MENJELANG pemilihan umum, Mendagri Amirmachmud kembali berbicara
keras. Pekan lalu selaku Ketua Lembaga Pemilu ia menyatakan:
"Pemerintah akan menindak tegas siapa saja -- baik perorangan
maupun kelompok -- yang menghasut pihak lain untuk tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti."
Lewat Jurubicara Depdagri Feisal Tamin, Amirmachmud mengingatkan
bunyi pasal 27 ayat 1 UU No.15/1969 yang mengancam mereka yang
dengan sengaja mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya
pemilu dengan pidana 5 tahun penjara. Ancaman hukuman yang sama
juga dikenakan pada mereka yang dengan sengaja dan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan menghalangi seseorang akan
melakukan haknya memilih dengan bebas dan tidak terganggu.
Rupanya ada alasan mengapa Mendagri mengeluarkan peringatan itu.
Feisal Tamin pada Sinar Harapan mengungkapkan, pihaknya sudah
punya dokumen otentik yang merupakan petunjuk kuat bahwa memang
ada kelompok atau gerakan tertentu yang mulai mencoba
mengeruhkan, menghasut masyarakat agar tidak menggunakan hak
pilih mereka dalam Pemilu 4 Mei 1982 mendatang.
Juru bicara Depdagri beranggapan, seseorang bisa saja tidak
menggunakan hak pilihnya. "Tapi itu harus atas kesadarannya
sendiri dan bukannya karena hasutan orang lain," katanya.
Diakuinya, tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak mau
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Namun itu bisa
menunjukkan tebal kadar kesadarannya sebagai warga negara yang
baik. Dan lagi, sikap itu merugikan sendiri "golongan putih"
tersebut.
Feisal Tamin menolak mengungkapkan nama "kelompok" atau "gerakan
tertentu" itu. Brangkali yang dimaksudnya adalah Gerakan Rakyat
Marhaen (GRM), satu dari banyak organisasi yang belakangan ini
didirikan para bekas anggota Partai Nasional Indonesia.
Hak Asasi
"Dokumen otentik" yang dimaksud mungkin pernyataan Selamat
Ginting, Ketua DPD PDI Jakarta dari kelompok DPP PDI Abdul
Madjid, yang dibacakannya dalam acara peringatan Hari Lahirnya
PNI 4 Juli lalu di Jakarta. Peringatan yang dihadiri sekitar 100
orang tokoh GRM itu diselenggarakan di kantor pusat DPP PDI
Abdul Madjrd di Pasar Baru, Jakarta.
Dalam pernyataan yang juga dikirimkan kepada Presiden dan juga
Mendagri selaku Ketua LPU. disebutkan GRM akan mengambil sikap
untuk tidak menggunakan hak pilih karena beranggapan "Pemilu
1982 tidak ada gunanya."
Menurut Abdul Madjid yang hadir dalam acara tersebut, Selamat
Ginting memang mengajak GRM untuk tidak menggunakan hak
memilihnya dalam Pemilu 1982. "Seperti halnya mengajak memilih,
mengajakuntuktidak memilih berkaitan dengan hak asasi
seseorang," ujar Abdul Madjid. Selamat Ginting, menurut Madjid,
menegaskan ajakan untuk tidak memilih tidak sama dengan
menghasut. Artinya ajakan untuk melaksanakan hak asasi tidak
bisa diancam dengan hukuman seperti menghasut.
Abdul Madjid mengambil Pemilu 1977 sebagai contoh. Waktu itu
dari sekitar 60 juta pemilih, kurang lebih hanya 80% yang
menggunakan hak pilihnya. "Apakah yang tidak menggunakan hak
pilihnya harus dihukum?" tanyanya.
Kegagalan pemilu tidak bisa hanya diukur dari besar kecilnya
rakyat yang mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). "Belum
tentu rakyat berbondong-bondong ke TPS lantas pemilu sukses,"
kata Abdul Madjid pula. Mungkin ada yang melampiaskan
kekesalannya dengan merobek, merusak tanda gambar atau membuat
agar suara tidak sah. Daripada ada hal semacam ini, lebih baik
tidak datang saja," katanya.
Pemilu yang sukses, menurut anggapan Madjid, adalah pemilu yang
lancardan tenang terlaksana, tanpa ada paksaan dan ketakutan.
Artinya yang benar-benar "luber" (langsung, umum, bebas dan
rahasia). "Termasuk kebebasan untuk memilih dan tidak memilih,"
ujar Abdul Madjid. Ia sendiri sudah memastikan tidak akan
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Mungkin tidak semua
orang akan sependapat dengan Abdul Madjid. Yang jelas, "gerakan"
ini tampaknya berbeda dengan "Golput" (Golongan Putih) yang
muncul menjelang Pemilu 1971 yang menganjurkan pemilih untuk
mencoblos bagian putih dari kertas suara sebagai pernyataan
protes. Pemilih yang memenuhi anjuran ini, seperti terlihat
dalam hasil Pemilu 1971, ternyata sedikit sekali.
Golput sendiri dinyatakan terlarang pada pertengahan Juni 1971,
beberapa pekan menjelang pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini