TANGAN Peltu. (Pol.) M. Mulyono kini tak lagi pegal. Biasanya, setiap kali harus bertugas mengatur lalu lintas di Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin, Jakarta, ia harus bekerja keras untuk mengalirkan arus kendaraan yang cenderung semrawut dan main serobot. "Tangan saya sekarang nggak capek lagi," ujarnya pekan lalu. Agung H. Purnomo juga bersyukur. Pegawai biro perjalanan ini bisa mengirit waktu setengah jam untuk pergi dari rumahnya di Pasar Minggu ke kantornya di Pasar Baru. "Sekarang tiap pagi saya memilih pergi ke kantor dengan naik bis yang lewat Jalan Sudirman karena lancar," katanya. Penyebab kegembiraan mereka adalah disediakannya jalur khusus bis kota di Jalan Sudirman dan Thamrin sejak 1 Maret silam. Dari pukul 07.00 hingga 09.00 pagi, dan pukul 16.00 hingga 18.00, sebanyak 450 traffic cones plastik warna merah berjajar membagi dua jalur lambat selebar 9,5 meter di kedua jalan sepanjang 6,5 km itu. Sisi sebelah kiri -- selebar 6 meter -- dijadikan jalur khusus untuk bis kota. Di hari-hari pertama, sekitar 200 petugas DLLAJR dan Polantas yang terjun mengawasi jalur ini tampak kerepotan menghalau kendaraan pribadi ke jalur cepat. Maklum, di jalur lambat ini, hanya disisakan 3 meter untuk taksi, sepeda motor, dan kendaraan pribadi mau masuk ke sekitar 30 lokasi perkantoran dan 6 persimpangan yang ada di sepanjang kedua jalan itu. Hal ini dimengerti Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto. "Tentu saja peraturan baru ini mengakibatkan ketidaklancaran di pihak lain, seperti mobil pribadi, macet di jalur cepat. Tapi yang jelas, kelancaran bis angkutan umum lebih baik dari sebelumnya. Memang itu sasarannya," katanya tegas. Kebijaksanaan Wiyogo ini memang kelihatannya memojokkan pemilik kendaraan pribadi. Kedua jalan ini kepadatannya memang memusingkan kepala. Ruas jalan selebar 40 meter kiri-kanan dengan 10 lajur tak cukup menampung kendaraan yang memadati daerah perkantoran dan perdagangan yang paling bergengsi di negeri ini. Tak mengherankan bila jalan dipenuhi kendaraan pribadi. Masuk di akal bila daerah ini merupakan jalan terpadat di Jakarta. Walaupun timpang. Ketimpangan antara kendaraan pribadi dan bis kota di Jalan Sudirman-Thamrin ini memang nyata sekali. Di pagi hari, daerah Bundaran Senayan yang disesaki 7.898 kendaraan, ternyata, hanya dilewati 277 bis kota. Sedangkan daerah Dukuh Atas yang ditumpuki 13.501 kendaraan, hanya diisi 333 bis kota. Sedangkan sore hari, di Bundaran Senayan yang dilewati 6.577 kendaraan, hanya 253 bis kota yang melintasinya. Sedangkan di Dukuh Atas, dari 14.964 kendaraan, hanya 228 bis kota yang meluncur. Kondisi itulah yang mendorong Pemda DKI Jakarta bertindak. "Kendaraan pribadi memang dikorbankan. Jalan itu kan untuk kepentingan orang banyak," kata O.I. Godjali, Kepala DLLAJR DKI Jakarta. Memang, dari 1,4 juta kendaraan yang melaju di jalanan Jakarta, hanya ada 41.670 kendaraan umum untuk mengangkut lebih dari 3,6 juta penumpang setiap hari. Sedangkan kendaraan pribadi, hanya 8 persen saja yang mengangkut empat atau lebih penumpang. Bahkan 45 persen kendaraan pribadi tersebut hanya dipakai oleh satu orang saja. Jalan terpadat itu kini terasa lega. Bis kota tak lagi dianggap sumber kemacetan. Di halte-halte, sekarang mereka leluasa menaik-turunkan penumpang. Malah, rezeki bis kota bisa bertambah. "Sekarang, setiap pagi, saya bisa dapat 6 rit. Padahal tadinya cuma bisa 3 rit," tutur seorang sopir bis PPD jurusan Blok M-Lapangan Banteng dengan gembira. Rencana Wiyogo selanjutnya: mendorong orang ke kantor naik angkutan umum. Namun, bis kota di Jakarta tampaknya masih belum dapat menggantikan peranan kendaraan pribadi. "Keadaan angkutan umum kita belum ideal. Tidak teratur, belum disiplin, kotor, masih mengalami kemacetan, dan kurang aman," kata Wiyogo. Muchsin Lubis, Tri Budianto Soekarno, Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini