagian dari 91 halaman putusan dibacakan, wajah Raushan, yang duduk di samping suaminya, pucat dan berkerut. Ia dan 17 orang lainnya segera dibawa ke penjara begitu putusan selesai dibacakan. Persidangan tersebut hanya dihadiri jaksa penuntut, pengacara Raushan, Ershad, 17 tertuduh lainnya, serta aparat keamanan, baik yang berpakaian sipil maupun yang memakai seragam pasukan antihuru-hara. Saudara laki-laki dan saudara perempuan Ershad serta Raushan, dan anak angkat mereka yang baru berusia 12 tahun, ditolak ketika mencoba masuk ruang pengadilan. Sebelum kasus ini diungkapkan, Raushan sebenarnya pernah dijatuhi hukuman penjara, pada Desember 1990, ketika suaminya mengundurkan diri dari kepresidenan karena demonstrasi mahasiswa dan oposisi. Tapi, ketika itu, ia dibebaskan dengan uang jaminan. Sebenarnya, Raushan dijagokan sebagai perempuan ketiga yang memimpin partai politik terbesar di Bangladesh, yakni Partai Jatiya, partai yang menjadikan suaminya sebagai Presiden Bangladesh tahun 1982 melalui kudeta tak berdarah. Tradisi lokal politik di Bangladesh, yang menganut sistem dominasi keluarga, memang memungkinkan seorang istri mengambil alih pimpinan partai bila suaminya yang sebelumnya menjabat pimpinan tewas terbunuh atau dipenjarakan. Sebelum Raushan, dua perempuan Bangladesh telah melakukannya. Yakni Khaleda Zia, janda mendiang Presiden Ziaur Rahman, pemimpin Partai Nasionalis Bangladesh, dan Sheikh Hasina, putri mendiang Sheikh Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh, yang memimpin Partai Liga Awami. Saat suaminya berada dalam tahanan, Raushan sebenarnya telah berperan sebagai pemimpin partai meskipun Ershad masih menyetirnya dari balik sel. Beberapa anggota Patai Jatiya percaya, terjunnya Raushan ke kancah politik akan memberikan legitimasi bagi partai mereka, yang saat ini mengontrol 35 kursi di parlemen. Mungkinkah Ershad dan Raushan memimpin partainya dari balik penjara? SN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini