Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasib Si Kelas Dua

Pemda Tana Toraja, Sul-Sel, tidak mampu menyedot penghasilan di sektor wisata. Peluang kebocoran terbuka. Pendapatan asli daerah tidak mencapai target. Akibatnya, honor anggota DPRD terlambat.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA, tak hanya guru yang gigit jari karena terlambat menerima gaji. Wakil rakyat pun bisa mengalami nasib serupa. Kejadian ini dialami para anggota DPRD Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Gaji para anggota DPRD Tana Toraja, yang biasa disebut paket dewan, sudah sejak awal tahun ini kena "tilang". Dari 34 anggota itu, baru Letkol.Inf. J.M. Surono, Ketua DPRD, sendiri yang bisa mengenyam honorarium. Yang lain masih harus bersabar. Bahkan Februari lalu, mereka baru mengantongi honor jatah Desember tahun silam. Alhasil, untuk tahun ini pun, sampai Maret, belum sepeser pun gaji masuk kantong. "Begitulah. Memang selalu tertunda," ujar Arung Allo Rante, 60 tahun, salah seorang anggota DPRD II di sana. Dana untuk gaji anggota DPRD, lazimnya termasuk satu paket di APBD. Sebenarnya, karena DPRD merupakan bagian dari pemda, dana untuk DPRD seharusnya sejajar pula dengan dana untuk aparat pemda setempat. Tapi, mengapa dana untuk ke-34 anggota tersebut tak masuk hitungan? "Di sini, kelas legislatif memang hanya kelas dua. Eksekutif dianggap kelas satu," kata Nyonya A. Rante, anggota DPRD II Tana Toraja periode 1982-1987. "Bahkan, di zaman saya dulu bisa sampai menunggak lima bulan," tambahnya. Puang Allo Rante, mantan Kakansospol Tana Toraja, juga tak rela kalau pengeluaran rutin eksekutif terjamin sementara untuk legislatif dianaktirikan. "Hal ini memang sudah tidak benar. Kalau perut kosong, tentu berpikir pun terpengaruh," ujar Anton Tondok, Wakil Ketua DPRD. Menurut Bupati Tana Toraja, Tandi Roma Andi Lolo, 48 tahun, biang keladi utama keterlambatan ini gara-gara PAD (Pendapatan Asli Daerah) tak menjangkau yang diimpikan. Penerimaan PAD untuk anggaran 1989/1990 direncanakan Rp 1 milyar. Kenyataannya, hanya Rp 779 juta yang bisa dikantongi. "Target PAD tampaknya tak realistis. Mekanisme pemungutan juga tidak tepat," ujar Tandi Roma. Lalu kekurangan yang 20% inilah yang dijadikan alasan untuk berutang kepada anggota DPRD. Padahal, sebetulnya, paket anggota Dewan ini tak berjumlah besar. Para anggota DPRD, yang terdiri dari 22 dari FKP, 7 dari FABRI, dan satu FPDI ini, masing-masing berhonorarium Rp 230.000 sebulan. Sang Ketua DPRD memperoleh Rp 350.000 dan Rp 332.000 untuk wakilnya. Daerah yang belakangan makin mencuat sebagai daerah tujuan wisata ini ternyata tak mampu mengeruk penghasilan besar di sektor itu. Buktinya, PAD di sini lebih banyak bersumber dari PPH (Pajak Potong Hewan), bukan dari munculnya turis. Untung saja, masyarakat di Toraja, yang berjumlah 360 ribu jiwa dan menyebar di 9 kecamatan itu, paling doyan memotong hewan. Rambu Solo dan Rambu Tuka, upacara kematian dan perkawinan di Toraja, banyak membutuhkan hewan potong. Khusus untuk upacara kematian para ningrat, kerbau dan babi yang dibutuhkan bisa ratusan ekor. Tarif untuk potong kerbau ditetapkan tinggi, biasanya Rp 25.000 per ekor. Untuk babi Rp 5.000. Tapi biaya tinggi ini tampaknya tak mempengaruhi masyarakat setempat untuk mengurungkan niat memotong hewan. Tambang emas bagi pemda tetap berkembang, sekaligus, "Peluang kebocoran pun terbuka lebar," ujar Lebang, Inspektur Daerah Tana Toraja. Sekarang dicari cara yang bisa menggebuk maling retribusi pemotongan hewan. Misalnya, penyelenggara pesta harus mengisi buku tamu, plus jumlah hewan yang dipotong. Tidak jelas apakah tertunggaknya honorarium ini membuat para anggota DPRD ini kurang bergairah bersidang. Sebab, sejak awal tahun ini, sidang memang baru berlangsung tiga kali, yaitu sidang komisi, panitia musyawarah, dan sekali sidang pleno. Linda Djalil, Erwin Patandjengi (Rantepao)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus