Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Teringat golput

Jubir depdagri, feisal tamin, mengungkapkan adanya 'dokumen otentik' yang merupakan petunjuk adanya kelompok yang menghasut masyarakat agar tidak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu '82.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pemilihan umum, Mendagri Amirmachmud kembali berbicara keras. Pekan lalu selaku Ketua Lembaga Pemilu ia menyatakan: "Pemerintah akan menindak tegas siapa saja -- baik perorangan maupun kelompok -- yang menghasut pihak lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti." Lewat Jurubicara Depdagri Feisal Tamin, Amirmachmud mengingatkan bunyi pasal 27 ayat 1 UU No.15/1969 yang mengancam mereka yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya pemilu dengan pidana 5 tahun penjara. Ancaman hukuman yang sama juga dikenakan pada mereka yang dengan sengaja dan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalangi seseorang akan melakukan haknya memilih dengan bebas dan tidak terganggu. Rupanya ada alasan mengapa Mendagri mengeluarkan peringatan itu. Feisal Tamin pada Sinar Harapan mengungkapkan, pihaknya sudah punya dokumen otentik yang merupakan petunjuk kuat bahwa memang ada kelompok atau gerakan tertentu yang mulai mencoba mengeruhkan, menghasut masyarakat agar tidak menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 4 Mei 1982 mendatang. Juru bicara Depdagri beranggapan, seseorang bisa saja tidak menggunakan hak pilihnya. "Tapi itu harus atas kesadarannya sendiri dan bukannya karena hasutan orang lain," katanya. Diakuinya, tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Namun itu bisa menunjukkan tebal kadar kesadarannya sebagai warga negara yang baik. Dan lagi, sikap itu merugikan sendiri "golongan putih" tersebut. Feisal Tamin menolak mengungkapkan nama "kelompok" atau "gerakan tertentu" itu. Brangkali yang dimaksudnya adalah Gerakan Rakyat Marhaen (GRM), satu dari banyak organisasi yang belakangan ini didirikan para bekas anggota Partai Nasional Indonesia. Hak Asasi "Dokumen otentik" yang dimaksud mungkin pernyataan Selamat Ginting, Ketua DPD PDI Jakarta dari kelompok DPP PDI Abdul Madjid, yang dibacakannya dalam acara peringatan Hari Lahirnya PNI 4 Juli lalu di Jakarta. Peringatan yang dihadiri sekitar 100 orang tokoh GRM itu diselenggarakan di kantor pusat DPP PDI Abdul Madjrd di Pasar Baru, Jakarta. Dalam pernyataan yang juga dikirimkan kepada Presiden dan juga Mendagri selaku Ketua LPU. disebutkan GRM akan mengambil sikap untuk tidak menggunakan hak pilih karena beranggapan "Pemilu 1982 tidak ada gunanya." Menurut Abdul Madjid yang hadir dalam acara tersebut, Selamat Ginting memang mengajak GRM untuk tidak menggunakan hak memilihnya dalam Pemilu 1982. "Seperti halnya mengajak memilih, mengajakuntuktidak memilih berkaitan dengan hak asasi seseorang," ujar Abdul Madjid. Selamat Ginting, menurut Madjid, menegaskan ajakan untuk tidak memilih tidak sama dengan menghasut. Artinya ajakan untuk melaksanakan hak asasi tidak bisa diancam dengan hukuman seperti menghasut. Abdul Madjid mengambil Pemilu 1977 sebagai contoh. Waktu itu dari sekitar 60 juta pemilih, kurang lebih hanya 80% yang menggunakan hak pilihnya. "Apakah yang tidak menggunakan hak pilihnya harus dihukum?" tanyanya. Kegagalan pemilu tidak bisa hanya diukur dari besar kecilnya rakyat yang mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). "Belum tentu rakyat berbondong-bondong ke TPS lantas pemilu sukses," kata Abdul Madjid pula. Mungkin ada yang melampiaskan kekesalannya dengan merobek, merusak tanda gambar atau membuat agar suara tidak sah. Daripada ada hal semacam ini, lebih baik tidak datang saja," katanya. Pemilu yang sukses, menurut anggapan Madjid, adalah pemilu yang lancardan tenang terlaksana, tanpa ada paksaan dan ketakutan. Artinya yang benar-benar "luber" (langsung, umum, bebas dan rahasia). "Termasuk kebebasan untuk memilih dan tidak memilih," ujar Abdul Madjid. Ia sendiri sudah memastikan tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Mungkin tidak semua orang akan sependapat dengan Abdul Madjid. Yang jelas, "gerakan" ini tampaknya berbeda dengan "Golput" (Golongan Putih) yang muncul menjelang Pemilu 1971 yang menganjurkan pemilih untuk mencoblos bagian putih dari kertas suara sebagai pernyataan protes. Pemilih yang memenuhi anjuran ini, seperti terlihat dalam hasil Pemilu 1971, ternyata sedikit sekali. Golput sendiri dinyatakan terlarang pada pertengahan Juni 1971, beberapa pekan menjelang pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus