Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di satu permukiman di Aleppo utara, wilayah yang sampai awal pekan lalu masih dikuasai pasukan pemberontak, Salem al-Naser terperangkap di bangunan yang boyak-boyak di bagian luarnya. Di tempat itu pria yang berprofesi sebagai dokter gigi ini berlindung dari gempuran artileri, roket, dan rudal.
Saya bahkan tak tahu bagaimana menggambarkan hal-hal yang berjatuhan di sekitar kami ini, katanya kepada Alison Meuse, wartawan NPR, yang menghampirinya dan mengajaknya bicara untuk siaran acara Morning Edition, Jumat dua pekan lalu.
Menurut dia, orang-orang yang bernasib serupa dengannya adalah pencinta kehidupan. "Bukan berarti Aleppo hanya penuh dengan kumpulan pemberontak atau kaum radikal," katanya pula, menggambarkan bahwa ada kehidupan "normal" selain pertempuran. Dia menjelaskan, dalam banyak kasus, orang-orang itu memilih tinggal karena mereka tak ingin menjadi tunawisma, "pergi ke Eropa" dan "hidup di kamp-kamp pengungsi".
Penduduk wilayah timur Aleppo belakangan juga menghadapi kondisi serupa. Mereka bahkan dalam keadaan putus asa. Mereka—seperti dilaporkan Bilal Abdul Kareem, wartawan Al Jazeera—sampai berdoa agar turun hujan karena, dalam keadaan hujan, "pesawat tak bisa terbang dan pengeboman berhenti sebentar".
"Kami berharap hujan cukup lama bagi para penguasa dunia untuk berbuat sesuatu membantu 15 ribu warga sipil yang terjepit di permukiman kecil di Aleppo bisa menghindari pembantaian," kata Bilal, yang datang ke Aleppo beberapa pekan sebelum kota yang menjadi kubu kelompok pemberontak itu digempur habis-habisan oleh pasukan dan milisi pro-pemerintah Presiden Bashar al-Assad.
Pengepungan yang perlahan-lahan menggencet kelompok pemberontak—sehingga mereka terus kehilangan wilayah kekuasaan—sebetulnya berlangsung sejak November tahun lalu. Tapi serangan besar-besaran pasukan pemerintah, yang didukung operasi pengeboman dari udara oleh Rusia, dilancarkan intensif sekitar sebulan terakhir. Pada Selasa pekan lalu, ketika akhirnya kelompok pemberontak menyatakan takluk dan bersiap meninggalkan kota terbesar kedua di Suriah itu, setelah pertempuran yang disebut-sebut paling brutal dalam perang sepanjang lima tahun terakhir, nasib penduduk sipil dalam keadaan tak menggembirakan.
Kabar tentang mereka berada di antara kutub berita palsu atau bahan propaganda dan berita tentang kejadian yang sebenarnya. Menjelang keberhasilan tentara pemerintah merebut kembali Aleppo, memang dikabarkan ada perayaan dari warga kota, yang turun ke jalan dengan sukacita. Tapi, pada saat yang sama, tersiar melalui berbagai media, ada sejumlah "laporan pandangan mata" dari orang-orang yang mengaku warga sipil tentang kondisi di sekitar mereka serta kecemasan dan kepanikan mereka.
Banyak di antara mereka yang mengira sudah saatnya kematian datang dan karena itu mereka mengucapkan selamat tinggal. Cuitan Bana Alabed, gadis berusia 7 tahun, di akun Twitter-nya; dan video dari Lina Shamy, yang mengaku aktivis, termasuk yang paling mengundang pembaca—juga komentar. Belakangan, muncul pihak-pihak yang mempertanyakan siapa dan keberadaan mereka sesungguhnya, selain isi informasi yang mereka bagikan.
Kekejian yang disebutkan terjadi—pembantaian, pemerkosaan—dan dilakukan tentara atau milisi pro-pemerintah, dalam kabar yang berseliweran itu, sejauh ini tak terbukti. Sekurang-kurangnya, mengingat belum banyak wartawan berada di lokasi, dan karena itu verifikasi sulit dilakukan, siapa pun masih boleh ragu apakah hal tersebut terjadi atau sebaliknya. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip BBC, menyebutkan ada 82 warga sipil—termasuk 11 perempuan dan 13 anak-anak—tewas oleh "pasukan pro-pemerintah". Tapi soal kecemasan, sulit untuk dinafikan, dan semestinya bisa dipahami. Berbeda dengan wilayah barat yang dikendalikan pemerintah, sebagian penduduk Aleppo bagian timur memang simpatisan, juga keluarga, anggota kelompok pemberontak. Mereka takut ada pembalasan dari pasukan pemerintah.
Menurut Zeid Raad al-Hussein, Komisioner PBB untuk Hak Asasi Manusia, pemerintah Suriah punya "tanggung jawab yang jelas untuk memastikan rakyatnya aman". Dia merujuk pada serangan-serangan yang justru terjadi setelah sebuah gencatan senjata disepakati pada Selasa pekan lalu untuk memberi jalan bagi upaya penyelamatan warga sipil. Menurut sumber-sumber yang dikutip media Barat, Iran dan milisi dukungannyalah—yang berada di Suriah untuk membantu rezim Bashar al-Assad—yang membangkang terhadap kesepakatan itu.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Zeid Raad al-Hussein mengatakan, "Bagaimana kesepakatan ini diiming-imingkan di hadapan penduduk yang keletihan dan terkepung—yang menyebabkan mereka berharap bisa tetap hidup keesokan harinya—dan kemudian diabaikan setengah hari kemudian, itu juga sangat jahat."
Berapa banyak orang di wilayah yang dikepung, tak ada satu pun pihak yang mengklaim bisa memastikannya. Utusan Khusus PBB Staffan de Mistura memberi angka perkiraan 50 ribu orang. Menurut dia, pemberontak berkekuatan kira-kira 1.500 orang, 30 persen di antaranya berasal dari kelompok Islam ekstrem yang semula bernama Front al-Nusra. Sumber lain menyebutkan angka 100 ribu orang, kebanyakan datang belakangan dari wilayah-wilayah yang sudah direbut kembali oleh pemerintah.
Yang pasti, di antara puing-puing gedung yang remuk akibat pengeboman, keadaan daruratlah yang berlaku. Kelangkaan makanan dan air bersih bukan satu-satunya masalah. Ibrahim Abu-Laith, juru bicara White Helmets, kelompok penyelamat sukarela, mengatakan 90 persen peralatan mereka tak bisa digunakan. Selain itu, hanya satu lokasi perawatan medis yang masih berfungsi dan nihil peralatan pertolongan pertama. Menurut dia, para sukarelawan terpaksa menggunakan tangan kosong untuk mengeluarkan orang dari reruntuhan.
Nyaris tak adanya peralatan medis itulah yang menjadi pertimbangan untuk lebih dulu mengevakuasi orang-orang yang terluka segera setelah kesepakatan gencatan senjata dicapai lagi. Kesepakatan yang dipromotori Rusia dan Turki ini ditetapkan pada Rabu tengah malam pekan lalu. Menurut Duta Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin, hal itu segera diikuti pengaturan jalan bagi para pemberontak untuk meninggalkan kota, menuju Idlib. Berjarak sekitar 65 kilometer dari Aleppo, kota ini masih dikuasai oleh aliansi kelompok-kelompok pemberontak yang lebih kuat.
Kelompok pemberontak di Aleppo membenarkan hal itu. Tapimereka juga menginginkan warga sipil dibolehkan mengungsi. Menurut Ahmad Qura Ali, juru bicara Ahrar al-Sham—salah satu kelompok pemberontak—dengan gencatan senjata, ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang yang terluka.
Operasi pemindahan memang kemudian dimulai keesokan harinya. Tapi iring-iringan kendaraan yang mengangkut orang-orang terluka pagi itu menjadi sasaran empuk tembakan senjata milisi yang setia kepada pemerintah. Menurut laporan Orient TV (media oposisi), serangan itu menewaskan satu orang dan melukai tiga orang lainnya, termasuk seorang petugas medis. Ahmad Qura Ali, kepada Reuters, menggambarkan serangan itu sebagai "upaya (milisi) Iran untuk mengeksploitasi situasi di Aleppo dan mencegah pemindahan orang-orang kami dari Aleppo yang dikepung".
Tiada ada jaminan bahwa insiden serupa tak bakal terjadi lagi. Dalam situasi yang bagaimanapun, seruan para dokter dan petugas kesehatan, juga permohonan sejumlah warga sipil, beberapa jam sebelum gencatan senjata pada Selasa pekan lalu disepakati, kelihatannya masih berlaku. Mereka mendesak masyarakat internasional berupaya menghentikan pertempuran agar mereka bisa mencari tempat aman. "Kami akan selalu ingat dan tak pernah lupa bagaimana para penjahat dunia memaksa warga Aleppo untuk memilih di antara dua opsi: kematian kolektif atau pemindahan kolektif, dan kami memilih yang paling ringan dari dua kejahatan itu," kata seorang aktivis di Aleppo.
Mereka yang memilih tak pergi karena menolak menghuni kamp-kamp pengungsi mungkin akan tinggal seperti Salem al-Naser dan setiap saat berusaha mencari pembenaran atas pilihannya.
Purwanto Setiadi (Al Jazeera, BBC, CNN, The Guardian, NPR, PressTV)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo