Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Natal Berdarah di Burundi

Bentrokan bersenjata menewaskan lebih dari 500 orang. Dendam berkarat etnis Hutu-Tutsi susah terhapus.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN damai Natal tampaknya tak sampai ke Burundi. Tepat pada hari suci umat Kristiani ini, pekan lalu bentrokan bersenjata antara pasukan pemerintah dan pemberontak pecah lagi di Hutan Tenga, di dekat Ibu Kota Bujumbura. Hasilnya, 515 serdadu pemberontak yang berasal dari etnis Hutu tewas. Sedangkan korban di pihak pasukan pemerintah, yang didominasi etnis Tutsi, berjumlah 28 orang. Keoknya pasukan pemberontak ini diharapkan bisa membuat mereka bersedia duduk di meja perundingan. Akhir November lalu, pemerintahan sementara yang bersendikan pembagian kekuasaan terbentuk di negara berpenduduk 6,6 juta jiwa ini. Dengan mediator mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, terpilihlah Presiden Pierre Buyoya dari etnis minoritas Tutsi (14 persen dari populasi), serta wakilnya Domitien Ndayizeye dari etnis Hutu (85 persen dari populasi). Buyoya akan menjabat selama 18 bulan, untuk selanjutnya bertukar posisi dengan Ndayizeye selama periode yang kurang-lebih sama sebelum pemilihan umum digelar. Sayangnya, kesepakatan ini tak diamini oleh semua pihak. The National Liberation Army (FNL) dan The Defense of Democracy (FDD)—dua kekuatan utama pemberontak Hutu—tak sudi menandatangani akta ter-sebut. Mereka juga menolak kursi menteri yang disodorkan. Mereka mengincar pimpinan militer yang dipegang etnis Tutsi. Elite militer, di mata mereka, adalah pelanggar berat hak asasi manusia sehingga tak pantas duduk di situ. Rujukannya: pembantaian massal terhadap 100 ribu warga Hutu yang dilakukan pimpinan militer Tutsi pada 1972. Namun, permintaan FNL dan FDD tersebut ditampik. Pemerintah khawatir kasus genocide terhadap suku Tutsi bakal terulang. Ini pernah terjadi di negara tetangga, Rwanda, yang menyebabkan 800 ribu nyawa keturunan Tutsi melayang. Ditolak mentah-mentah, pemberontak lalu mengangkat senjata dan melakukan aksi teror. Sasarannya Ibu Kota Bujumbura, Kinama, dan Kamenge di kawasan utara. Pemberontak juga melakukan aksi penculikan terhadap anak-anak sekolah usia remaja yang rencananya akan direkrut untuk bertempur. Aksi inilah yang bikin pemerintah gerah dan melakukan gempuran besar-besaran. Sejarah Burundi, yang merdeka pada tahun 1961 ini, memang kebak dengan kekerasan. Selama delapan tahun terakhir, lebih dari 250 ribu tewas akibat pertikaian etnis Hutu dan Tutsi. Hubungan dua etnis ini memang sudah ratusan tahun tidak mesra. Awalnya, suku Hutu, yang kebanyakan petani komunal, pada 500 tahun lalu harus takluk pada suku Tutsi, yang datang dari Uganda. Tutsi punya teknologi persenjataan yang lebih maju. Jerman, yang melakukan kolonisasi atas kawasan ini pada 1890-an, meneruskan tradisi menempatkan etnis Tutsi pada posisi di atas Hutu. Belgia, yang meneruskan penjajahan Jerman pasca-Perang Dunia I, juga berbuat setali tiga uang. Pada tahun 1993, Burundi, yang 60 persen penduduknya beragama Katolik, sepertinya akan masuk era baru. Pemilihan umum pertama berlangsung demokratis. Parlemen didominasi etnis Hutu. Ketenangan tak berlangsung lama karena setahun kemudian Presiden Melchior Ndadaye, yang berasal dari etnis Hutu, terbunuh. Penggantinya, Cyprien Ntaryamira, juga seorang Hutu, terbunuh pula dalam kecelakaan pesawat bersama Presiden Rwanda pada tahun yang sama. Seorang Hutu yang lain, Sylvestre Ntibantunganya, ditunjuk sebagai presiden. Namun, pada waktu yang bersamaan, fraksi Tutsi di parlemen, Tutsi Union for National Progress, menarik diri. Setelah itu, kekerasan etnis antara dua suku yang berbahasa sama—Kirundi dan Prancis—ini pun makin menjadi-jadi. Pada tahun 1996, Pierre Buyoya kembali naik takhta lewat kudeta. Sebelumnya, Pierre pernah berkuasa pada periode 1987-1993, sampai ia kalah dalam pemilu. Pierre tetap menyertakan etnis Hutu dalam pemerintahan. Ia juga melakukan sekian kali perundingan dengan mediator mantan presiden Tanzania, Julius Nyerere. Meski begitu, toh kesepakatan terhadap isu-isu krusial—terutama kepemimpinan militer—selalu gagal. Perdamaian sepertinya kosakata yang asing di jantung Afrika ini. Yusi A. Pareanom (BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus