BUKAN proyek teknologi tinggi (tek-ti) saja yang menjadi sorotan Bank Dunia. Tapi juga Bank Indonesia, yang dianggap tak kuasa menurunkan bunga tinggi. Itu terungkap dalam laporan final Bank Dunia 1993 bukan draft yang dibahas dalam pertemuan sehari para duta besar anggota Consultative Group on Indonesia (CGI) Selasa pekan lalu di Jakarta. Laporan setebal bantal berjudul Indonesia: Sustaining Development itu berpendapat, keberhasilan bank-bank mengerahkan dana telah ''dimandulkan'' oleh BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). BI memang telah menurunkan suku bunga SBI, dari 18% pada Maret 1992 menjadi 12% persis setahun kemudian, tapi dana yang ''disandera'' dalam SBI tetap besar: Rp 13 triliun. Para bankir cenderung memelihara debitor yang baik saja, sembari menuntut mereka dengan bunga tinggi. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad menyadarinya. ''Bank sekarang mengambil margin (selisih suku bunga kredit dan deposito) rata-rata 7%. Idealnya cuma 5%,'' kata Mar'ie, Jumat lalu. Bank Dunia lalu menilai kaum konglomerat telah mengeksploitasi pasar. Lembaga berwibawa yang kini Ketua CGI itu menuding konglomerat di Indonesia lebih berperan sebagai tukang jala rente ekonomi, yang diciptakan lewat distrosi pasar, ketimbang memanfaatkan peluang pasar. Bank Dunia berkesimpulan, pertumbuhan konglomerat di Indonesia sejak tahun 1980-an hingga kini lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan mereka memupuk modal dari laba ditahan. Lihat saja, modal terbesar pertumbuhan mereka adalah melalui utang besar yang mengucur dari bank. Kiat high leverage penggunaan utang besar oleh konglomerat mulai terkuak ketika suku bunga tinggi terus dan pertumbuhan ekonomi merangkak pelan sepanjang satu setengah tahun terakhir. Kaum konglomerat itu ternyata kesulitan cash flow. Bank Dunia lalu menunjuk contoh yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin. Di sana, konsentrasi perkreditan yang berputar dalam kelompok bisnis tertentu sempat membuat sejumlah bank bangkrut. Syukur, akhir Mei lalu keluarlah beleid baru yang membatasi kredit pada individu dan kelompok perusahaan maksimal 20%. Tragedi Bank Summa, yang meminjamkan sebagian besar dana bank berasal dari simpanan masyarakat kepada kelompoknya sendiri, tentu merupakan pelajaran pahit buat penguasa moneter negeri ini. Kritik Bank Dunia tentang ekonomi biaya tinggi dalam berbagai bentuk proteksi juga sudah ditanggapi pekan lalu oleh Kabinet lewat Paket Deregulasi 10 Juni 1993 (lihat Laporan Utama). BI, masih menurut Bank Dunia, telah melakukan kegiatan yang disebut quasi fiscal sehingga menambah seretnya aliran dana. Itu tercermin dari penambahan 35% kredit subsidi untuk Bulog serta toleransi kredit macet Rp 750 miliar kepada BPPC. Menurut Bank Dunia, ''Hanya dalam kasus khusus boleh diberikan subsidi kredit, tapi itu harus dilakukan secara transparan dan terbuka dalam bujet negara.'' Bank Dunia juga prihatin melihat tata niaga cengkeh. ''Keuntungan BPPC dipungut dari biaya petani, koperasi, sistem perbankan, dan konsumen cengkeh,'' kata Bank Dunia. Kendati BPPC mengambil margin tinggi, lembaga ini gagal mempertahankan harga tinggi yang dijanjikan kepada petani, selain lalai mencicil utangnya. Masih tentang monopoli, Bank Dunia tak lupa mengkritik regulasi perdagangan jeruk di Kalimantan Barat. ''Dalam teori, monopoli swasta diharapkan meletakkan harga dasar, standar kualitas, dan menjualnya kepada pedagang antarpulau. Kenyataannya, perusahaan menikmati kedudukan monopsoni dalam perdagangan dan pengapalan langsung ke pasaran, misalnya ke Jakarta.'' Kendati punya posisi di atas angin, menurut Bank Dunia, mereka tak mampu menampung produksi jeruk dalam jumlah besar. Produksi dan harga dasar untuk petani pun merosot. Belakangan, muncul tata niaga yang mengatur karet di Kalimantan Barat, lateks dan garam di Sumatera Utara, serta vanili di Bali. Bank Dunia berpendapat, campur tangan seperti itu akan memukul perekonomian nasional. Jalan keluar satu-satunya yang akan membawa untung bagi rak- yat, menurut Bank Dunia, adalah dengan jalan apa lagi kalau bukan deregulasi. ''Perpaduan beleid lokal dengan gerakan deregulasi nasional akan menambah daya pertumbuhan regional, efisiensi, dan pemerataan,'' demikian laporan itu. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini