Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ironi Berbagi Data Rahasia

Pemerintah Jepang memberlakukan Undang-Undang Rahasia Negara yang kontroversial. Demi berbagi data intelijen dengan Amerika Serikat.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga Jepang membanjiri jalan-jalan di sepanjang Tokyo. Sambil membawa spanduk dan memukul-mukul tamborin, sekitar 800 demonstran melakukan aksi protes di depan kantor Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Mereka menolak pemberlakuan Undang-Undang Rahasia Negara, yang dianggap akan mengancam kebebasan publik dan pers mendapat informasi.

"Hukum yang mengerikan ini harus dicabut. Setidaknya, jika kita terus melakukan protes, pemerintah tidak akan bisa bertindak semaunya. Kalau kita menyerah, Jepang akan berakhir seperti Rusia, Cina, bahkan Korea Utara, tempat kebebasan pers sering ditekan," kata Yumi Nakagomi, salah satu demonstran, kepada Reuters, Rabu dua pekan lalu.

Undang-undang dengan nama The Specially Designated Secrets Protection Act ini berlaku efektif pada Rabu itu dan akan memberikan sanksi lebih berat bagi pembocor rahasia. Pegawai negeri atau pihak lain yang membocorkan rahasia negara akan dikenai hukuman penjara sepuluh tahun dan denda hingga 10 juta yen, sedangkan pihak yang menyebabkan terjadinya pembocoran, termasuk wartawan, dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun.

Kritik dan protes langsung bermunculan setelah undang-undang itu berlaku. Reporter tanpa Batas menganggapnya ancaman bagi kebebasan pers dan melanggar konstitusi Jepang. Tanpa ada lembaga yang mengawasi dan ketakutan publik untuk mengakses informasi, kasus yang berhubungan dengan kepentingan umum tak akan dibuka.

"Bagaimana jika kasus bencana bocornya nuklir di Fukushima dikategorikan sebagai rahasia negara atau jika pemerintah ingin menutupi kasus korupsi?" ujar Benjamin Ismail, Kepala Reporter tanpa Batas wilayah Asia-Pasifik.

Namun Perdana Menteri Shinzo Abe dan koalisi partai konservatifnya berkeras. Menurut mereka, Jepang membutuhkan pengawasan yang lebih ketat atas kerahasiaan negara. Dengan begitu, pemerintah bisa melindungi kebocoran informasi intelijen yang dapat mengancam keamanan nasional. "Jika informasi tentang jet tempur kita atau kapal perang kita bocor, itu akan membahayakan Jepang. Kita harus mencegah data intelijen dari jangkauan teroris," kata Abe dalam pidatonya.

Bukan hanya itu. Menurut Abe, pengetatan terhadap kerahasiaan negara akan memungkinkan pemerintah Jepang berbagi data rahasia dengan sekutu akrabnya, Amerika Serikat. Alasan ini muncul di tengah kekhawatiran atas peningkatan kegiatan militer Cina di wilayah Asia Timur dan adanya program pengembangan senjata nuklir Korea Utara.

Cina dan Jepang telah lama terlibat sengketa di Laut Cina Timur. Keduanya saling mengklaim Kepulauan Senkaku (sebutan di Jepang) atau Diaoyu (sebutan di Cina). Sedangkan Korea Utara diketahui tengah memperluas ukuran fasilitas pengayaan Yongbyon dan mengoperasikan kembali reaktor yang sebelumnya digunakan untuk memproduksi plutonium.

Amerika jelas menyambut baik undang-undang rahasia negara yang disahkan parlemen Jepang pada Desember 2013 itu. Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat James Clapper mengatakan kedua negara bekerja sama secara erat pada masalah-masalah intelijen. "Warga Jepang kini menjadi mitra utama," ujarnya.

Menurut Clapper pula, Amerika telah menyepakati pengaturan pembagian data intelijen dengan Jepang sebagai bagian dari hukum perlindungan rahasia negara. "Itu memungkinkan kami berbagi lebih banyak," katanya.

Upaya Abe memberlakukan hukum untuk berbagi data intelijen dengan Amerika dikritik oleh Michael Cucek, peneliti di MIT Center for International Studies, yang berbasis di Tokyo. Menurut dia, undang-undang itu berlaku hanya untuk memuaskan keinginan Amerika. "Ini ironi. Dalam sejarah Jepang, kita tidak punya Aldrich Ames, tidak pula Edward Snowden, orang-orang yang membocorkan rahasia demi uang atau ketenaran," ujarnya kepada National Public Radio.

Rencananya, setelah setahun undang-undang disahkan, pemerintah Jepang akan segera mengklasifikasikan 460 ribu dokumen negara dan 55 jenis informasi yang masuk kategori rahasia, termasuk informasi yang memiliki nilai publik tinggi. Dengan begitu, orang-orang yang mempublikasikan atau membocorkan dokumen rahasia itu secara tak sah akan dikenai hukum pidana.

Pejabat di 19 kementerian dan lembaga pemerintah dapat menetapkan informasi sensitif di empat bidang, yaitu diplomasi, pertahanan, antiteror, dan antispionase, sebagai rahasia negara. Selain itu, penetapan kerahasiaan yang awalnya disimpan selama 5 tahun dapat diperpanjang maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun dengan persetujuan kabinet.

Meskipun demikian, Perdana Menteri Shinzo Abe berjanji hukum itu tak akan mengkriminalisasi jurnalis. "Jika undang-undang tersebut melemahkan kebebasan pers, saya akan mengundurkan diri," katanya.

Rosalina (Japan Times, Huffington Post, Reuters, NPR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus