Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaori Endo, pegawai pabrik roti di Ibaraki, sebelah utara Tokyo, menggambarkan dengan telak betapa sulit kehidupan yang mesti dijalaninya belakangan ini. "Saya bukan pegawai tetap, dan ini membuat saya khawatir. Saya tinggal bersama keluarga dan berpikir bagaimana bisa memenuhi kebutuhan kedua orang tua saya," katanya kepada Associated Press.
Perekonomian Jepang memang sedang terpuruk. Sebagian besar warga yang menanggung akibatnya adalah orang-orang seperti Endo. Untuk memperbaiki keadaan, Perdana Menteri Shinzo Abe percaya jalan satu-satunya adalah dengan membubarkan Majelis Rendah dan menggelar pemilihan umum lebih cepat. Dia mengumumkan pembubaran lembaga legislatif tersebut pada 21 November lalu. Pemilu berlangsung pada Ahad pekan lalu.
Dalam pidato perdana dalam masa kampanye 12 hari yang dimulai sejak 2 Desember lalu, Abe menjanjikan perekonomian yang lebih baik. Di hadapan ratusan pendukungnya di Pelabuhan Soma, Prefektur Fukushima, yang terhantam bencana gempa dan tsunami pada 2011, ia bahkan menyatakan akan mengundurkan diri jika Partai Demokratik Liberal (LDP) yang dipimpinnya gagal mempertahankan mayoritas jumlah kursi di Majelis Rendah.
"Kami bertekad menang. Saya berjanji membuat Jepang menjadi negara yang bersinar lagi di pusat dunia," kata Abe, seperti dilansir South China Morning Post, Jumat dua pekan lalu.
Dalam pemilu, 1.180 calon anggota parlemen bersaing memperebutkan 475 kursi Majelis Rendah dalam pemilu kali ini. Sebanyak 295 kursi akan diperebutkan di antara calon anggota legislator, sisanya lewat suara perwakilan proporsional wilayah. Saat ini LDP bersama partai koalisinya menguasai mayoritas kursi di Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.
Percepatan pemilu ini dilaksanakan bukan tanpa alasan. Abe, yang terpilih pada Desember 2012, hendak menguji apakah kebijakan Abenomics—yang bertujuan mengakhiri deflasi—mendapat dukungan rakyat.
Ia juga berharap LDP menguasai mayoritas parlemen untuk mendapatkan persetujuan penundaan kenaikan pajak penjualan yang kedua hingga April 2017. "Saya memutuskan menunda kenaikan pajak penjualan selama 18 bulan untuk memastikan dampak Abenomics, yang memberikan siklus positif. Misi kami ialah merevitalisasi ekonomi domestik dalam tiga tahun," katanya.
Abenomics merupakan strategi pemulihan ekonomi yang diluncurkan Abe setelah terpilih. Kebijakan ini berisi tiga fitur utama, yakni peluncuran paket stimulus moneter, belanja fiskal, dan reformasi yang berorientasi pertumbuhan.
Dalam penerapannya, sistem itu tak membuahkan hasil positif, terutama karena nilai tukar yen yang melemah. Menurut data produk domestik bruto hasil revisi, penyusutan perekonomian pada kuartal ketiga tahun ini melebihi perkiraan. Ekonomi menyusut hingga 1,9 persen pada periode Juli-September. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang data awal yang memperkirakan penyusutan 1,6 persen. Perekonomian juga melemah 0,5 persen pada kuartal ketiga ini, dibanding proyeksi awal pelemahan berada di angka 0,4 persen.
Seperti dilaporkan oleh BBC pada Senin dua pekan lalu, kenaikan pajak penjualan pada April—dari 5 menjadi 8 persen—telah menekan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2014. Diperkirakan dampaknya pada perekonomian secara menyeluruh masih berlangsung.
Sekretaris Kabinet Suga Yoshihide dalam konferensi pers menjelaskan bahwa Abenomics telah membawa ekonomi domestik kembali ke jalur pemulihan. Ia justru menilai penyusutan ekonomi pada periode Juli-September sebagian disebabkan oleh cuaca musim panas yang buruk, tapi sudah membaik secara bertahap. "Abenomics memungkinkan kita merevitalisasi ekonomi dan meningkatkan pajak komsumsi sekitar tiga persen, yang berdampak pada penerimaan pajak baru senilai lebih dari 8 triliun yen," katanya.
Jepang merupakan negara ekonomi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Cina. Negeri Sakura juga salah satu pemegang aset finansial terbesar di dunia, bersama Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Walaupun termasuk raksasa ekonomi dunia, selama satu dekade terakhir Jepang bergulat dengan deflasi dan beberapa kali mengalami resesi.
"Cukup mengejutkan, meskipun moneter mengalami penurunan besar, ternyata kenaikan pajak yang tidak terlalu tinggi bisa membuat ekonomi Jepang masuk resesi," kata Jonathan Buss, ekonom dari Oxford Economics, seperti dilansir International Business Times.
Rosalina (SCMP, Japan Today, IB Times, BBC, AP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo