MIKHAIL Gorbachev menangkis serangan tajam dari kubu pembaru radikal dalam sidang Majelis Soviet Tertinggi (MST) -- semacam DPR RI -- Selasa pekan lalu. "Fitnah picisan," katanya. Lalu, langkah musyawarah pun diganti dengan pemungutan suara. Dan pencetus glasnost itu meraih kemenangan telak yang sangat bersejarah. Bayangkan, hasil perhitungan terakhir pemungutan suara itu menunjukkan, 306 suara menyatakan "oke" pada Gorbachev. Sedangkan suara menentang mentok di angka 65. Maka, bisa dipastikan, sesuai dengan usul Gorbachev dan rekan-rekan, Presiden Soviet mendatang tak lagi jadi sekadar simbol. Tapi, punya kuasa sebagai eksekutif negara. Nah, kekuasaan baru itu hanya menunggu pengesahan yang bersifat sekadar formalitas -- oleh Kongres Wakil Rakyat (KWR) -- setingkat MPR RI. Sesuai dengan hasil perdebatan MST pekan lalu, sidang KWR harus berlangsung Senin dan Selasa pekan depan, dengan empat topik utama, yakni pengukuhan status presiden sebagai eksekutif negara, pengangkatan kembali Gorbachev sebagai presiden, pencabutan monopoli kekuasaan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), dan pengesahan hak-hak pribadi atas pengelolaan tanah pertanian. Boleh dipastikan, Gorbachev tak bakal mendapat perlawanan keras dari oposisi dalam sidang itu. Tak cuma lantaran didukung suara mayoritas di komite sentral dan politbiro PKUS yang, secara de facto, punya hak veto. Tapi, juga mendapat dukungan terbanyak dari anggota parlemen sekarang dan mendatang. Memang, dalam pemilihan parlemen tingkat I dan II, yang berlangsung sejak Ahad pekan lalu, popularitas Gorbachev masih menjulang di kalangan calon dan pemberi suara. Bahkan, sangat jauh di atas Yeltsin, yang kondang sebagai oposan nomor satu. Meski demikian, Gorbachev harus bersikap lebih berhati-hati menghadapi Yeltsin. Dia berhasil meraih suara terbanyak di negara bagian Rusia sehingga punya peluang sangat kuat menjadi presiden negara bagian terbesar di Soviet itu. Ingat, selain Byelorussia dan Ukraina, Rusia adalah ajang pertempuran politik paling keras sehingga bisa dijadikan patokan untuk mengukur kemampuan seorang politikus meraih kekuasaan tertinggi. Tapi, pemilihan kali ini masih belum juga bisa dijadikan patokan untuk mengukur popularitas PKUS. Sebab, sekitar 86% dari semua calon berasal adalah anggota PKUS. Karena itu, pemilihan ini masih bisa diibaratkan perang antarkomunis, dan masih dalam taraf penjajakan. Bayangkan, kebanyakan calon boleh dibilang tak dikenal oleh massa pemilih. Mereka seperti muncul dari negeri antah-berantah dan langsung berteriak tentang kepentingan rakyat. Tak peduli meski acara kampanye mereka cuma dihadiri oleh beberapa gelintir orang. Agaknya, itulah penyebab hasil pengumpulan pendapat koran Izveztia terhadap 5 ribu responden, pekan lalu, cukup mengejutkan. Seperempat responden mengaku tak percaya pada janji-janji para kandidat, dan sepertiga menganggap bahwa pidato-pidato kandidat itu asal cuap saja. Tak ada program-program yang jelas seperti pemilu di Barat. Meski demikian, menurut dugaan yang paling laku di kalangan pengamat, pemilu tersebut bakal menyingkirkan sejumlah tokoh konservatif di PKUS. Sedangkan Gorbachev, demikian pula dengan kubu kaum radikal, akan mendapatkan kursi lebih banyak. Dan di tiga republik Baltik -- Latvia, Lithuania, dan Estonia -- kemenangan kaum separatis sudah bisa pasti lebih dulu. Maklum, hampir semua calon dari partai komunis atau bukan -- mengaku pro-separatisme. Lucunya, dalam bidang politik, kini Gorbachev tampak lebih radikal ketimbang yang mengaku pembaru radikal. Kubu radikal pimpinan Boris Yeltsin malah giat berkampanye agar Gorbachev mengendurkan pembaruan politik. Mereka menghendaki pemberlakuan sistem kabinet presidensiil ditunda beberapa tahun. Alasan yang diajukan memang masuk akal. Yaitu agar partai-partai baru punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri melawan PKUS. Setelah itu, pemerintah wajib menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih mengangkat wakil rakyat dan presiden. Jadi, pemilihan presiden oleh KWR pekan depan harus dibatalkan. Selain itu, menurut mereka, ada muslihat berbahaya di balik usaha Gorbachev menyelenggarakan pemilihan presiden lewal KWR. Yaitu mau memusatkan kekuasaan di tangannya, sebelum partai-partai lain bisa berbuat banyak. Dengan demikian, dia tak akan banyak menemui rintangan untuk membangun rezim diktator. Apalagi, pemilihan itu memberinya kesempatan menjadi presiden lagi selama 5 tahun. Gorbachev menolak mentah-mentah tuduhan itu. Bahkan, dia mengaku bahwa apa yang dia lakukan semata-mata dalam rangka persiapan menghadapi pemberlakukan sistem multipartai. "Tak ada hubungan dengan Gorbachev kalau kita berbicara tentang kekuasaan presiden," ujar Gorbachev, pekan lalu, di depan sidang MST. Sebab, kursi presiden bisa diduduki siapa saja yang mendapat dukungan rakyat. Alasan lain yang diajukan oleh Gorbachev dan rekan-rekan: Hak-hak yang diberikan kepada presiden mendatang juga tak menyimpang dari prinsip-prinsip umum sistem kabinet presidensiil. Bila sistem itu akan diberlakukan pekan depan, kata Gorbachev, "Karena kehidupan telah membawa kita ke titik itu. Tak ada yang lain." Memang, sebagian besar hak presiden dalam rancangan udang-undang -- yang akan disahkan KWR -- tampak wajar. Antara lain hak untuk menandatangani perjanjian internasional, menyatakan perang dengan negara lain, dan memberlakukan keadaan darurat di dalam negeri. Yang tampak aneh bagi kebanyakan orang adalah: Punya hak veto terhadap keputusan parlemen, serta berhak mengangkat dan memberhentikan ketua mahkamah agung. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini