GAYA bekas Gubernur Rodolfo Aguinaldo seperti bintang film koboi. "Inilah Brigadir Jenderal Florendo," teriaknya kepada 1.500 orang yang berkumpul di halaman Hotel Delfino. "Kami telah menangkap dan menjadikannya sandera," seru Kolonel Aguinaldo. Beberapa jam kemudian, ternyata Brigjen. Florendo, Kepala Dinas Hubungan Sipil-Militer itu, dihabisi di lobi hotel. Namun, sampai Senin lalu belum ketahuan, siapa sebenarnya yang menjadi eksekutor. Aguinaldo sendiri atau anak buahnya. "Begitu banyak versi tentang bagaimana penembakan itu terjadi hingga kami sendiri merasa belum pasti," kata Pangab Renato de Villa kepada wartawan Senin pekan ini di Manila. Aguinaldo, yang menyandera Brigjen. Florendo, disebut-sebut melarikan diri dengan sebuah ambulans setelah terjadi tembak-menembak dengan tentara yang setia kepada Presiden Cory Aquino. Inilah insiden berdarah pertama setelah peristiwa penangkapan Senator Juan Ponce Enrile yang biasa dipanggil Johny -- Selasa pekan lalu. Enrile, 66 tahun, yang pernah menjadi menteri pertahanan dalam masa pemerintahan Presiden Marcos dan lantas membelot dan mendukung Cory, diciduk oleh NBI (Biro Investigasi Nasional) di gedung Senat. Berdasarkan tim investigasi, yang diketuai oleh Jaksa Senior Aurelio Trampe, penahanan atas Enrile berdasarkan dua tuduhan yang berbeda. Pertama, Pengadilan Quezon City menuduh Enrile bersama bekas Letkol. 'Gringo' Honasan, Aguinaldo, Letkol. (purn.) Billy Bibit, Brigjen. Felix Brawner, dan pasangan pemilik Hotel Silahis International, Rebecco dan Erlinda Panilio, terlibat dalam usaha kudeta dan pembunuhan, Desember lalu. Tercatat ada 113 orang korban yang jatuh. Tuntutan atas kesalahan melakukan makar ini tak bisa diganti dengan uang jaminan. Kedua, Pengadilan Makati menuduh Enrile telah mengadakan pesta dan mengundang para tokoh pemberontak kelas berat, seperti Honasan dan 100 kawanannya. Pesta dilangsungkan di rumah Johny, Dasmarinas Village, kawasan Makati. Tuduhan yang kedua ini bisa diganti dengan uang jaminan 50.000 peso (Rp 4.350.000). Meski Enrile sudah meringkuk di tahanan ruang ber-AC milik kepala polisi, Cory belum boleh bernapas lega. Kontroversi atas penangkapan Enrile terjadi di ruang parlemen, senat, dan media. Di dalam peraturan Mahkamah Agung Filipina (1950) usaha kudeta dianggap sebagai sebuah pelanggaran politik. Hukuman bisa mencapai 12 tahun. Hukuman bisa diganti dengan denda. UU tersebut memang tak menyinggung hukuman bagi penindak kudeta yang melibatkan pembunuhan. Sedangkan tuduhan yang dilontarkan kepada Enrile adalah tindakan Rebellion Complex yang diterjemahkan sebagai tindakan kriminal dalam usaha menjalankan kudeta. Rebellion Complex pernah tercantum dalam dekrit bekas Presiden Marcos dengan tujuan untuk bisa menangkap musuh-musuh politiknya. Dekrit yang kemudian dicabut Cory pada Juni 1987 itu -- dengan alasan memperkosa hak dan kemerdekaan rakyat -- menurut Enrile, ternyata telah dihidupkan kembali oleh Aquino. Karena itu, Enrile merasa cukup di atas angin untuk meminta Mahkamah Agung meninjau kembali kasus penahanannya sesuai dengan UU yang berlaku. Bahkan, ada yang melancarkan protes sehubungan dengan hak kekebalannya sebagai senator. "Ah, hak imunitas bagi senator hanya bisa berlaku jika ia terlibat dalam kriminalitas derajat rendah. Sedangkan Enrile diduga terlibat dalam kriminalitas tingkat tinggi dalam usaha kudeta itu," kata Menpen Tomas Gomez III kepada TEMPO melalui telepon jarak jauh. Kepada TEMPO, pekan silam, Presiden Cory memastikan bahwa Menhan Fidel Ramos sedang mengajukan proposal undang-undang yang mencantumkan bahwa usaha kudeta patut dianggap sebagai tindakan kriminalitas berat. "Saya malah mendukung agar RUU ini diterima," ujar Cory di Istana Malacanang. Kepada TEMPO, Cory mengakui bahwa konstitusi 1987 telah melemahkan kedudukannya sebagai presiden. "Saya yakin, terutama sejak usaha kudeta Desember silam, rakyat Filipina menyadari betapa kecilnya kekuasaan saya. Malah, ketika banyak pihak yang merekomendasi saya untuk lekas-lekas menahan mereka yang dicurigai, saya peringatkan kawan-kawan saya secara baik-baik, bahwa dalam sistem demokrasi semua orang berhak mempertahankan dirinya melalui pengadilan," kata Cory dengan suara lirih. "Kalau memang diperlukan oleh rakyat Filipina, bisa saja UU itu diperbaiki. Tapi, hanya kalau diperlukan," tambahnya. Aguinaldo memperkuat kubunya di Gattaran, utara Tuguegaro, dengan ratusan prajurit pribadinya. "Biarkan mereka (pemerintah) melakukan penangkapan itu (terhadap Enrile). Biarkan mereka menghancurkan diri sendiri," kata bekas gubernur itu -- dipecat dari jabatannya oleh Aquino -- kepada wartawan Manila Ckronicle yang berhasil mengontaknya. Ternyata, kata-kata Aguinaldo bukan gertak sambal belaka. Bekas gubernur yang lebih suka bersandal jepit dan membelit serentet peluru dan pistol di pinggangnya ini menolak tawaran Florendo -- utusan Fidel Ramos -- untuk menyerahkan diri. Hari Sabtu, Menhan Fidel Ramos terbang ke provinsi tersebut untuk sebuah pertemuan, sekaligus memberi ultimatum kepada Aguinaldo yang tak dihiraukan anggota RAM itu. Hari Minggu lalu, sebelum fajar menyingsing, Florendo -- yang bermaksud meninggalkan Hotel Delfino menuju Markas Besar Komando Kawasan tersebut -- ditahan dan disuruh kembali oleh tentara Aguinaldo. Saat itu, Florendo beserta sopir dan pengawalnya disandera di lobi hotel. Percakapan antara Florendo dan Aguinaldo pun terjadi. Menurut Florendo, Aguinaldo menolak untuk menyerahkan diri karena, secara fisik, ia tak pernah bergabung dengan para pemberontak. "Tapi, kita mempunyai sistem hukum yang dapat menyelesaikannya," bujuk Florendo. Sekitar pukul 10 pagi, Pangdam Manila Brigjen. Rodolfo Biazon mempersiapkan pasukan dari Kamp Villamor untuk dikirim dengan pesawat C-130 ke Cagayan. Ternyata, bandara Cagayan pun sudah dikuasai pasukan Aguinaldo. Dengan geram, Jenderal De Villa mengomando pasukan Brigjen. Antonio maju ke Tuguegarao untuk menghantam sarang pemberontak, tempat kelahiran Enrile itu. Mulai pukul 2.40, terjadi saling tembak kedua pasukan di jembatan Balvain. Pasukan pemerintah, yang akhirnya berhasil menguasai daerah Tuguegarao, segera menghambur ke Hotel Delfino. Ternyata, Florendo telah ditembak. Bapak tiga anak itu segera dilarikan ke rumah sakit Holy Trinity. Namun, usaha itu sia-sia. Leila S. Chudori (Jakarta), Tito Cruz (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini