KARISMA Pangeran Norodom Sihanouk, bekas Kepala Negara
Kampuchea, teup menonjol. Dengan sikap kebapaan, dia berjalan
diapit Son Sann, Ketua Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer
(KPNLF) dan Khieu Samphan, pemimpin Khmer Rouge (Merah).
Ketiganya semula saling bermusuhan, tapi di Hotel Shangri-La,
Singapura, mereka pekan lalu menyatakan hasrat bersatu.
Hari itu, 4 September, mereka menandatangani naskah pernyataan
bersama. Di situ, ketiganya menyatakan "hasrat membentuk
pemerintahan koalisi (Republik) Demokrasi Kampuchea, yang
bertujuan meneruskan perjuangan membebaskan Kampuchea dari
agresi Vietnam dengan segala cara."
Mengapa Cuma Hasrat
Duduk diapit Son Sann dan Khieu Samphan, Sihanouk menghadapi
banyak wartawan dan juru kamera tv. Pertemuan mereka di
Singapura (2 - 4 September), katanya, berpengaruh baik
menyongsong Sidang Umum PBB (15 September), yang akan
membicarakan lagi soal Kampuchea. Pendeknya, menurut dia, hasil
pertemuan itu akan menyelamatkan kursi Khmer Merah (Demokratik
Kampuchea). Rezim Heng Samrin yang didukung Vietnam, berusaha
merebut kursi di PBB itu. "Tapi kami sadar, jalan masih
panjang," tambah Son Sann dalam bahasa Prancis. "Kendati baru
merupakan keinginan membentuk pemerintahan koalisi, inilah
langkah pertama yang kami anggap penting."
Mengapa hanya "hasrat" bukan "keputusan"? Keinginan, kata
Sihanouk dalam bahasa Inggris, merupakan sesuatu yang diperlukan
dulu sebelum melakukan tindakan. Dan sebelum menyatakan hasrat
tersebut, ketiganya bertengkar di sebuah ruangan di lantai 6
hotel itu.
Son Sann, misalnya, mengajukan sejumlah syarat untuk membentuk
pemerintahan koalisi. Jika kelak pemerintahan koalisi terbentuk,
dia ingin kelompok gerakannya merupakan mayoritas dalam kabinet
(memegang posisi kunci) --sementara dia jadi PM. Dia juga tak
menghendaki Pol Pot, Panglima Angkatan Bersenjata Khmer Merah,
yang sudah rusak citranya, duduk dalam kabinet koalisi kelak.
"Kami ingin agar Khmer Merah mengubah sikap (kerasnya)
selamaini," katanya dalam pertemuan pers (3 September) di
Bokhara Room, Hotel Marco Polo. "Jika kali ini tidak ada
kesepakatan, kami akan kehilangan dukungan rakyat Kampuchea."
Khieu Samphan, yang tinggal di Hotel Century Park Sheraton
(sekitar 100 meter di seberang Marco Polo) tidak memberikan
reaksi. Selama empat hari berada di Singapura, dia lebih suka
mengurung diri di kamarnya di lantai 24. Khieu Samphan, yang
lebih fasih berbahasa Prancis, selalu menolak berkomentar dengan
alasan penerjemah tak berada di sisinya. Lahir 49 tahun lalu di
Svay Rieng, Khieu Samphan kelihatan senantiasa segar dan
berjalan cepat.
Tapi justru Presiden merangkap Perdana Menteri Khmer Merah
itulah yang pertama kali memberikan pernyataan tertulis
setibanya di Singapura, 2 September. Di situ, Khieu Samphan
menginginkan agar pembentukan persatuan nasional bertolak dari
program politik minimum, yang harus disetujui semua pihak. Di
dalam persatuan tersebut, menurut dia, setiap kelompok (partai)
tetap diberi kebebasan menyandang identitas politik dan
organisasi kelompoknya.
Tentu saja program politik minimum tadi tidak akan menguntungkan
KPNLF yang minoritas. Kelompok Son Sann itu diduga hanya punya
lima ribu tentara yang terlaih, dibanding Khmer Merah
berkekuatan sekitar 30 ribu tentara. Jika program politik
minimum dilaksanakan, Son Sann khawatir pengaruhnya akan luluh
ditelan. Bahkan Son Sann belakangan meminta agar tentara Khmer
Merah ditempatkan di bawah komando Jenderal Dien Dell, Panglima
KPNLF.
Sihanouk, yang tinggal di Hotel Shangri-La, sekitar 200 meter di
belakang Sheraton, tak terdengar mengajukan syarat bagi
pembentukan pemerintahan koalisi. Seorang diplomat senior ASEAN,
yang menghubungi ketiga tokoh itu secara terpisah, berusaha
meyakinkan bahwa pemerintahan koalisi tidak akan terbentuk jika
pihak masing-masing mengajukan syarat. Diplomat itu tak kenal
lelah mondar-mandir menghubungi ketiga pihak.
Son Sann akhirnya (3 September) turun dari kamarnya di lantai 11
Marco Polo menemui Sihanouk di Shangri-La. Malam harinya, Khieu
Samphan juga menemui Sihanouk. Sesudah setengah jam berembuk,
keduanya akhirnya saling berpelukan. Malam itu juga, Son Sann,
Khieu Samphan dan Sihanouk untuk pertama kalinya sejak 1975,
bertemu secara bersama dalam jamuan makan yang diselenggarakan
Wakil PM Singapura Sinnathamby Rajaratnam.
Kedudukan Khmer Merah akhirnya bisa diketahui esok harinya,
ketika pernyataan bersama ditandatangani. Sihanouk secara
terbuka menyatakan ia mendukung pencalonan Son Sann sebagai PM
dalam pemerintahan koalisi kelak. Namun "Khmer Merah tak
menginginkan saya memegang peranan," katanya.
Dalam konperensi pers bersama itu, tidak disebut-sebut peranan
Khieu Samphan kelak. Sihanouk yang paling banyak berbicara
mengatakan bahwa organisasi tentara masing-masing kelompok tetap
independen. Setiap kelompok akan mendudukkan wakilnya di staf
umum--tapi tanpa panglima, katanya. Semua persoalan dan
komposisi dalam pemerintahan koalisi itu "kelak akan dibicarakan
dalam komite ad boc," ujar Khieu Samphan lewat penerjemah.
Sihanouk sangat marah ketika seorang wartawan mengecam bahwa
pemerintahan koalisi apa pun tetap tidak akan mampu mengatasi
penderitaan rakyat Kampuchea. Dalam konperensi pers berikutnya
di Orchid Room, Hotel Shangri-La, 5 September, dia menjawab
bahwa hanya bangsa Kampuchea yang bisa memahami penderitaan
Kampuchea --bukan bangsa Barat. Kendati demikian, dia
mengharapkan RRC dan AS membantu mengirimkan senjata untuk
gerakan perlawanan Khmer. "Saya yakin Washington kelak setuju
jika Kampuchea jadi wilayah penyangga antara Thailand
(nonkomunis) dan Vietnam (komunis)," ujarnya.
Permintaan bantuan semacam itu dikecam oleh Tass, kantor berita
resmi Uni Soviet. Usaha mempertahankan kursi Khmer Merah di PBB,
demikian Tass, "merupakan impian tidak realistis, karena mereka
bukan mewakili siapa pun, tapi mewakili orang-orang yang nyaris
bangkrut dan ditolak rakyat Khmer." SPK, kantor berita resmi
rezim Heng Samrin juga mengeluarkan kecaman senada. "Pertemuan
(Singapura) tersebut merupakan sandiwara belaka, dan tidak
menghasilkan apa-apa," tulisnya.
Bersamaan dengan pertemuan tiga pemimpin perlawanan Khmer itu,
Le Duan, Pemimpin Partai Komunis Vietnam, terbang ke Moskow. Di
Kremlin, ia diduga meminta bantuan sekutunya itu lebih banyak.
Adalah dengan dukungan militer dan keuangan Soviet pula, Vietnam
sejak 1979 menempatkan sekitar 200 ribu tentaranya di Kampuchea.
Hanoi baru mau menarik mundur seluruh pasukan tersebut, katanya,
jika "ancaman dari RRC" --seperti didengungkan Moskow--sudah
lenyap.
Karena begitu gigih sikap Vietnam, hasil pertemuan Singapura itu
tetap diragukan untuk bisa membebaskan Kampuchea. Namun, seperti
diucapkan Menlu Singapura S. Dhanabalan, persoalan mendesak
sekarang bagi mereka (Son Sann, Khieu Samphan dan Sihanouk)
adalah bersatu melawan Vietnam, baik di hutan maupun forum PBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini