Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perairan internasional Selat Hormuz dipenuhi sembilan kapal induk Amerika Serikat. Armada yang mengangkut 17 ribu personel dan puluhan pesawat tempur mempergiat ”patroli” di jalur sempit yang berbatasan dengan Iran serta beberapa negara Teluk lainnya. Pengerahan armada AS ke Hormuz ini, menurut seorang pengamat, adalah yang terbesar setelah Perang Teluk pada 1990-an. ”Ini adalah komitmen AS mengamankan kawasan ini dari ancaman sebuah negara (Iran),” kata pemimpin pasukan AS, Marsekal Kevin Quinn, kepada para wartawan di atas Kapal Perang USS John C. Stennis, Rabu pekan lalu.
Unjuk kekuatan militer AS itu adalah reaksi atas pernyataan pemerintah Iran yang menolak kedatangan tim inspeksi dari Badan Tenaga Atom Dunia (IAEA), awal pekan silam. Penolakan itu didasarkan pada keputusan parlemen Iran yang mengesahkan undang-undang untuk meninjau kembali kerja sama dengan IAEA. ”Penolakan terhadap para pengawas merupakan langkah awal implementasi peraturan tersebut,” ujar Kepala Komisi Keamanan Nasional Parlemen Iran, Alaeddin Borurjerdi.
Perseteruan antara AS dan Iran, karena program nuklir negara mullah itu, seperti tak kenal akhir. Sanksi pertama sudah dijatuhkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Juli tahun lalu, disusul dengan sanksi kedua, Desember silam. Namun itu semua tak menghentikan langkah Iran. ”Jalan kami mengembangkan energi nuklir sudah jelas. Tak ada alasan apa pun yang membuat kami mundur,” kata Presiden Mahmud Ahmadinejad di hadapan massa di Isfahan, salah satu kota tempat proyek nuklir Iran.
Pekan lalu Direktur Jenderal IAEA Mohammad El Baredei menyerahkan laporan tentang program nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB. Menurut hasil inspeksi tim IAEA pada Maret dan April lalu, instalasi nuklir Iran di Natanz telah memproses pengayaan uranium ke tingkat lebih lanjut—menyuntikkan uranium hexafluoride (UF6) ke delapan seri mesin sentrifugal, masing-masing berjumlah 164 unit, yang bekerja secara bersamaan. Namun, setelah inspeksi tersebut, Iran tidak mengizinkan tim IAEA meninjau reaktor air berat di Arak.
Dalam laporan itu Baredei juga menyebut bahwa Iran telah menolak seluruh isi resolusi PBB. Namun, menurut wakil Iran untuk IAEA, Ali Asghar Sulthaniah, tak ada poin baru dalam laporan Baredei. Artinya, secara resmi IAEA belum menyatakan bahwa Iran telah menyimpang dalam proyek energi nuklirnya dari tujuan damai.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Sikap pemerintah Iran dan AS sudah jelas. Iran ingin proyek nuklir jalan terus. Bahkan pada Oktober depan pemerintah Iran bakal menggelar seminar internasional tentang konsekuensi serangan senjata kimia terhadap Iran, memperingati 20 tahun serangan gas kimia di Sardasht. Ini untuk menyindir AS yang menyiagakan pasukan di perairan sekitar Iran.
Sedangkan AS tidak hanya ingin agar program nuklir berhenti. AS mengharapkan pergantian kepemimpinan di Iran. ”Rezim ini benar-benar tidak mengerti tata kehidupan internasional. Mereka akan lebih terisolasi dari seluruh dunia,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Sean McCormack.
Dewan negara-negara yang bertanggung jawab mengawasi perkembangan nuklir Iran—lima anggota tetap DK PBB plus Jerman—dipastikan akan memformulasikan sanksi lanjutan bagi Iran. Sedangkan The Economist menyarankan agar IAEA mencoret Iran sebagai anggota negara penanda tangan Traktat Non-Proliferasi (NPT).
Namun, yang juga harus diperhitungkan adalah kancah politik di Timur Tengah itu sendiri. Irak yang makin kacau. Palestina diserang habis-habisan oleh Israel. Muncul konflik ”baru” di Libanon, yaitu pertempuran antara tentara dan milisi Fatah al-Islam. Dan ”tangan” AS maupun Iran ada di semua ajang itu.
Ahmad Taufik (AFP, The Economist, IRIB)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo