Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Inilah Solusi Terbaik

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hugo Hans Siblesz tak menampik informasi bahwa putusan pengadilan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) sempat membuat panas hubungan Cina dan Filipina. Lewat putusannya pada 12 Juli lalu, PCA menolak klaim Cina di kawasan Laut Cina Selatan. Putusan itu memenangkan Filipina, yang menggugat Cina pada 2013. Meski Beijing tidak mengakuinya, Putusan itu mengikat secara hukum, katanya.

Siblesz, 68 tahun, mengatakan PCA tidak melulu menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Mereka bisa menempuh rekonsiliasi, mediasi, atau pencarian fakta. Mahkamah hanya wadah, ujarnya. Pria asal Den Haag, Belanda, ini mencontohkan sengketa Laut Cina Selatan, yang rampung di meja hijau dan mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Kepada Natalia Santi, Mahardika Satria Hadi, Sukma Loppies, Amanda Siddharta, dan fotografer Frannoto dari Tempo, Siblesz bercerita seputar sepak terjang PCA dalam menangani sengketa, Senin dua pekan lalu. Siblesz didampingi Judith Levine, penasihat hukum senior PCA, dalam perbincangan selama hampir satu jam di Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Apa tujuan lawatan Anda ke Jakarta?

Saya bertukar pikiran dengan pihak berwenang di Indonesia, membahas manfaat keanggotaan PCA bagi Indonesia—yang kini masih belum menjadi anggota. Di Asia Tenggara, kecuali Myanmar dan Brunei, semua telah menjadi anggota. Cina bahkan pendiri organisasi yang dibentuk pada 1899 ini.

Apa manfaat menjadi negara anggota PCA?

Menjadi anggota PCA menandakan kepatuhan Indonesia terhadap aturan hukum internasional. Saat ini kami menangani sekitar 120 kasus. Bukan hanya sengketa antarnegara, tapi juga kasus yang melibatkan lembaga publik, institusi provinsi atau negara, badan swasta, perorangan ataupun perusahaan.

Ada biaya yang harus dikeluarkan?

Iuran termurah 560 euro (sekitar Rp 7,8 juta) per tahun. Sedangkan iuran tertinggi, misalnya dari Amerika Serikat dan Jepang, sebesar 52 ribu euro (setara dengan Rp 729,6 juta) tiap tahun. Sangat murah kan, he-he-he....

Bagaimana negara bersengketa menanggapi putusan PCA?

Mereka seharusnya menerapkannya. Arbitrase selalu didasarkan pada persetujuan. Setuju tunduk pada arbitrase dan melaksanakan hasil arbitrase. Jika tidak begitu, tidak ada gunanya mendatangi arbitrase.

Apa konsekuensi bagi negara yang mengabaikannya?

Tidak ada polisi untuk menegakkan putusan dari proses kuasi-yudisial (semi-peradilan). Jika ada pihak yang tidak mau menerapkan putusan, itu kembali ke proses politik. Tidak ada mekanisme untuk memaksa mereka. Ini memang bukan jawaban yang memuaskan, he-he-he....

Apa kasus menarik yang menyedot perhatian komunitas global?

Pada 2014, ada putusan sengketa antara India dan Pakistan mengenai penggunaan air Sungai Indus, yang disebut Kishenganga Arbitration. Di dalamnya ada Kashmir.

Sebagian besar kasus dari mana?

Sekitar sepertiga kasus yang kami tangani dari Asia-Pasifik. Begitu pula sepertiga dari total staf PCA, berasal dari kawasan tersebut.

Apakah itu sebabnya PCA ingin membuka kantor di Asia-Pasifik?

PCA organisasi antarpemerintah. Meski didirikan di Den Haag, PCA adalah institusi global. Kami punya 120 negara anggota di semua benua. Kami tentu juga ingin hadir di berbagai kawasan. Saat ini kantor kami di luar negeri hanya di Mauritius. Kami tengah menjajaki di Singapura, Kuala Lumpur, ataupun Hong Kong.

Tidak di Jakarta karena Indonesia bukan negara anggota?

Mungkin saja, dalam beberapa bulan atau tahun. Tergantung secepat apa keputusan (Indonesia).

Penyelesaian sengketa selalu digelar di Den Haag?

Sebenarnya bisa di mana saja, tergantung keinginan pihak-pihak yang bersengketa. Filipina melawan Cina di Den Haag. Ada kasus lain diproses di Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong.

Sekitar separuh kasus kami proses di luar Den Haag. Jika melibatkan pihak-pihak di satu kawasan, mengapa harus ke Den Haag?

Jumlah kasus di PCA melonjak dramatis dalam 10-15 tahun terakhir.

Mengapa terjadi demikian?

Perdagangan global meningkat, sehingga mendongkrak hubungan internasional yang berpotensi memunculkan sengketa.

Negara-negara kini tidak lagi enggan untuk menyerahkan penyelesaian (sengketa) ke pihak ketiga. Tentu lebih baik mereka bisa memecahkan masalah sendiri. Tapi, jika mereka tidak mampu, ini (PCA) adalah solusi terbaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus