Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Oiltanking melepas terminal bahan bakar minyak di Merak, Banten, didengar Ari Soemarno pada akhir 2013. Ari, yang menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri Jerman-Indonesia (Ekonid), dikabari oleh Direktur PT Oiltanking Nusantara Persada Coenraad D. Huebner, yang merupakan anggota Ekonid. Kepada Ari, Huebner juga meminta masukan tentang siapa yang mungkin tertarik membeli.
Dalam pertemuan di kantor Ekonid di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta, itu, Ari menyarankan Oiltanking menawarkan terminal tersebut kepada PT Pertamina (Persero). Sebagai badan usaha penyalur BBM terbesar di Indonesia, Pertamina berkepentingan memiliki terminal penyimpanan ini. Tapi Ari mengaku tak mau menghubungkan atau ikut campur dalam transaksi ini.
Lama tak mendengar kabar, Ari dikabari soal perkembangan terakhir penjualan terminal pada awal Agustus 2014. Ketika itu, dia diundang sebagai Ketua Kelompok Kerja Energi Tim Transisi dalam sebuah diskusi. Dalam kesempatan itu, mantan Direktur Utama Pertamina ini bertemu dengan seorang kolega dari Singapura yang mengabarkan bahwa terminal BBM di Merak telah terjual. Ari mengira Pertamina akhirnya membeli terminal ini. Di luar dugaan, sang kolega mengatakan fasilitas penampungan minyak itu dibeli perusahaan swasta.
"Swasta mana yang berani beli? Nekat amat swasta Indonesia mau beli, karena Oiltanking saja rugi. Ini perusahaan swasta Indonesia mau bagaimana?" kata Ari ketika ditemui Tempo di kantornya di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Direktur PT Oiltanking Nusantara Persada Coenraad D. Huebner mengatakan terminal dijual karena selama ini volume tangki yang terpakai tak memenuhi skala usaha mereka. Terminal berkapasitas 288 ribu kiloliter ini semula dibangun untuk melayani para importir BBM. Terminal yang beroperasi sejak 2009 ini dibuat dengan perkiraan pasar bahan bakar minyak nonsubsidi di Indonesia akan terbuka.
"Namun, karena subsidi BBM dan perkembangan pasar lainnya, kami tidak bisa memenuhi volume ini dan tidak bisa memenuhi model bisnis Oiltanking," ujar Huebner dalam surat elektroniknya kepada Tempo, 4 Desember 2014.
Ditanya mengenai pembeli dan para penawar terminal ini, Huebner tak menjawab banyak. "Para pihak menyepakati klausul kerahasiaan bahwa kami tidak akan mengungkapkan informasi transaksi kepada pihak ketiga mana pun," tulis Huebner.
Keterbatasan kapasitas penyimpanan BBM Indonesia menjadi salah satu masalah yang disorot Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, yang dibentuk pada November 2014. Data Pertamina mencatat saat ini rata-rata ketahanan stok BBM di Indonesia 18-19 hari. Angka ini jauh di bawah Jepang, misalnya, yang memiliki stok hingga 60 hari.
Mantan Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo mengatakan perlu waktu sekurangnya sepekan untuk pengadaan minyak, dari pemesanan hingga barang sampai. Pada prakteknya, rata-rata pengadaan minyak memakan waktu dua minggu. Itu pun, menurut Suroso, sudah terhitung sebagai pengadaan mendadak.
Lemahnya ketahanan stok BBM ini yang dianggap oleh Ketua Tim Reformasi Faisal Basri menjadi celah para trader memainkan harga minyak. Saat ini rata-rata konsumsi BBM nasional sekitar 1,4 juta barel per hari, yang separuhnya dipasok dari impor. "Orang bisa lihat Indonesia sedang butuh banget, 'Gua tekan ah harganya.' Jadi kita tak punya leverage dalam negosiasi," kata Faisal.
Keengganan Pertamina membeli terminal Merak membuat beberapa pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta mantan petinggi Pertamina bertanya-tanya. Apalagi, pada 22 Agustus lalu, Pertamina menandatangani kontrak jasa penerimaan, penyewaan, dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak. Kontrak berlaku untuk jangka waktu 10 tahun, dengan mekanisme take or pay dengan jumlah penyaluran minimum 288 ribu kiloliter per bulan.
Artinya, Pertamina tetap harus membayar jika jumlah penyaluran di bawah kesepakatan minimum. Dalam dokumen kontrak yang salinannya diterima Tempo, untuk penyaluran 0-288 ribu kiloliter, Pertamina membayar ongkos US$ 6,5 per kiloliter. Biaya jasa bisa lebih rendah jika volume yang disalurkan di atas ketentuan minimum. Dengan penyaluran sesuai dengan ketentuan minimum, ongkos sewa per tahun mencapai US$ 22,46 juta atau US$ 224,6 juta selama masa kontrak (setara dengan Rp 2,7 triliun).
Ari Soemarno, yang sempat dihubungi Oiltanking, mengatakan tak tahu harga penawaran terminal itu. Namun seorang mantan petinggi Pertamina mengatakan terminal ini sebetulnya ditawarkan dengan harga di bawah US$ 200 juta. Sebagai gambaran, terminal BBM Pertamina di Tuban yang beroperasi pada 2010 menelan biaya US$ 150-160 juta untuk pembangunan dan tanah. Terminal di Tuban berkapasitas 350 ribu kiloliter, lebih besar daripada fasilitas di Merak.
"Untuk membangun fasilitas tersebut, diperlukan biaya US$ 75-100 juta sehingga sebenarnya dengan ongkos sewa dua tahun sudah bisa membangun," kata seorang pegawai Direktorat Pemasaran dan Niaga Pertamina.
Masalah lain adalah toleransi losses atau susut sebesar 0,3 persen, yang tertuang di kontrak. Padahal, menurut seorang pejabat, toleransi susut yang berlaku di Pertamina hanya 0,2 persen. Dengan ketentuan kontrak, Oiltanking tak didenda meski jumlah BBM yang disalurkan susut hingga 864 kiloliter per bulan atau 10.368 kiloliter per tahun. Denda baru berlaku jika susut melewati batas toleransi. Itu pun dihitung dari selisih realisasi susut dengan batas toleransi.
Mantan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya, yang menandatangani kontrak dengan Oiltanking, tak berbicara banyak saat dimintai penjelasan soal kejanggalan klausul ini. Lewat pesan pendeknya kepada Tempo, Hanung—yang diberhentikan sebagai direktur Pertamina pada 28 November lalu—mengatakan belum ingin banyak bercerita kepada media. Pesan pendek Tempo lain yang menanyakan kontrak sewa dengan Oiltanking tak dibalas Hanung.
Senior Vice President Fuel Retail and Marketing Pertamina Suhartoko mengatakan keterbatasan dana perseroan menjadi alasan Pertamina memilih menyewa terminal. Dia menyebutkan 75 persen anggaran investasi Pertamina dialokasikan untuk belanja di sektor hulu. Sedangkan pemasaran dan distribusi, menurut dia, hanya mendapat alokasi 6 persen dari total anggaran investasi Pertamina sebesar US$ 7,8 miliar atau sekitar Rp 93 triliun lebih tahun ini.
Suhartoko mengatakan keterbatasan anggaran ini menyebabkan Pertamina sulit mempertahankan apalagi mengembangkan bisnis mereka di hilir. "Maka harus ada strategi lain supaya secara operasional tetap terjaga," ucapnya. Ia menjelaskan bahwa sewa kapal, sewa mobil tangki, ataupun sewa terminal, sepanjang memang secara keekonomian lebih masuk hitungannya, bisa dilakukan.
Menurut Suhartoko, dengan kontrak sewa terminal di Merak ini, ketahanan cadangan BBM Pertamina bertambah 1,5 hari. Sayang, ia tak memastikan apakah benar hitungan mereka jauh lebih ekonomis jika dibanding membeli terminal bekas perusahaan Jerman itu, seperti kalkulasi pejabat lain di perusahaan negara tersebut.
Bernadette Christina Munthe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo