Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGOR Gemdita Hutapea dan Obed Sakti Andre Dominika tak pernah menyangka bahwa mereka begitu cepat akan menjadi terdakwa. Polisi telah melimpahkan berkas perkara mereka ke kejaksaan. Seperti berlomba dengan waktu, kejaksaan pun segera membawa perkara ini ke pengadilan. "Saya tak pernah menerima informasi perkembangan kasus ini sebelumnya," kata Obed saat ditemui pada Senin pekan lalu.Tigor mengatakan hal senada.
Tigor, 28 tahun, adalah pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Adapun Obed, 26 tahun, baru menjadi asisten pengacara di lembaga tersebut. Pada 30 Oktober tahun lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap keduanya bersama 23 buruh dan seorang mahasiswa. Keesokan harinya, polisi memang melepaskan mereka. Tapi, sejak itu, status tersangka tersemat di pundak aktivis buruh dan advokat tanpa bayaran tersebut.
Polisi menuduh Tigor dan kawan-kawan melewati batas waktu yang diizinkan ketika berdemonstrasi menuntut pembatalan Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 216 dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka dianggap melawan penguasa karena tak membubarkan diri setelah diperintah tiga kali. Ancaman hukumannya penjara empat bulan dua pekan atau denda paling banyak Rp 9.000.
Semula polisi hanya memeriksa Tigor dan Obed sebagai saksi. Keduanya baru sekali diperiksa polisi. Belakangan, polisi mencetak ulang berkas acara pemeriksaan dan mengganti status saksi menjadi tersangka. Perlakuan serupa dialami 23 buruh dan seorang mahasiswa, yang sama-sama sempat ditahan selama 20 jam.
Kamis pekan lalu, penolakan atas penetapan Tigor dan kawan-kawan sebagai tersangka berlanjut. Tim advokasi LBH Jakarta dan ratusan buruh menggelar unjuk rasa di gedung Kejaksaan Tinggi DKI, Jalan Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka menuntut gelar ulang perkara sekaligus meminta kejaksaan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan.
Dasar tuntutan itu, menurut Obed, karena pengacara LBH Jakarta dan buruh telah menjadi korban kekerasan aparat. Obed, misalnya, dipukuli setelah memotret polisi yang memukuli buruh. Ia mengalami luka memar di kepala, pipi, dan betis kanan. "Saya juga dipaksa menghapus foto-foto," ujar Obed.
Nasib Tigor tak jauh berbeda dengan Obed. Dia dikepung polisi ketika mendokumentasikan kekerasan polisi terhadap Obed. Tigor pun menerima pukulan dan tendangan dari aparat berseragam. Dia mengalami nyeri di ubun-ubun dan paha kiri serta memar di telinga kiri. "Ada visum dari Rumah Sakit Cikini," kata Tigor.
Sewaktu dikeroyok aparat, Tigor dan Obed mengatakan bahwa mereka advokat dari LBH Jakarta yang sedang memantau demo buruh. Mereka juga menunjukkan identitas kartu pengenal. Bukannya berhenti, kekerasan oleh aparat malah menjadi-jadi. Aparat mengangkut Tigor dan Obed bersama puluhan buruh lain ke atas truk. "Seharusnya polisi tahu, profesi kami juga dilindungi undang-undang," ucap Obed.
Dian Septi Trisnati, buruh perempuan, juga tak luput dari pukulan polisi. Ketika ditangkap, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik ini masih berada di salah satu mobil komando pendemo. "Kepala saya terluka, entah dipukul entah ditendang," kata Dian, satu dari empat buruh perempuan yang menjadi tersangka.
Menurut Dian, polisi menangkap dan memukuli buruh justru ketika mereka hendak membubarkan diri setelah meminta waktu untuk salat magrib di depan Istana. Kala itu mobil komando milik buruh yang membawa pengeras suara juga sudah berbalik arah untuk pulang. Namun mobil komando tertahan ribuan buruh yang serempak meninggalkan Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, tersebut. "Kan, butuh waktu lama untuk bubar," tutur Dian.
Kepala Biro Operasi Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Martuani Sormin membenarkan bahwa ribuan buruh itu meminta waktu untuk salat magrib. Namun, setelah salat, pengunjuk rasa masih berada di lokasi sampai pukul 19.00. Padahal aturannya hanya membolehkan demonstrasi hingga pukul 18.00. "Kalau ada kerumunan, diperintahkan bubar, ya, harus bubar," ujar Martuani, Kamis pekan lalu.
Martuani juga membenarkan bahwa polisi membubarkan paksa unjuk rasa dengan tembakan water cannon dan gas air mata. Namun dia membantah ada polisi yang memukuli pengunjuk rasa. "Tak mungkin dipukuli. Namanya juga unjuk rasa," kata Martuani.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan penggunaan Pasal 216 dan 218 KUHP untuk menjerat Obed dkk mengada-ada. Soalnya unjuk rasa buruh hari itu sama sekali tak anarkistis. Sesuai dengan janji mereka, setelah salat magrib, buruh mulai membubarkan diri. "Karena itu, kami menolak pelimpahan kasus ini ke kejaksaan," ujarnya.
Menurut Alghiffari, pengacara publik semestinya tak dikriminalkan. Ia mengutip Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa pemberi bantuan hukum tak bisa dituntut secara perdata ataupun pidana ketika memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya. Nah, menurut dia, hari itu Obed dan Tigor sedang menjalankan mandat LBH Jakarta untuk memberikan bantuan hukum kepada buruh. "Mereka seharusnya mempunyai hak imunitas," kata Alghiffari. "Kalau tetap dipidana, itu kriminalisasi."
Pengurus LBH Jakarta telah melaporkan perkara ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Nasional, Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Kepolisian Nasional. Yang agak aneh, menurut Alghiffari, Komisi Kepolisian malah menyarankan LBH Jakarta meminta maaf kepada polisi. "Saat itu Komisioner Adrianus Meliala yang meminta kami minta maaf agar urusannya selesai," ujar Alghiffari.
Adrianus membenarkan pernah meminta aktivis LBH Jakarta meminta maaf agar penetapan mereka sebagai tersangka tak berkepanjangan. Dia beralasan polisi melakukan kekerasan dalam konteks aksi-reaksi. Sebelumnya, polisi sudah meminta buruh membubarkan diri agar tak melanggar batas waktu unjuk rasa. "Namun mereka tegas-tegas menyalahkan polisi," kata Adrianus, yang kini menjabat Komisioner Ombudsman Republik Indonesia.
Sejauh ini, kejaksaan tak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan. Kepala Humas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Waluyo Yahya malah mengatakan berkas perkara sudah lengkap. "Tinggal sidang di pengadilan," ujar Waluyo.
Nur Haryanto, Maya Ayu Puspitasari
Membungkam Kebebasan Berekspresi
PENETAPAN Tigor Gemdita Hutapea dan kawan-kawan sebagai tersangka menambah panjang daftar kriminalisasi terhadap pegiat hak asasi dan kelestarian alam. Di berbagai daerah, aparat kian sering membungkam kebebasan berekspresi, misalnya dengan membubarkan berbagai forum diskusi.
Mei 2009
Barry Nahdian Furqon dan Erwin Usman, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menjadi tersangka dan ditahan Kepolisian Resor Manado, Sulawesi Utara. Mereka ditahan setelah memimpin unjuk rasa menentang acara World Ocean Conference-Coral Triangle Initiative di Manado pada 11 Mei 2009.
Maret 2014
I Wayan Tirtayasa, I Wayan Saniyasa, I Wayan Adi Jayanatha, dan I Made Murdana ditangkap Kepolisian Daerah Bali. Penangkapan aktivis Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (Jalak) Desa Sidakarya, Denpasar, itu berkaitan dengan pembuatan spanduk cap jempol darah untuk menolak reklamasi Teluk Benoa pada 16 Februari 2014.
Agustus 2015
Muhammad Miki, aktivis lingkungan hidup yang menolak keberadaan perusahaan tambang di Desa Antajaya, yakni Gunung Kandaga, ditahan Polres Bogor. Dia dituduh mencuri dan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Padahal Miki, bersama warga lain, justru mengamankan kabel yang diduga bahan peledak.
September 2015
Salim Kancil, petani Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, dikeroyok hingga tewas oleh sekelompok orang suruhan aparat desa pada 26 September 2015. Sebelum dibunuh, Salim getol menentang kegiatan tambang pasir ilegal yang dibekingi aparat dan politikus lokal.
Danni M., PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo