Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari San Bernardino ke Cupertino

Atas permintaan FBI, pengadilan federal memerintahkan Apple membuka pengamanan iPhone milik tersangka terorisme. Apple melawan.

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepucuk surat elektronik menghampiri semua karyawan Apple pada Senin pekan lalu. Surat dari Timothy D. Cook, Chief Executive Officer Apple, itu memuat pesan yang gamblang. Apple, kata Cook, akan tetap menolak permintaan Badan Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) membuat perangkat lunak guna meretas telepon seluler iPhone 5C milik tersangka penembakan di San Bernardino.

"Kasus ini bukan hanya soal sebuah ponsel atau sebuah penyelidikan," tutur Cook dalam surat elektronik itu, seperti dikutip Reuters. Menurut dia, kasus ini mempertaruhkan keamanan data ratusan juta pengguna iPhone yang taat hukum. "Dan menjadi preseden berbahaya yang mengancam kebebasan sipil setiap orang."

Penembakan di San Bernardino, California, memang membuat Apple dan FBI bersitegang. Serangan pada 2 Desember 2015 itu menewaskan 14 orang dan melukai 22 lainnya. FBI, yang menganggap serangan ini sebagai yang terparah di Amerika setelah tragedi 11 September 2001, menetapkan Syed Rizwan Farook dan istrinya, Tashfeen Malik, sebagai tersangka.

Penyelidikan FBI, yang ingin mengurai jaringan teroris Farook, terbentur tembok tebal bernama teknologi enkripsi. FBI yakin Farook menyimpan informasi penting di dalam iPhone-nya, tapi gagal membongkar ponsel canggih bertameng angka sandi tersebut. Karena itu, FBI meminta bantuan pembuat iPhone, Apple.

"Empat belas orang dibantai dan banyak lagi yang tubuh dan kehidupannya hancur," kata Direktur FBI James Comey dalam sebuah artikel di blog hukum keamanan nasional Lawfare, Ahad pekan lalu. FBI, menurut dia, tidak berniat membuat preseden hukum dari kasus ini. "Kami berutang penyelidikan menyeluruh dan profesional kepada para korban."

Segala argumentasi FBI tak mempan. Dari markas Apple di Cupertino, kota sejauh 643 kilometer di barat laut San Bernardino, Cook menolak permintaan itu.

FBI tak hilang siasat. Seperti diberitakan The New York Times, FBI meminta pengadilan federal mengeluarkan surat perintah agar Apple membantunya. Tapi Cook bergeming. "Pemerintah Amerika telah mendesak Apple memberi bantuan teknis yang mengancam keamanan pelanggan kami," tutur Cook.

Bantuan teknis itu adalah menonaktifkan fungsi penghapusan data otomatis. Fitur pengamanan data di iPhone ini menyala bila siapa pun salah memasukkan angka sandi sebanyak sepuluh kali.

Bagi Apple, keamanan privasi pengguna adalah segalanya. Untuk mewujudkan itu, Apple, dan semua perusahaan teknologi, bergantung pada teknologi enkripsi canggih buat mengubah setiap jenis data menjadi kode. Nahas bagi FBI, dan pemerintah Amerika, karena Apple memperketat kebijakan keamanan privasi sejak September 2014.

Saat itu, Apple meluncurkan iOS8. Sistem operasi ini memungkinkan pengguna iPhone dan iPad mengenkripsi data secara mandiri. Begitu sandi disetel, seluruh data di dalam ponsel menjadi kode. Dalam kasus San Bernardino, kondisi makin pelik karena iPhone 5C milik Farook diketahui menggunakan iOS9. "Pengguna memegang kunci enkripsi berupa sandi. Apple tidak dapat meretasnya," begitu pernyataan Apple, seperti dikutip CNN.

Kebijakan baru Apple terinspirasi kasus Edward Snowden, bekas pegawai Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA). Pada Juni 2013, Snowden membongkar praktek penyadapan massal NSA terhadap peranti digital warga Amerika. Kasus ini memicu gerakan besar-besaran di penjuru dunia untuk mendesak penerapan teknologi enkripsi di semua layanan digital.

Di Cupertino, Apple berlindung pada Amendemen Pertama Konstitusi Amerika yang menjamin kebebasan berekspresi. "Penulisan kode komputer (perangkat lunak) adalah bentuk kegiatan ekspresif yang dilindungi konstitusi," kata anggota tim pengacara Apple, Theodore J. Boutrous, kepada LA Times. Sedangkan FBI memakai Undang-Undang Patriot dengan dalih melindungi keamanan nasional dari terorisme.

Cook tidak sendiri melawan penguasa. Di belakangnya berdiri sederet pentolan raksasa teknologi di Silicon Valley. Mereka antara lain CEO Facebook Mark Zuckerberg, CEO Twitter Jack Dorsey, dan CEO Google Sundar Pichai. "Kita semua memiliki hak privasi. Itu adalah hak dasar manusia," Cook menegaskan.

Mahardika Satria Hadi (The New York Times, CNN, The Intercept, LA Times, Wired, Reuters, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus