Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Suriah yang digulingkan, Bashar al-Assad, sedang berada di Moskow untuk menghadiri sebuah upacara yang menandai penerimaan gelar PhD di bidang matematika bagi putranya, Hafez, saat pasukan oposisi melancarkan serangan mendadak pada 27 November, demikian menurut sebuah laporan dari Al Majalla, yang dilansir Al Arabiya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertempuran di Suriah memaksa al-Assad untuk melewatkan upacara putranya, kata laporan itu. Sebagai gantinya, ia tinggal di kamarnya di Hotel Four Seasons di Moskow, memantau perkembangan terbaru tentang kemajuan oposisi. Pada Jumat, 29 November, pada hari ketika pasukan oposisi merebut Aleppo, al-Assad sedang dalam penerbangan kembali ke Damaskus dari Moskow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah jatuhnya Aleppo, al-Assad dilaporkan menolak saran dari Rusia untuk bersiap-siap mundur demi menghindari pertumpahan darah di ibu kota.
Pengaturan pelarian al-Assad baru diselesaikan pada malam hari 7-8 Desember. Menurut Al Majalla, mantan presiden tersebut melarikan diri dari Damaskus ke pangkalan udara Hmeimim milik Rusia di Suriah barat sebelum menuju Moskow.
Saudara laki-laki Al-Assad, Maher, dan para ajudan terdekatnya dikabarkan tidak mengetahui kepergiannya. Laporan tersebut mengutip sumber-sumber dari oposisi Suriah, mantan rezim al-Assad, dan para pejabat Arab dan Barat.
Sementara itu, Ahmad al-Sharaa, yang juga dikenal sebagai Abu Mohammed al-Julani, pemimpin kelompok "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS), telah mengeluarkan instruksi eksplisit bahwa setiap pejuang HTS yang menyerang warga sipil akan segera dieksekusi, demikian laporan tersebut. HTS memelopori serangan oposisi yang akhirnya menggulingkan al-Assad, dan sejak itu al-Sharaa menjadi penguasa de facto Suriah.
Kembali ke Damaskus, al-Assad menghubungi Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani dan Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed. Ia dilaporkan meminta dukungan militer dari milisi Irak yang didukung Iran dan bantuan keuangan dari UEA.
Amerika Serikat secara eksplisit memperingatkan Irak agar tidak mengerahkan milisi ke Suriah, sementara para pejabat Turki memperingatkan Rusia dan Iran bahwa setiap intervensi militer akan memicu keterlibatan Turki, demikian dilaporkan Al Majalla.
Ketika pasukan oposisi bergerak maju ke arah selatan, sebuah pesawat sipil di bandara militer Mezzeh dilaporkan digunakan untuk mengangkut peti-peti ke luar negeri. Pada 7 Desember, sehari sebelum Damaskus jatuh, kantor media al-Assad menyiapkan sebuah pidato yang akan disampaikannya di istana kepresidenan.
Pada hari yang sama, al-Assad meyakinkan para pejabat, termasuk diplomat utamanya, bahwa situasinya terkendali dan "dukungan Rusia sedang dalam perjalanan," menurut Al Majalla. Al-Assad mengatakan kepada para penasihatnya bahwa ia akan menyampaikan pidato tersebut pada Minggu, 8 Desember.
Namun, pada 7 Desember malam, al-Assad menerima telepon dari pejabat Rusia yang menganjurkan ia untuk meninggalkan Damaskus demi mencegah pertumpahan darah lebih lanjut dan menjaga kepentingan-kepentingan Rusia yang ada di Suriah, kata laporan tersebut.
Pada pagi, 8 Desember, al-Assad telah melarikan diri, dengan hanya membawa dua orang: Mansour Azzam, menteri urusan kepresidenan, dan Brigjen Mohsen Mohammed, kepala unit perlindungannya. Mereka melarikan diri ke pangkalan Hmeimim milik Rusia di Suriah barat dan kemudian terbang ke Moskow. Istri dan anak-anak Al-Assad sudah berada di luar negeri.
Al-Assad memecah kebisuannya pada Senin, dengan mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengklaim bahwa ia ingin tetap berada di Suriah untuk "bertempur" namun dievakuasi oleh Rusia. Menurut Al Majalla, alasan al-Assad bungkam selama seminggu setelah melarikan diri adalah karena ia menunggu para pembantunya - yang ia tinggalkan - untuk mencapai wilayah pesisir Suriah, negara-negara tetangga, atau Moskow untuk mengambil kredensial akses ke akun-akun media sosialnya.