Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hasrat berkoalisi melawan vietnam

Pertemuan di hotel shangrila, singapura, 2-4 september menyongsong s.u. pbb: son sann, khieu shampan & sihanouk menandatangani pernyataan bersama untuk membentuk pemerintahan koalisi.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARISMA Pangeran Norodom Sihanouk, bekas Kepala Negara Kampuchea, teup menonjol. Dengan sikap kebapaan, dia berjalan diapit Son Sann, Ketua Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (KPNLF) dan Khieu Samphan, pemimpin Khmer Rouge (Merah). Ketiganya semula saling bermusuhan, tapi di Hotel Shangri-La, Singapura, mereka pekan lalu menyatakan hasrat bersatu. Hari itu, 4 September, mereka menandatangani naskah pernyataan bersama. Di situ, ketiganya menyatakan "hasrat membentuk pemerintahan koalisi (Republik) Demokrasi Kampuchea, yang bertujuan meneruskan perjuangan membebaskan Kampuchea dari agresi Vietnam dengan segala cara." Mengapa Cuma Hasrat Duduk diapit Son Sann dan Khieu Samphan, Sihanouk menghadapi banyak wartawan dan juru kamera tv. Pertemuan mereka di Singapura (2 - 4 September), katanya, berpengaruh baik menyongsong Sidang Umum PBB (15 September), yang akan membicarakan lagi soal Kampuchea. Pendeknya, menurut dia, hasil pertemuan itu akan menyelamatkan kursi Khmer Merah (Demokratik Kampuchea). Rezim Heng Samrin yang didukung Vietnam, berusaha merebut kursi di PBB itu. "Tapi kami sadar, jalan masih panjang," tambah Son Sann dalam bahasa Prancis. "Kendati baru merupakan keinginan membentuk pemerintahan koalisi, inilah langkah pertama yang kami anggap penting." Mengapa hanya "hasrat" bukan "keputusan"? Keinginan, kata Sihanouk dalam bahasa Inggris, merupakan sesuatu yang diperlukan dulu sebelum melakukan tindakan. Dan sebelum menyatakan hasrat tersebut, ketiganya bertengkar di sebuah ruangan di lantai 6 hotel itu. Son Sann, misalnya, mengajukan sejumlah syarat untuk membentuk pemerintahan koalisi. Jika kelak pemerintahan koalisi terbentuk, dia ingin kelompok gerakannya merupakan mayoritas dalam kabinet (memegang posisi kunci) --sementara dia jadi PM. Dia juga tak menghendaki Pol Pot, Panglima Angkatan Bersenjata Khmer Merah, yang sudah rusak citranya, duduk dalam kabinet koalisi kelak. "Kami ingin agar Khmer Merah mengubah sikap (kerasnya) selamaini," katanya dalam pertemuan pers (3 September) di Bokhara Room, Hotel Marco Polo. "Jika kali ini tidak ada kesepakatan, kami akan kehilangan dukungan rakyat Kampuchea." Khieu Samphan, yang tinggal di Hotel Century Park Sheraton (sekitar 100 meter di seberang Marco Polo) tidak memberikan reaksi. Selama empat hari berada di Singapura, dia lebih suka mengurung diri di kamarnya di lantai 24. Khieu Samphan, yang lebih fasih berbahasa Prancis, selalu menolak berkomentar dengan alasan penerjemah tak berada di sisinya. Lahir 49 tahun lalu di Svay Rieng, Khieu Samphan kelihatan senantiasa segar dan berjalan cepat. Tapi justru Presiden merangkap Perdana Menteri Khmer Merah itulah yang pertama kali memberikan pernyataan tertulis setibanya di Singapura, 2 September. Di situ, Khieu Samphan menginginkan agar pembentukan persatuan nasional bertolak dari program politik minimum, yang harus disetujui semua pihak. Di dalam persatuan tersebut, menurut dia, setiap kelompok (partai) tetap diberi kebebasan menyandang identitas politik dan organisasi kelompoknya. Tentu saja program politik minimum tadi tidak akan menguntungkan KPNLF yang minoritas. Kelompok Son Sann itu diduga hanya punya lima ribu tentara yang terlaih, dibanding Khmer Merah berkekuatan sekitar 30 ribu tentara. Jika program politik minimum dilaksanakan, Son Sann khawatir pengaruhnya akan luluh ditelan. Bahkan Son Sann belakangan meminta agar tentara Khmer Merah ditempatkan di bawah komando Jenderal Dien Dell, Panglima KPNLF. Sihanouk, yang tinggal di Hotel Shangri-La, sekitar 200 meter di belakang Sheraton, tak terdengar mengajukan syarat bagi pembentukan pemerintahan koalisi. Seorang diplomat senior ASEAN, yang menghubungi ketiga tokoh itu secara terpisah, berusaha meyakinkan bahwa pemerintahan koalisi tidak akan terbentuk jika pihak masing-masing mengajukan syarat. Diplomat itu tak kenal lelah mondar-mandir menghubungi ketiga pihak. Son Sann akhirnya (3 September) turun dari kamarnya di lantai 11 Marco Polo menemui Sihanouk di Shangri-La. Malam harinya, Khieu Samphan juga menemui Sihanouk. Sesudah setengah jam berembuk, keduanya akhirnya saling berpelukan. Malam itu juga, Son Sann, Khieu Samphan dan Sihanouk untuk pertama kalinya sejak 1975, bertemu secara bersama dalam jamuan makan yang diselenggarakan Wakil PM Singapura Sinnathamby Rajaratnam. Kedudukan Khmer Merah akhirnya bisa diketahui esok harinya, ketika pernyataan bersama ditandatangani. Sihanouk secara terbuka menyatakan ia mendukung pencalonan Son Sann sebagai PM dalam pemerintahan koalisi kelak. Namun "Khmer Merah tak menginginkan saya memegang peranan," katanya. Dalam konperensi pers bersama itu, tidak disebut-sebut peranan Khieu Samphan kelak. Sihanouk yang paling banyak berbicara mengatakan bahwa organisasi tentara masing-masing kelompok tetap independen. Setiap kelompok akan mendudukkan wakilnya di staf umum--tapi tanpa panglima, katanya. Semua persoalan dan komposisi dalam pemerintahan koalisi itu "kelak akan dibicarakan dalam komite ad boc," ujar Khieu Samphan lewat penerjemah. Sihanouk sangat marah ketika seorang wartawan mengecam bahwa pemerintahan koalisi apa pun tetap tidak akan mampu mengatasi penderitaan rakyat Kampuchea. Dalam konperensi pers berikutnya di Orchid Room, Hotel Shangri-La, 5 September, dia menjawab bahwa hanya bangsa Kampuchea yang bisa memahami penderitaan Kampuchea --bukan bangsa Barat. Kendati demikian, dia mengharapkan RRC dan AS membantu mengirimkan senjata untuk gerakan perlawanan Khmer. "Saya yakin Washington kelak setuju jika Kampuchea jadi wilayah penyangga antara Thailand (nonkomunis) dan Vietnam (komunis)," ujarnya. Permintaan bantuan semacam itu dikecam oleh Tass, kantor berita resmi Uni Soviet. Usaha mempertahankan kursi Khmer Merah di PBB, demikian Tass, "merupakan impian tidak realistis, karena mereka bukan mewakili siapa pun, tapi mewakili orang-orang yang nyaris bangkrut dan ditolak rakyat Khmer." SPK, kantor berita resmi rezim Heng Samrin juga mengeluarkan kecaman senada. "Pertemuan (Singapura) tersebut merupakan sandiwara belaka, dan tidak menghasilkan apa-apa," tulisnya. Bersamaan dengan pertemuan tiga pemimpin perlawanan Khmer itu, Le Duan, Pemimpin Partai Komunis Vietnam, terbang ke Moskow. Di Kremlin, ia diduga meminta bantuan sekutunya itu lebih banyak. Adalah dengan dukungan militer dan keuangan Soviet pula, Vietnam sejak 1979 menempatkan sekitar 200 ribu tentaranya di Kampuchea. Hanoi baru mau menarik mundur seluruh pasukan tersebut, katanya, jika "ancaman dari RRC" --seperti didengungkan Moskow--sudah lenyap. Karena begitu gigih sikap Vietnam, hasil pertemuan Singapura itu tetap diragukan untuk bisa membebaskan Kampuchea. Namun, seperti diucapkan Menlu Singapura S. Dhanabalan, persoalan mendesak sekarang bagi mereka (Son Sann, Khieu Samphan dan Sihanouk) adalah bersatu melawan Vietnam, baik di hutan maupun forum PBB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus