Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Argentino Menyelamatkan Argentina?

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANJI presiden baru tak cukup meyakinkan. Setidaknya bagi Marta Menéndez Cipriani, 33 tahun, yang berada dalam antrean panjang di sebuah bank. Cipriani rela bercapek-capek karena ia tak mau menanggung risiko tabungannya dalam dolar ditukar dengan uang baru Argentina yang disebut argentino, yang direncanakan resmi beredar Januari ini. "Tabungan saya dalam dolar dan saya ingin dolar itu kembali," katanya kepada The New York Times, akhir Desember lalu. Kalau tidak mau bersusah payah antre, "Saya bisa kehilangan segalanya," katanya. Anjloknya perekonomian Argentina, meski sudah bisa diduga sejak beberapa waktu lalu, mengagetkan juga. Di awal abad ke-20, negeri di Amerika Latin ini termasuk dalam sepuluh negara termakmur di dunia bersama Jerman, Kanada, dan Prancis. Namun, pada 1930, konflik di masa Presiden Juan Peron mengucilkan Argentina dari dunia internasional. Perekonomiannya mandek, pemerintahnya gencar mencetak uang, dan inflasi melaju sampai ribuan persen. Kemudian, pada 1991, duet Presiden Carlos Menem dan Menteri Keuangan Domingo Cavallo meluncurkan senjata pematokan kurs alias pegging currency. Satu dolar AS dihargai setara dengan satu peso Argentina. Jurus Cavallo, ekonom lulusan Universitas Harvard, AS, cukup jitu. Kurs yang anteng telah meyakinkan investor bahwa ekonomi Argentina berjalan stabil. Hantu inflasi dijinakkan sampai di bawah 10 persen dan ekonomi tumbuh 5,7 persen selama 1991-1998. Ternyata ekonomi Argentina belum cukup kuat menahan guncangan. Pada 1994, krisis ekonomi melanda Meksiko dan investasi bisnis Meksiko senilai US$ 8 miliar pun melayang dari Argentina. Mimpi buruk berlanjut saat Brasil, pada 1999, mendevaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sampai 28 persen. Walhasil, komoditi ekspor Argentina kalah kompetitif dan Brasil menyedot sebagian pangsa ekspor Argentina. Akibatnya, ekonomi lesu karena perangkap deflasi (deflationary trap). Presiden baru, Fernando de la Rua, yang terpilih pada Desember 1999, harus secepatnya menolong kapal yang hendak tenggelam ini. Ia menggenjot pajak. Segera, daya beli rakyat merosot. Situasi makin buruk karena budaya korupsi makin berurat dan melibatkan pejabat tinggi seperti mantan presiden Carlos Menem. Pajak yang sudah ditingkatkan ternyata memperburuk ekonomi. November 2000, Argentina berutang US$ 20 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF). Di dalam negeri, Presiden De la Rua, yang kehabisan akal, menggaet lagi Domingo Cavallo sebagai menteri keuangan. Sialnya, Cavallo tak punya jurus selain menggenjot pajak. Dan celakanya, kali ini, rakyat tak hanya diam. Rakyat di sejumlah kota turun ke jalan, berdemonstrasi, lalu mogok. Gejolak makin parah menyusul kabar pemerintah bakal menggenjot bunga pinjaman antarbank sampai 1.000 persen. Masyarakat yang panik berbondong menarik uang dari bank. Langsung, cadangan bank sentral anjlok tinggal US$ 1,7 miliar. Segera pemerintah membatasi penarikan tunai maksimal US$ 1.000 tiap orang per bulan. Alih-alih menenangkan, tindakan ini justru menyulut kekacauan lebih hebat. Puncaknya adalah demo berdarah di Plaza de Mayo, 20 Desember lalu, yang memaksa De la Rua mundur. Kini mampukah Adolfo Rodriguez, presiden baru itu, dengan argentinonya, menyelamatkan kapal yang hendak tenggelam ini? Menurut Menteri Keuangan Rodolfo Frigeri, argentino tak ubahnya surat utang obligasi yang diperlakukan bak uang tunai. "Bisa untuk membayar semua, dari gaji sampai pajak, barang, dan jasa," katanya sambil menegaskan bahwa argentino bukannya tanpa gigi. Pemerintah menjamin mata uang baru ini dengan seluruh aset real estate negara, termasuk istana kepresidenan Casa Rosada (Rumah Merah Muda). Masalahnya, para ekonom meragukan likuiditas argentino karena aset real estate tak gampang dicairkan. Dukungan IMF dan Spanyol mungkin bisa membantu bilamana diwujudkan dalam bantuan keuangan yang cukup besar dan segera direalisasikan—bukan sekadar pernyataan. Toh, masih ada persoalan besar yang harus diatasi: korupsi dan penegakan hukum. Untuk dua hal itu, Rodriguez belum punya jawaban. Indonesia bisa belajar dari Argentina, di hari-hari dekat ini. Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus