Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Terjal bagi Rouhani

Sukses mengembalikan Iran ke tataran pergaulan internasional tak serta-merta memuluskan langkah Presiden Hassan Rouhani. Kaum garis keras berupaya menjegalnya.

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hassan Khomeini adalah cucu Ayatullah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, yang dianggap punya masa depan politik yang menjanjikan. Tapi nama Khomeini dan karisma sang kakek tak memudahkannya bisa ikut bersaing memperebutkan satu dari 88 kursi di Majles-e Khobregan-e Rahbani atau Majelis Ahli, yang tugasnya antara lain mengangkat dan memberhentikan pemimpin spiritual tertinggi Iran.

Ikhtiar pria 43 tahun itu untuk mencalonkan diri kandas setelah permohonan bandingnya ditolak. Dia meminta pencoretan namanya dari daftar orang yang mengajukan diri sebagai calon dikaji lagi. Pencoretan ini dilakukan pada Januari lalu. Presiden Hassan Rouhani sebetulnya telah berupaya membantu dengan melakukan lobi secara intens. Tapi putusan Majelis Wali—lembaga yang tugasnya mengawal konstitusi—sudah bulat: Hassan Khomeini "tak cukup berkualifikasi untuk melakukan ijtihad".

Dalam penjelasannya, Majelis Wali antara lain menyatakan bahwa standar Khomeini sebagai ulama, dalam kata-kata Khomeini sendiri melalui pesannya via telegram, tak bisa dipastikan "berada di derajat yang bisa membantunya menafsirkan isu-isu yang berkaitan dengan yurisprudensi Islam sehingga dia bisa membantu mengenali pemimpin tertinggi yang berkualifikasi".

Dikenal berpandangan moderat, Hassan Khomeini bukan satu-satunya ulama—juga politikus—yang gagal ikut berlaga dalam pemilihan umum pada Jumat pekan lalu. Selain memilih anggota Majelis Ahli, pemilu ini diselenggarakan untuk memilih anggota parlemen; ini pemilu bersama pertama untuk kedua lembaga. Untuk pemilu parlemen, di tahap seleksi pencalonan, Majelis Wali telah menyingkirkan 60 persen dari sekitar 12 ribu "pelamar"—dua kali lebih banyak ketimbang pada pemilu sebelumnya.

Kira-kira seperempat dari jumlah itu boleh jadi akan lolos di tahap banding. Sekalipun demikian, separuh dari mereka yang berminat menjadi legislator sudah terhadang sejak dini.

Didominasi anggota dari kalangan garis keras, yang sekubu dengan pemimpin spiritual tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, Majelis Wali memang bukan lembaga yang bisa diharapkan adil. Dalam urusan pencalonan itu, kaum reformislah yang paling terpukul. Pada pencoretan pertama, hanya 30 dari 3.000 orang yang disetujui, yang mengakibatkan sebagian besar wilayah tak punya kandidat reformis. "Mereka ingin Re-Islam, tanpa publik," kata seorang pengamat yang tak mau disebut identitasnya, merujuk pada nama resmi Iran.

Tindakan Majelis Wali sesungguhnya berjalan beriringan dengan upaya akhir-akhir ini untuk menjegal langkah-langkah Rouhani. Mendekati pemilu parlemen pekan lalu, kaum garis keras, yang dekat hubungannya dengan Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC), mengesankan sedang bertekad memaksakan satu masa jabatan saja bagi Rouhani.

Dibandingkan dengan kesepakatan pada 2013, ketika Rouhani baru terpilih, sentimen negatif terhadap Rouhani itu merupakan perubahan sikap yang sangat drastis. Dulu kelompok-kelompok kepentingan utama di dalam rezim—kepresidenan, kantor pemimpin spiritual tertinggi, dan IRGC—sama-sama menyetujui perlunya kompromi perihal program nuklir Iran demi menyelamatkan ekonomi negara dari kebangkrutan akibat sanksi dari Barat. Kini realitasnya sudah berbeda.

Perubahan terjadi terutama setelah Iran bersepakat dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Uni Eropa mengenai program nuklirnya. Menurut perjanjian yang dideklarasikan di Swiss pada pertengahan Juli 2015, Iran bersedia menghentikan ikhtiarnya untuk membuat senjata nuklir. Sebagai ganjaran, Amerika dan kelima negara lain itu, juga Uni Eropa dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mencabut sanksi dan isolasi ekonomi bagi Iran.

Segera setelah poin-poin perjanjian berlaku efektif, Rouhani tak membuang waktu untuk membuka Iran, memperbaiki hubungan ekonomi dan politik dengan Barat. Pada Januari lalu, dengan membawa delegasi besar, dia melawat ke Eropa. "Kami harus memanfaatkan atmosfer yang baik setelah kesepakatan nuklir untuk meningkatkan pertumbuhan, pembangunan, dan perspektif kerja bagi kaum muda," katanya di Bandara Internasional Mehrabad sebelum bertolak dari Teheran.

Dalam perjalanan itu, delegasi Iran berhasil menjalin sejumlah kesepakatan dan kontrak bernilai ratusan juta dolar Amerika, di antaranya dengan Peugeot Citroen, Total, dan Airbus.

Setelah "puasa" panjang akibat sanksi ekonomi, kini, dengan sedikit kesabaran saja, warga Iran bisa berharap keadaan bakal jauh lebih baik. Kenyataannya tak semua kalangan di Iran ikut merayakan pencapaian Rouhani. Menyadari hal ini, Rouhani berulang kali memperingatkan warga Iran. Dia mengatakan ada pihak-pihak yang cemas bahwa visinya tentang Iran baru bakal merugikan dan melemahkan pengaruh mereka.

Upaya lawan-lawan Rouhani untuk mencegah hal itu terjadi tak main-main. Serangan terjadi melalui media. Misalnya ketika—dalam kunjungannya di Prancis—Rouhani setuju dijemput Menteri Luar Negeri Laurent Fabius, bukan Presiden Francois Holande. Hossein Shariatmadari, pemimpin koran Kayhan, yang merupakan orang kepercayaan Khamenei, menuduh Rouhani "memperlihatkan penghinaan bagi rakyat Iran".

Secara sistematis, kampanye kaum garis keras menggambarkan di media bahwa Rouhani adalah orang yang terpukau pada Barat tapi justru dicela oleh para pemimpin Barat. Media-media yang dikendalikan IRGC juga mengecilkan harapan Rouhani bahwa perdagangan dan investasi dari negara-negara Barat bakal membantu memulihkan ekonomi Iran. Merujuk pada pembelian 118 pesawat penumpang Airbus, kantor berita semi-resmi Fars News Agency menyebutkan "pesawat baru tak bakal mengatasi inflasi dan pengangguran".

Ada yang bahkan terbuka mengkritik. Misalnya Mohammad Reza Naqdi, komandan IRGC dan pemimpin milisi Basij. Memprotes usaha Rouhani mendekati Barat, dia berkata, "Kita tak bisa mengubah kebijakan luar negeri (revolusioner) kita demi menjadi konsumen (barang-barang Barat) seperti para syekh Arab."

Kampanye yang bertujuan mendiskreditkannya itu tak menggoyahkan Rouhani. Baginya jelas bahwa ekonomi Iran perlu dipulihkan. Tanpa itu, seluruh bangunan Republik Islam Iran bakal ambruk.

Untuk menggairahkan kembali ekonomi, Rouhani menganggap penting perdagangan dan investasi internasional, juga akses terhadap teknologi, khususnya di sektor minyak dan gas. Dalam berbagai perundingan pada saat kunjungan ke Prancis dan Italia pada Januari lalu, proyek di sektor inilah yang banyak dibahas. Rouhani memancang target penciptaan hingga 1 juta lapangan kerja per tahun dan pertumbuhan produk domestik bruto 5-8 persen pada 2016-2017.

Target itu terlalu ambisius sebenarnya, dalam keadaan ekonomi dunia yang lesu dan apalagi harga minyak justru sedang berada di titik terendah. Beberapa deregulasi juga diperlukan untuk membebaskan banyak sektor dari berbagai kepentingan—di antaranya dari kalangan yang dekat dengan IRGC. Langkah inilah yang, mudah ditebak, bakal mengundang perlawanan. Bahkan pernyataan Rouhani bahwa ekonomi Iran, yang bernilai hampir US$ 500 miliar, cukup besar untuk menghasilkan "uang bagi siapa pun", tak bisa meyakinkan para penentangnya.

Sepulang Rouhani dari Eropa, Kementerian Perminyakan di Teheran menjadi sasaran vandalisme oleh segerombolan orang. Kekuatan-kekuatan di dalam IRGC diduga menjadi penggeraknya. Serangan ini terjadi hampir bersamaan dengan timbulnya kekhawatiran di kalangan dalam IRGC bahwa peraturan baru kontrak perminyakan yang digunakan Rouhani untuk membujuk perusahaan-perusahaan asing telah memangkas pengaruh mereka.

Jika berbagai upaya menggergaji popularitas Rouhani itu dibiarkan, bisa jadi "uang bagi siapa pun" dalam ekonomi Iran tak bakal bisa diwujudkan. Ujian bagi Rouhani, sampai tiba kembali waktu pemilu presiden, sangat jelas: menundukkan lawan-lawannya dengan pencapaian ekonomi yang sama signifikannya dengan perjanjian nuklir.

Pemilu pada pekan lalu, dengan prospek parlemen yang tetap konservatif, membuat Rouhani harus menaklukkan jalan yang kian terjal pada paruh kedua masa jabatannya.

Purwanto Setiadi (DW, The Economist, Foreign Policy, The New York Times, Middle East Eye, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus