SUARA azan menggema dari radio di dalam sebuah tenda di alun-alun Kota Evry, sebuah kota berpenduduk 50 ribu jiwa yang berjarak 60 kilometer dari Paris. Saat itu, Sabtu tiga pekan lampau, waktu menunjukkan pukul 17.10, saatnya berbuka puasa. Di tengah dinginnya cuaca bersuhu 5 derajat Celsius dalam bazar Telethon—pengumpulan dana untuk orang sakit—tenda milik Pusat Kebudayaan Islam itu terasa hangat. Teh wangi Maroko dengan supnya yang masih mengepul dibagikan untuk para tamu. Tak berselang lama, lonceng dari Katedral Evry, yang terletak persis di depan tenda, berdentang. Perpaduan suara azan dan lonceng ini bisa diibaratkan sebagai harmonisnya toleransi beragama di Evry, kota yang sengaja dibentuk pemerintah Prancis 30 tahun lalu.
Evry, kota seluas 700 hektare yang dibangun memakai konsep kota yang ideal—dengan banyak area hijau dan jalan yang lebar—itu semula diperuntukkan bagi anak-anak muda kelas menengah. Kota itu dilengkapi dengan sekolah dan universitas bermutu, Pusat Bioteknologi, dan berbagai perusahaan besar. Namun, krisis ekonomi sekitar 10 tahun lalu membuat sebagian besar penduduknya pindah. Kota itu pun kini banyak dihuni oleh imigran miskin dari Afrika yang kebanyakan beragama Islam.
Komposisi penduduk ini membuat keragaman bangsa dan agama menjadi menonjol di sana. Selain ada gereja, sinagoga, dan kuil Buddha, Evry pun menjelma menjadi salah satu jantung kehidupan Islam di Prancis. Sebuah masjid berdiri di tahun 1994, yang merupakan satu dari 3 masjid besar yang ada di Prancis—di samping 4 masjid sedang dan 2.500 rumah doa—yang bisa menampung 5.000 jemaah.
Sejak abad ke-19, Islam memang telah berkembang di negara yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik ini. Saat ini, dari 60 juta warga, diperkirakan 4 juta di antaranya beragama Islam—terbesar di Eropa— dan ini menjadikan Islam sebagai agama kedua di Prancis. Dengan prinsip persamaan hak, Prancis terbuka untuk para imigran. Masuklah imigran dari negara-negara bekas koloninya di Afrika. Umumnya pendatang dari Aljazair, Maroko, dan Tunisia itu beragama Islam. Agama itu pun tumbuh subur di sana, sampai-sampai pemimpin spiritual Iran Ayatullah Khomeini pernah punya kantor pergerakan di sana.
Konfrontasi antara nilai-nilai Islam dan negara Prancis baru mencuat di tahun 1989 ketika dua bersaudara asal Tunisia, Fatima dan Leila, tidak diperbolehkan ikut pelajaran di sebuah SMP umum lantaran mengenakan jilbab di dalam kelas. Menurut undang-undang tahun 1905, memang disebutkan bahwa negara tidak akan menyokong satu agama pun. Untuk itu, di dalam sekolah umum—tidak ada larangan di sekolah swasta—tidak diperbolehkan ada manifestasi sebuah agama. Ter-jadilah aksi unjuk rasa menentang larangan itu. Akhirnya, awal tahun 1990, para hakim di Conseil d’Etat—Mahkamah Agung Prancis—membuat keputusan yang cukup radikal. Jilbab diperbolehkan dipakai di sekolah umum selama tidak mengganggu proses belajar. ”Ini interpretasi dari undang-undang tersebut bahwa semua agama sederajat di sini,” kata Luc Derepas, hakim tinggi di institusi itu.
Sejak itu, boleh dikata tak pernah ada konflik antara Islam dan negara. ”Saya baru menyadari bahwa kondisi negeri saya ini seperti surga ketika bekerja di Amerika selama beberapa bulan,” kata Hamrouchi Riyad, seorang artis keturunan Aljazair, menggambarkan kerukunan hidup di sana.
Bagaimanapun, konflik soal jilbab itu menyadarkan pemerintah bahwa proses pembauran belumlah mulus. Maka, sebuah Komisi Tinggi untuk Integrasi pun dibuat di tahun 1989 itu juga untuk memberi masukan kepada perdana menteri. Dan, nyatalah, selain masih ada sikap diskriminasi di masyarakat—jangan harap menemui seorang pelayan berkulit hitam di beberapa restauran ternama di Paris—ada satu masalah besar lainnya yang hingga kini belum bisa mereka selesaikan: krisis identitas pada anak-anak imigran kelahiran Prancis. ”Mereka orang Prancis tapi tak merasa jadi orang Prancis, sementara mereka sudah tercerabut dari akar budaya orang tuanya,” ujar Jean-Claude Sommaire, Sekjen Komisi Tinggi untuk Integrasi.
Rasa frustrasi akibat krisis identitas ini menimbulkan dampak yang menyerupai lingkaran setan. Tingkat kekerasan di antara anak-anak muda itu meningkat, sementara masyarakat memandang mereka sebagai pembawa bencana. Para anak muda ini tinggal berdekatan dengan para pencari suaka dan imigran yang sedang berupaya menjadi warga Prancis—yang jumlahnya tahun ini menurut Direktur Office Francais de Protection des Refugies et Apatrides (OFPRA), Michel Raimbaud, mencapai 210 ribu orang—dalam satu kawasan perumahan yang disubsidi oleh pemerintah.
Kebijakan perumahan yang menyatukan mereka di satu tempat itu dinilai banyak pihak sebagai penyebab masalah ini. Karena itu, saat ini terjadi perdebatan nasional untuk mengubah kebijakan tersebut. Cita-cita Wali Kota Evry, Manuel Valles, pun sama: melakukan distribusi populasi sehingga di satu distrik tak terkumpul keluarga yang punya masalah. Dengan demikian, krisis identitas ataupun pembauran masyarakat bisa tertanggulangi.
Tentu, masih ada cara pembauran lain yang bisa dilakukan masyarakat sendiri. Lewat jalur olahraga—betapa bangganya warga Prancis pada pemain sepak bolanya yang keturunan Aljazair, Zinedine Zidane—atau lewat agama. ”Sebagian anak muda Arab yang mengalami krisis identitas kini menemukan identitas tersebut dengan menjadi penganut Islam yang taat,” ujar Mamadou Gaye, pria keturunan Senegal yang kini menjadi wakil presiden sebuah LSM, SOS Racisme.
Diah Purnomowati (Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini