Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari luar, Salon Depilex sama saja dengan salon kecantikan lain di Lahore, Pakistan. Gadis-gadis cantik dengan mengenakan jins ketat dan tank top keluar-masuk. Tapi, begitu memasuki salon milik Musarat Misbah ini, ada yang tampak lain: tamu bukannya disambut pegawai bermuka cantik seperti di foto-foto model di berbagai majalah fashion, melainkan perempuan dengan wajah penuh luka bakar atau bahkan meleleh. Satu di antaranya Bushra Shafi.
"Airnya terlalu panas?" Shafi bertanya kepada seorang tamu yang akan menjalani layanan pedicure, sambil menyiapkan air untuk merendam kaki, beberapa waktu lalu.
Sang tamu tak peduli dengan muka "tak biasa" pegawai yang melayaninya itu. "Saya tak pernah meminta agar tidak dilayani oleh anggota staf dengan muka luka bakar," kata Yasmin Sohail.
Menurut Misbah, 55 tahun, para perempuan itu adalah korban kekerasan dengan air keras. Telah lebih dari 10 tahun ia membantu korban kejahatan dengan air keras. "Bantu seseorang menjalani kehidupan," ditulis dalam akun Facebook milik Depilex sepekan lalu.
Pada mulanya datang seorang perempuan bercadar ke salonnya. Ketika Misbah menolak, perempuan itu membuka cadar. "Saya langsung terduduk. Kaki lemas seperti kehilangan tenaga," kata Misbah satu setengah bulan lalu. Di hadapannya berdiri perempuan tak berwajah. Mata dan hidungnya tak ada lagi. Leher dan wajahnya menyatu.
"Anda menyatakan diri sebagai ahli kecantikan dan muncul di televisi memberikan tip. Sekarang lakukan sesuatu untuk saya," kata perempuan itu.
Misbah seolah-olah terbangun. "Itulah awal Depilex Smile Again Foundation," katanya. Ia pun membuka lebar pintu salonnya bagi para perempuan korban kekerasan dengan serangan air keras dan luka bakar. Dengan bantuan para dermawan, dia membayari berbagai operasi untuk memulihkan wajah, membantu mengatasi problem psikologis, hingga membantu mencarikan pekerjaan.
Salah satunya Bushra Shafi. Dia disiram air keras oleh keluarga suaminya karena tak mampu menyediakan uang untuk mahar saudara iparnya. "Suami saya, saudara ipar, dan ayah mertua menyirami saya dengan air keras. Sedangkan ibu mertua saya mengikat saya di leher," katanya.
Setelah itu, Shafi dibiarkan saja. "Wajah saya menggelembung, seperti onggokan daging."
Saudaranya memberi tahu ada iklan di surat kabar mengenai tawaran bantuan bagi korban siraman air keras. Dia lalu datang ke salon Misbah. Dia menjalani sekitar 150 kali operasi. Kini, "Saya sudah bisa melihat kembali, mendengar lagi. Saya memiliki hidung untuk bernapas, memiliki mata, lidah. Saya bisa berbicara lagi," katanya.
Di Pakistan, tahun ini, tercatat setidaknya 160 kasus—kebanyakan korban adalah perempuan. Tahun sebelumnya, menurut Acid Survivors Foundation of Pakistan, ada 143 kasus. Banyak lembaga nirlaba menyebutkan angka sebenarnya lebih tinggi.
Korban umumnya bungkam karena takut diserang lagi. Maklum, kerap kali pelaku adalah keluarga. Penyebabnya banyak, biasanya terkait dengan problem pernikahan.
Adapun kasus yang sampai di pengadilan pun sering pelakunya tak mendapat hukuman setimpal. "Karena adanya stigma sosial untuk kasus seperti ini, sehingga ada begitu banyak tekanan kepada korban dan keluarganya," kata Saad Rasool, pengacara yang terlibat dalam undang-undang baru untuk memidanakan pelaku serangan dengan air keras. "Banyak keluarga menyelesaikan kasus di luar pengadilan."
Meski ada beberapa lembaga yang membantu, jumlah itu tetap tak cukup. Apalagi biayanya sangat tinggi.
Misbah mendapatkan banyak bantuan. Ia tak peduli apakah tamu mau datang atau tidak ke salonnya gara-gara pegawainya. "Saya katakan kepada para tamu, 'Maaf, Anda punya pilihan, bisa mengunjungi salon lain'," tuturnya. "Tapi para perempuan ini tak punya pilihan. Jadi mereka tetap di sini."
Purwani Diyah Prabandari (BBC, DeutscheWelle, Vice.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo