Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Fuad mengejar sesuai pasar

Pbb gaya baru ingin mengejar target sesuai dengan harga pasar, tapi bisa menambah beban bagi pemilik, yang belum tentu mampu.

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Fuad mengejar sesuai pasar
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DALAM perkara PBB (pajak bumi dan bangunan), orang Indonesia selama ini boleh dibilang paling beruntung. Karena tarif PBB di negeri ini masih satu permil dari nilai jual tanah dan bangunan. Sementara itu, di negara-negara lain bahkan ada yang 1% dari nilai jualnya. Tapi mulai tahun ini para pemilik rumah dan bangunan bernilai di atas Rp 7 juta diajak untuk lebih dewasa lewat pengumuman resmi Pemerintah pekan silam. Di situ disebutkan, PBB akan disesuaikan dengan kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP). Adapun tanah dan bangunan di bawah harga Rp 7 juta tetap dibebaskan. Pemerintah meminta kesadaran para wajib pajak untuk melihat perkembangan kenyataan. Yaitu bahwa harga tanah dan bangunan yang mereka huni sekarang ini sudah jadi lebih mahal dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan sendirinya, kendati ketentuan PBB masih tetap satu permil dari NJOP, nilai nominalnya menjadi lebih besar sesuai dengan kenaikan NJOP. ''Setiap tahun, nilai tanah pasti meningkat, juga bangunan yang direnovasi dan ditambahi,'' kata Dirjen Pajak Fuad Bawazier. Ketentuan PBB sebesar hanya satu permil dari NJOP memang masih sama dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Maka Pemerintah dalam hal ini menolak disebutkan telah menaikkan pajak, tapi lebih suka menggunakan istilah yang lebih manis: penyesuaian pajak. Masuk akal juga. Sebab, yang dilakukan oleh Pemerintah adalah menentukan pajak berdasarkan nilai riil harta milik wajib pajak, yang tidak bisa dielakkan akan naik terus setiap tahunnya. Apalagi kalau di sekitar suatu hunian biasanya di perumahan kelas ''menengah'' ke atas dibangun sejumlah fasilitas umum, dari pertokoan sampai sport club. Bahkan ada sebuah real estate di Jakasampurna, Bekasi, yang nilai tanah dan bangunannya naik lebih dari dua kali lipat dalam waktu hanya dua tahun. PBB sekarang boleh dikatakan mengejar harga pasar dari objek pajaknya. Itu namanya mengejar target dengan cara simpatik alias tanpa harus mengubah undang-undang. Untuk tahun anggaran 1993-1994, dari PBB saja, Pemerintah menargetkan akan memperoleh Rp 1,320 triliun (sesuai dengan APBN). Naik sekitar 33% dibandingkan dengan perolehan periode 1992-1993 yang berjumlah Rp 1,049 triliun atau lebih tinggi dari yang ditargetkan (Rp 990 miliar). Keberanian mematok kenaikan 33% itu rupanya karena penarikan PBB sudah makin lancar, bahkan di beberapa daerah bisa memperoleh PBB melebihi yang direncanakan. Dengan cara mengejar target seiring dengan harga pasar ini pun Pemerintah juga tak bersedia dibilang mematok harga (NJOP) yang akan datang. Penilaian suatu objek pajak, kata Fuad Bawazier, ''Adalah berdasarkan harga sekarang.'' Kalau kantornya Fuad menetapkan harga yang akan datang berdasarkan lokasinya, boleh jadi terjadi spekulasi tanah. Fuad Bawazier mengambil contoh kawasan Segitiga Emas Jakarta (Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Rasuna Said). ''Di situ, misalnya, kami patok kenaikannya 25%, tapi kenyataannya tidak begitu, kan bisa bikin orang marah,'' katanya. ''Yang menetapkan harga itu bukan Pemerintah, tapi pasar.'' Menurut Direktur PBB Karsono Surjowibowo, harga pasar tersebut ditentukan berdasarkan untung ruginya di masa lalu (past performance). Pijakannya adalah catatan notaris, data kelurahan, dan BPAP. Semua informasi dari lapangan itu dikumpulkan, lalu dicari nilai rata-ratanya. ''Itulah yang kami namakan harga pasar,'' kata Karsono. Penjelasannya, juga keterangan dari Fuad Bawazier, tampaknya untuk melunturkan rentetan keluhan dari banyak orang, terutama yang tidak senang kalau jumlah PBB yang dibayarnya naik akibat NJOP meningkat. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Banyak pemilik rumah di suatu wilayah yang berkembang karena dekat dengan perumahan menengah ke atas dan fasilitasnya bertambah banyak namun pendapatannya masih sama seperti sebelumnya. Kecuali asetnya berupa rumah dan tanah yang naik nilainya isi kocek mereka tidak berubah. Nasib yang sama barangkali menimpa pula para pensiunan (bekas pejabat tinggi) atau tokoh lama yang kebetulan masih tinggal di kawasan Menteng, Jakarta. Ketentuan PBB yang baru tampaknya tidak akan mampu mereka bayar. Atau nilai PBB yang wajib mereka lunasi tidak sesuai lagi dengan pendapatan mereka. Fuad Bawazier mengatakan kepada TEMPO, ''Tidak ada ceritanya orang tidak senang harga tanahnya melonjak.'' Maka orang-orang yang penghasilannya tidak naik tersebut merupakan kekecualian. Ditjen Pajak mencoba memberi jalan keluar untuk menyelesaikan kepusingan mereka. Yaitu, kata Fuad, mereka boleh meminta keringanan. Kabarnya, kalau memang benar-benar tidak mampu, keringanan tersebut bisa sampai 75%. Itu pun perlu dipertimbangkan kasus demi kasus. ''Tentu saja itu tambahan tugas buat kami,'' kata Fuad Bawazier lagi. Tambahan tugas Fuad Bawazier tentu tidak hanya itu. Karena bukan rahasia lagi bahwa sebagian petugas pajak masih belum melakukan tugasnya dengan baik. Singkat kata, seperti juga diakui seorang pejabat pajak, masih banyak di antara mereka yang belum profesional. Misalnya, tidak bisa memberikan keterangan yang gamblang kepada wajib pajak yang belum paham seluk-beluk PBB. Bahkan ada yang sekadar meninggalkan formulir begitu saja di rumah wajib pajak dan tidak kembali untuk meng- ambilnya. Padahal nantinya kalau terjadi keterlambatan pembayaran PBB, wajib pajak juga yang ketiban denda. Mohamad Cholid, Bina Bektiati, Ida Farida, dan Sarluhut Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus