KERUSUHAN meledak lagi di berbagai kota di Inggris. Dan kali ini
bukan hanya kalangan kulit hitam yang terlibat. Di berbagai
kerusuhan banyak kaum kulit putih yang ikut merampoki toko.
Michael MacCuire, seorang pemuda kulit putih yang berumur 15
tahun, lolos dari kepungan polisi. Ia berhasil membawa beberapa
bungkus rokok dan beberapa botol bir. "Anda bisa mendapatkan
seperti ini asal saja mau masukke toko dan mengambil apa yang
anda mau. Semua orang bisa melakukannya," ujar MacGuire.
Bersama temannya -- seoran pemuda kulit hitam, Raymond Fowles,
14 tahun -- ia tertawa ketika menceritakan peristiwa yang
berlangsung di Liverpool ini, yaitu aksi campuran kaum kulit
berwarna dan putih. "Ini semua karena kesalahan polisi. Mereka
usik kami, terutama kaum kulit hitam," ujar Fowles. Keduanya
adalah anak kelahiran Toxteth, suatu daerah slum yang paling
jorok di Liverpool.
Memang, kepahitan hidup masyarakat Toxteth ini salah satu
penyebab timbulnya huru-hara. Mereka mendiami suatu daerah yang
kurang air dan penuh dengan pabrik yang bangkrut. "Mereka
mengalami semacam kegersangan spiritual yang berlipat ganda"
tulis Peter Jenkins di Mingguan Guardian. Apalagi tingkat
pengangguran di Toxteth tergolong yang paling besar. Sekitar 40%
dari angkatan kerja di kota itu menganggur, dibandingkan dengan
di seluruh Inggris berkisar 11%.
Kerusuhan yang melanda Liverpool ini memang tak kepalang
tanggung. Pada hari ketiga, 7 Juli, para perusuh menyerhu
supermarket dan membakar gedung. Sedikitnya 20 bangunan yang
hancur karena dibakar. Dan untuk mencegah herkembangnya
kerusuhan itu, 2000 orang polisi. Yang biasa dikenal dengan
panggilan bobby dikerahkan ke daerah itu. Tapi perlawanan
kalangan perusuh ternyata cukup keras. Mereka melempari polisi
dengan batu dan botoL Akibatnya tak kurang dari 225 orang polisi
luka-luka.
Sementara itu kaum perusuh punya jaringan yang kuat juga.
Melalui radio mereka menghubungi satu sama lain, memberitahukan
daerah mana yang dijaga keras oleh polisi. Di samping itu mereka
juga mengirim pesan ke kota lain. Tak kurang dari 20 daerah
semacam Toxteth yang ada di London, Birming ham, Bradford,
Leicester, Nottingham dan Menchester kemudian juga ikut terancam
kerusuhan.
Di Manchester, sekitar 500 orang pemuda menyerbu toko-toko. Ada
yang membakari toko, ada pula merampoknya. Menurut polisi, lebih
60% dari perusuh itu adalah orang kulit putih. Dan dari berbagai
kerusuhan yang menyolok adalah perlawanan mereka terhadap
polisi. Ini terutama terlihat di Southall, bagian barat London.
Malam itu (3 Juli) timbul kerusuhan antara komplotan pemuda
kulit putih yang dikenal dengan nama Skinheads (kepala gundul)
dan komplotan pemuda Asia. Itu terjadi di sebuah pub, tempat
kesukaan orang Inggris minum bir.
Melihat perkelahian antara kedua kelompok itu, polisi langsung
turun tangan. Namun ketika polisi mendekat, kedua komplotan itu
semacam bersatu mengeroyok polisi. Polisi yang hanya
bersenjatakan pentungan itu hampir tak berdaya menghadapi
keduakomplotan itu. Akibatnya 60 orang polisi luka-luka.
Di berbagai tempat lain, kaum perusuh juga melempari mobil
patroli ataupun pos polisi. Bahkan mereka juga membajak ambulan
untuk mengangkut barang hasil rampokan.
Persoalan Rasial
Kerusuhan yang meluas ke berbagai kota itu tentu saja merisaukan
PM Margaret Thatcher. Apalagi terlibat generasi muda. Menurut
Pendeta David Valentine, banyak di antara mereka yang berumur di
bawah 17 tahun."Pemerintah dan Parlemen bisa saja membuat
undang-undang, polisi dan pengadilan bisa menegakkannya. Tetapi
sebuah masyarakat merdeka hanya bisa berjalan jika orang mau
mematuhinya, dan mengajari anak-anaknya untuk mematuhi undang-
undang," kata PM Thatcher.
Ia kemudian mengusulkan agar orang tua yang anaknya terlibat
dalam aksi kerusuhan bisa dihukum denda. Tapi seorang tokoh
konserfatif, Enoch Powell, tak melihat bahwa kerusuhan ini
semata-mata karena kenakalan remaja. "Ini persoalan rasial,"
ujarnya. Ia mencoba mengkambinghitamkan 2 juta penduduk kulit
berwarna yang menetap di Inggris. Powell, anggota parlemen dari
Partai Ulster Unionist, 13 tahun yang lalu pernah meramalkan
bahwa kehadiran orang kulit berwarna akan 'membikin banjir darah'.
Di tengah menghangatnya kerusuhan itu, kaum konserfatif
menyerukan betapa perlunya ditegakkan hukum. Mereka menghimbau
para orangtua agar mening katkan disiplin anak-anak mereka. Di
samping itu mereka juga mendesak agar polisi diberi perlengkapan
yang memadai untuk menghadapi setiap kerusuhan. Adalah untuk
pertama kalinya bom air mata jenis CS (bikinan Corson &
Stoughton) digunakan dalam menghadapi kerusuhan pekan lalu itu.
Selama ini bom air mata jenis itu hanya digunakan melawan
teroris bersenjata, seperti yang terjadi di Irlandia Utara.
Tokoh masyarakat seperti Hilary Hodge, anggota Dewan Kota
Liverpool, mengatakan bahwa kejadian serupa ini bisa terjadi
jika masyarakat sudah kehilangan harapan. Dan tokoh oposisi dari
Partai Buruh, Dennis Healey, tetap menuduh bahwa pengangguran
sebagai sebab utama timbulnya kemarahan kaum muda ini. Yang
jelas sampai hari Minggu lalu, 700 orang sudah ditahan dan 500
orang polisi cidera akibat kerusuhan yang terjadi di 19 kota.
Sementara itu di seluruh Inggris, polisi dinyatakan dalam
keadaan siaga khusus. Menteri Dalam Negeri, Wiliiam Whitelaw
bahkan mengumumkan larangan berpawai selama sebulan, kecuali
bagi upacara keagamaan, pendidikan dan festival. Dengan kata
lain, upacara perkawinan Pangeran Charles dan Lady Diana yang
akan berlangsung 29 Juli tidak terkena larangan ini.
Tapi siapa sesungguhnya di belakang kerusuhan ini? Beberapa
koran di London, melemparkan tuduhan bahwa gerakan ini didalangi
oleh kelompok Trotskyist dan ekstrim kiri. "Sebagian besar dari
kita tidak menyangka kalau hal serupa ini akan terjadi di negara
kita," kata PM Thatcher.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini