Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan warga Mesir bergembira sepanjang malam di Alun-alun Tahrir, Kairo, pusat aksi demonstrasi anti-pemerintah yang berujung pada penggulingan Husni Mubarak pada 2011. Bunyi kembang api terdengar hampir di seluruh penjuru kota, terutama di tempat-tempat umum, saat Komisi Pemilihan Presiden mengumumkan kemenangan mantan panglima angkatan bersenjata Mesir, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi.
Dalam pemilihan umum pada 26-27 Mei lalu, yang diperpanjang hingga sehari kemudian, Sisi menang telak. Ia mengalahkan pesaingnya, Hamdeen Sabahi, dengan perolehan suara 96,91 persen dari total 53,7 juta pemilih. Sabahi, politikus sayap kiri, hanya mengantongi 3,09 persen suara.
Seusai pengumuman hasil suara resmi itu, para pendukung Sisi meramaikan jalan-jalan di Mesir. Mereka mengibarkan bendera bergambar Sisi dan membunyikan klakson kendaraan. Suasana kemeriahan ini bertolak belakang dengan situasi beberapa bulan sebelumnya, ketika jalanan menjadi tempat bentrokan antara pasukan keamanan dan kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun.
"Sisi menyelamatkan kami dari mimpi buruk. Mesir telah jatuh, tapi kini dia membangkitkan kami kembali," kata Nadia Ibrahim, 50 tahun, karyawan toko komputer, Selasa pekan lalu.
Dalam pidato pertamanya sejak diumumkan resmi memenangi pemilihan presiden, Sisi menjanjikan Mesir akan memiliki masa depan yang cerah. "Saya akan melanjutkan usaha dan tekad dalam fase pembangunan yang akan datang. Kalian telah melakukan apa yang harus dilakukan dan sekarang saatnya untuk bekerja," ucapnya dalam siaran televisi. Tapi dia tak merinci bagaimana mencapai itu demi 85 juta penduduk Mesir.
Jenderal Sisi menggambarkan masa depan Mesir sebagai sebuah halaman kosong yang harus diisi dengan kebebasan, martabat manusia, dan keadilan sosial. Dia juga berjanji akan memberangus Al-Ikhwan al-Muslimun, yang ia tuduh menggunakan milisi untuk mengacaukan Mesir.
Pernyataan tentang Al-Ikhwan al-Muslimun itu meneguhkan kembali apa yang dia kemukakan dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi berkaitan dengan pencalonannya pada 5 Mei lalu. Seperti dilansir Al Jazeera, dalam wawancara itu Sisi bersumpah akan memulihkan stabilitas keamanan dan membuat perbaikan bagi Mesir. Inilah pernyataan yang dianggap sekaligus merupakan penolakan tegas terhadap ide rekonsiliasi politik lewat cara apa pun dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, pendukung utama presiden terguling Muhammad Mursi.
"Struktur pemikiran kelompok ini mengatakan bahwa kita bukan muslim sejati dan mereka percaya konflik tak terelakkan karena kita tak percaya," ujar Sisi, seperti dilaporkan Associated Press.
Al-Ikhwan al-Muslimun, organisasi politik dan keagamaan terbesar dan tertua di Mesir, sudah bertahan melewati beberapa periode rezim yang represif sejak didirikan pada 1928. Menurut laporan pada April lalu, kini mereka mengkonsolidasikan kekuatan melalui lokasi yang mungkin tak banyak dipikirkan orang, misalnya dari satu kantor di atas toko kebab di jalan raya Cricklewood, pinggiran barat laut London. Di tempat ini terletak markas World Media Services, perusahaan yang menerbitkan IkhwanPress.com (Pers Persaudaraan), situs bahasa Arab yang bersimpati kepada Al-Ikhwan al-Muslimun.
Mohamed Soudan, anggota senior Al-Ikhwan al-Muslimun yang melarikan diri ke Inggris setelah Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Al-Ikhwan al-Muslimun) digulingkan pada Juli tahun lalu, mengatakan tak ada stabilitas di Mesir saat ini. "Pihak berwenang mencurigai semua anggota Al-Ikhwan al-Muslimun dan orang-orang yang menentang pemerintah," kata Soudan, yang menjabat sekretaris hubungan luar negeri di bawah Presiden Mursi.
Represi oleh militer pasca-penggulingan Mursi memang menjadikan Al-Ikhwan al-Muslimun terpuruk. Sekitar 20 ribu pendukungnya dipenjara dan 1.000 lainnya tewas dalam unjuk rasa melawan pemerintah. Pada Maret lalu, pengadilan bahkan menjatuhkan vonis hukuman mati bagi 529 pendukung Al-Ikhwan al-Muslimun dalam sidang massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak Desember tahun lalu, kelompok ini dicap sebagai organisasi teroris dan terlarang oleh pemerintah Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Pada pertengahan Mei lalu, pengadilan Mesir kembali menjatuhkan hukuman penjara kepada 155 pendukung Al-Ikhwan al-Muslimun. Di antara mereka, 54 orang dihukum penjara seumur hidup dalam kasus yang berkaitan dengan kekerasan di Provinsi Delta Nil Mansoura pada Agustus tahun lalu setelah penggulingan Mursi.
Kecuali menggelar berbagai aksi protes, sejauh ini Al-Ikhwan al-Muslimun tak langsung membalas keterpurukannya dengan kekerasan. "Al-Ikhwan al-Muslimun, sejak awal pendiriannya, menolak dan mengutuk kekerasan. Anggota kelompok tidak pernah terpaksa melakukan perjuangan bersenjata kecuali terhadap pendudukan asing," ucap Sekretaris Jenderal Al-Ikhwan al-Muslimun Mahmoud Hussein, seperti dilansir Middle East Monitor.
Selama ini Al-Ikhwan al-Muslimun menuduh Sisi melakukan kudeta dan menjadi otak di balik penggulingan Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Pendirian inilah yang terus-menerus digaungkan pimpinan Al-Ikhwan al-Muslimun demi memompakan semangat ke dalam diri anggota organisasi yang mesti berhadapan dengan keganasan aparat negara.
"Belum pernah kami menanggapi serangan kekerasan terhadap kami dengan kekerasan. Kami diperintahkan menyebarkan rahmat Allah melalui cara-cara damai," kata pemimpin Al-Ikhwan al-Muslimun, Mohammed Badie, seperti dilansir Middle East Media Research Institute, yang dikutip Jerusalem Post.
Untuk merebut masa kejayaan kembali, para pemimpin dan senior Al-Ikhwan al-Muslimun di pengasingan kini berupaya menghimpun kembali kekuatan. Sejak Al-Ikhwan al-Muslimun ditetapkan sebagai organisasi teroris dan terlarang, para pemimpin dan tokoh senior itu bersembunyi di beberapa negara yang masih mau menerima kehadiran kelompoknya.
Tujuan dari rencana bersatunya kembali para pemimpin dan tokoh senior itu adalah untuk meredam gejolak para pengikut muda Al-Ikhwan al-Muslimun, yang umumnya ingin mencapai perubahan dengan cara kekerasan. "Kami berusaha mengurangi semangat berapi-api Ikhwan muda dan menjaga mereka dengan sikap kami, menjelaskan kepada mereka bahwa kekerasan akan merusak segalanya," ujar Mohammad Ghanem, pemimpin Al-Ikhwan al-Muslimun di Inggris.
Setelah terasing selama 10 bulan terakhir di berbagai negara, di antaranya Qatar, Turki, dan Inggris, ratusan aktivis berencana mengisolasi pendukung militer Mesir dengan cara diplomatik. Mereka ingin kembali masuk ke ranah politik sejak hak mereka ikut pemilihan parlemen dan presiden dibekukan.
Para tokoh senior Al-Ikhwan al-Muslimun sibuk bolak-balik antara London, Doha, dan Istanbul untuk mengatur strategi bagaimana bisa mencapai kekuasaan politik lagi. Meskipun begitu, rencana mereka kembali ke ranah politik dianggap akan sulit, bahkan hanya untuk bertahan dari upaya penindasan dan pengasingan.
Abdel-Rahman Ayyash, mantan anggota Al-Ikhwan al-Muslimun Mesir yang berbasis di Turki, mengatakan sekarang mereka harus mencari sekutu dan membentuk koalisi bersama orang atau kelompok lain yang dirugikan oleh kudeta militer. "Saat ini mereka masih sangat arogan. Mereka harus membuka diri dan menerima beberapa kritik," tuturnya seperti dilansir Daily Star.
Sementara mereka masih berupaya keras, Jenderal Sisi sudah dijadwalkan menjalani pelantikan pada Ahad pekan lalu. Pelantikan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tantangan yang sudah serta-merta menghadang, di samping aksi-aksi kelompok anti-pemerintah, adalah memperbaiki perekonomian Mesir yang tengah terpuruk karena kehilangan investor.
Rosalina (Daily Star, Al Jazeera, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo