Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koperasi: untuk siapa ?

Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan, peranan koperasi belum dimanfaatkan petani miskin, buruh tani dan nelayan. perlu diadakan pembinaan pra koperasi yang diarahkan kepada semangat usaha koperatif.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DR Wagiono Ismangil adalah salah seorang anggota Team Asistensi Menmud Urusan Koperasi Sehari-hari sebagai Pembantu Dekan Pidang Administrasi dan Keuangan pada Fakultas Ekonomi UI, dan mengajar mata kuliah Manajemen dan Ekonomi Perusahaan. USAHA bersama dengan asas kekeluargaan ini merupakan landasan usaha ekonomis yang hendak kita kembangkan. Namun pengejawantahannya dalam pelaksanaan tidak mudah. Untuk usaha ekonomis seringkali perlu dikembangkan sikap bersaing, karena pada dasarnya usaha ini menjurus kepada "memperebutkan" sumber daya yang memang terbatas. Kalau usaha ini harus dikombinasikan dengan sikap kekeluargaan, terasa semacam kontradiksi yang menyulitkan mencari keselarasannya. Karena itu seringkali kita lihat ciri koperasi berat ke arah sosialnya, dan berfungsi sebagai kelompok sosial yang kemampuan melaksanakan fungsi ekonomisnya tidak nampak. Sebaliknya kita seringkali melihat bentuk usaha koperasi digunakan seolah ini merupakan perseroan biasa dengan sifat-sifat usaha yang kapitalistis. Atau karena kesulitan yang dihadapi dalam berusaha maka untuk usaha ekonomisnya koperasi mendirikan PT agar mempunyai daya gerak yang lebih lincah dan tidak dikekang dengan berbagai pembatas dalam melaksanakan usaha bisnis. Di sini pula letak masalah pembinaan watak usaha yang koperatif. Dua watak yang sifatnya bertentangan ini, ekonomis dan sosial, harus dikembangkan dan dipertemukan. Kita kerapkali mengasumsikan, watak kebersamaan ini merupakan ciri yang terpadu dengan sifat-sifat bangsa. Memang demikian secara sosial. Namun seringkali watak kegotongroyongan sosial ini tidak begitu saja dapat dipindahkan kepada suatu lingkungan usaha ekonomis. Ini memang dapat membuat kita menjadi penasaran. Karena sudah terpatri dalam benak kita bahwa masyarakat kita ini masyarakat gotong royong, dan karena itu dengan sendirinya akan ada semangat berkoperasi. Karena itu masalah pembinaan jiwa koperatif tidak dipermasalahkan. Jiwa koperatif, usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, memang hanya dapat tumbuh dalam suasana sama-sama merasakan adanya tekanan dari pihak lain atau sama-sama melihat bahwa dengan bekerjasama dapat menyingkirkan berbagai penghalang. Pengalaman pengembangan koperasi di negara kita memang menunjukkan koperasi-koperasi yang berhasil dan berkembang mengandung unsur-unsur kesadaran menghadapi masalah bersama, yang menjadi landasan kemampuan bekerjasama secara koperatif itu. Pemerintah dalam usaha mengembangkan kehidupan perkoperasian dalam masyarakat memulai dengan mengembangkan koperasi sebagai aparat distribusi dari berbagai barang yang diatur pemerintah dan atau pelaksana kebijaksanaan pemerintah. Koperasi dalam hal ini tidak banyak berbeda dengan sistem kumicho yang kita lihat pada zaman Jepang dulu. Memang benar usaha distribusi merupakan usaha bisnis juga, dan melalui koperasi dapat ditarik partisipasi dan pengawasan oleh anggota-anggota koperasi itu sendiri. Tetapi partisipasi untuk mendapatkan jatah tidak begitu saja dapat dikonversikan menjadi landasan usaha koperatif yang sifatnya mengembangkan usaha bisnis dari anggota-anggotanya. Karena itulah seringkali kita lihat koperasi yang dikembangkan pemerintah dengan pendekatan ini menghadapi masalah tidak dapat berkembang lebih luas menjadi wadah usaha bisnis yang berasaskan kekeluargaan. Dan jadilah dia koperasi untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah saja. Masalah lain yang seringkali dikemukakan dalam membahas pengembangan koperasi adalah peranan pengurus yang seringkali memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingannya sendiri. Pengurus yang demikian ini tidak mengembangkan iklim untuk membina jiwa koperatif. Pengurus macam ini menggunakan koperasi sebagai alat memajukan kepentingannya sendiri. Beberapa kasus menunjukkan, kedudukan yang kuat ini seringkali didapat karena ciri badan hukum dari koperasi masih belum melembaga. Bank dalam memberikan kredit seringkali meminta agunan pengurus secara pribadi dengan seluruh hartanya. Hal lain yang mengembangkan sikap ini adalah struktur masyarakat yang masih berpelapisan (stratifed) dengan anggota-anggota (umumnya dari pelapisan bawah) yang tidak memegang inisiatif apa-apa. Dalam struktur yang demikian fungsi pengawasan yang sebenarnya ada di tangan anggota tidaklah berperan sebagaimana mestinya. Dengan demikian memang koperasi kehilangan ciri kekeluargaannya. Dan jadilah ia koperasi untuk pengurus. Berbagai penelitian, baik yang dilakukan oleh badan penelitian PBB (UNRISD) atau badan-badan penelitian perguruan tinggi kita sendiri menunjukkan peranan koperasi sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak perlu ditinjau kembali. Mereka yang mendapat manfaat dari koperasi adalah mereka yang memang sudah maju secara ekonomis. Di pedesaan ternyata banyak penelitian menunjukkan yang memanfaatkan koperasi adalah petani kaya. Petani miskin, buruh tani atau nelayan yang tak bermodal tidak mendapat manfaat dan tidak bisa berpartisipasi dengan menguntungkan. Dari kenyataan ini nampak bahwa koperasi belum memenuhi harapan kita menjadi wahana pengembangan perekonomian rakyat. Ini tentu merupakan kenyataan yang pahit bagi para pembina koperasi. Citra koperasi bisa menjadi pudar karena ini dan tidak dapat diharapkan menjembatani jurang yang makin lebar antara si miskin dan si kaya. Masalah ini bertambah suram lagi kalau kita saksikan, masih ada kesangsian di antara pengusaha untuk menjadikan koperasi sebagai wadah usaha. Penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil dari jumlah perusahaan yang ada di negara kita berbentuk koperasi. Dapat dibayangkan kalau sekelompok pengusaha berkumpul dan mempertimbangkan berbagai alternatif bentuk badan usaha yang digunakan maka dapat dipastikan bahwa koperasi tidak merupakan salah satu pertimbangan yang mereka bicarakan. Demikian juga kalau kita lihat kegiatan bisnis di lingkungan kita, jarang kita lihat koperasi turut serta berdesakan, bersaing dalam mendapatkan tender atau bisnis lain. Apakah ini disebabkan bentuk koperasi itu? Atau apakah memang struktur koperasi yang sekarang ini tidak menampung watak koperatif masyarakat kita? Bagaimanapun pertanyaan pokoknya adalah: apakah koperasi merupakan badan yang memungkinkan usaha rakyat turut serta menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi sekarang ini? Pemikiran kembali ke arah struktur koperasi yang sesuai ini sangat mendasar dan perlu dilakukan agar tidak secara apriori orang mengecam koperasi sebagai tidak sesuai. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh badan-badan swasta yang mengembangkan usaha-usaha bersama (yang berjiwa koperatif tapi tidak dinamakan koperasi) di beberapa daerah memang menunjukkan perlunya pendekatan yang berbeda, yang disesuaikan dengan ciri-ciri rakyat daerah yang bersangkutan agar semangat koperatif dapat ditumbuhkan dengan baik. Bagi yang merasa lemah, yang daya saingnya kurang atau yang merasa tidak berdaya berjuang sendirian, sifat-sifat koperatif umumnya ada dalam jiwanya. Masalahnya hanya menumbuhkannya dengan cara yang sesuai. Karena itu beberapa pendapat menyatakan, sebaiknya dilakukan suatu tahapan pembinaan prakoperasi yang mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan semangat koperatif sebelum mereka digalang dalam koperasi. Peningkatan peran koperasi sebagai badan usaha akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dari para pembina dan pemerintah. Khususnya secara struktural sekarang dikembangkan lapisan sekunder maupun nasional yang mendukung usaha koperasi di tingkat primer. Bagi koperasi-koperasi ABRI dan berbagai koperasi non-KUD hal ini sudah lama berkembang. Kini bagi KUD juga dikembangkan berbagai PKK (Pusat Pengembangan Koperasi) di tingkat kabupaten, PUSKUD di tingkat provinsi, dan INKUD di tingkat nasional untuk mengembangkan suatu sistem perkoperasian yang lebih mantap. Dengan berbagai lapisan tersebut perkembangan perkoperasian tidak lagi dibatasi oleh lingkup di tingkat primer saja, tetapi dapat ditarik dan dimanfaatkan sumber daya dari lingkup yang lebih luas yang menambah kokohnya landasan pengembangan koperasi. Kini setelah tiga puluh empat kali berhari koperasi memang sudah banyak yang kita capai. Arah yang dituju jelas. koperasi harus dikembalikan untuk dan oleh anggota, bukan untuk pemerintah dan bukan hanya untuk kepentingan pengurus. Secara nyata pembinaan pemerintah memang diperlukan. Namun peranan pemerintah ini hendaknya diarahkan kepada pembinaan semangat usaha koperatif, dengan struktur yang sesuai. Bersamaan dengan itu setapak demi setapak pembinaan koperasi llarus kembali kepada koperasi itu sendiri sehingga terasa benar-benar koperasi milik rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus