Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lahir di Mesir pada 1926, Yusuf Al Qaradawi dikenal sebagai sosok ulama kontemporer yang berani dan kritis dalam menyikapi masalah Islam. Pemikirannya pun sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa gerah dengan berbagai pandangannya yang kerap dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk penguasa Mesir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ayal, Al Qaradawi selama perjalanan hidupnya kerap bolak-balik mendekam di jeruji besi, bahkan sejak dari muda. Memang, masa mudanya merupakan seorang aktivis gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain itu, dia juga pernah menjadi anggota departemen gerakan tersebut saat dipimpin oleh Bahiy Khuliy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterlibatannya sebagai aktivis Ikhwanul Muslimin membuatnya aktif menggerakkan dan memimpin demonstrasi anti imperialisme Barat dan Israel. Dilansir dari Arab News, gerakan tersebut dianggap berbahaya oleh rezim penguasa Mesir pada 1940-an. Bahkan, itu diyakini sebagai organisasi teroris oleh banyak negara di akhir abad ini.
Pada 1949, Al Qaradawi masuk bui selama 10 bulan, saat umurnya masih 23 tahun alias masih duduk di SMA. Dirinya aktif terlibat dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin saat Mesir dipegang Raja Faruk. Setelah itu, pada 1954 masa revolusi Mesir, dia kembali dipenjarakan selama dua bulan. Pada tahun yang sama, ia kembali dijebloskan ke penjara selama 20 bulan.
Tak berhenti di situ, pengalaman pahit mendekam di penjara harus kembali dirasakan olehnya pada 1962. Mengutip buku Ulama wa Mufakkirun ‘Araftuhum (1977), Al Qaradawi dipenjara selama 50 hari bersama Ahmad ‘Assal. Pun saat sedang mengerjakan disertasi, dia lagi-lagi dituduh mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin oleh penguasa militer Mesir dan dimasukkan penjara.
Setelah keluar dari tahanan dan Mesir sedang dilanda krisis politik, Al Qaradawi memutuskan hijrah ke Qatar. Di sana dia diangkat menjadi imam masjid dan mengajar, serta berceramah. Bersama Abd Muis Abd Sattar, ia mendirikan sekolah Ma’had Al Diniy. Sekolah ini cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar dan kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar.
Hal tersebut membuktikan, pengalamannya keluar masuk penjara beberapa kali membuatnya semakin tegar. Selain itu, dia menetapkan risalah (misi) kehidupannya untuk mengajak orang ke ajaran Islam yang komprehensif. Baik dalam pemikiran akidah, syariah, akhlak, politik, maupun dalam pemikiran peradaban.
HARIS SETYAWAN