Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdana Menteri Ramos Horta menggelar acara spesial di rumahnya di kawasan Pasir Putih, Metiaut, Dili, Jumat pekan lalu. Sebuah jamuan makan siang di wisma tamunya, bangunan kayu beratap rumbia, baru berdiri tahun lalu.
Ya, jamuan istimewa, di tempat istimewa, untuk tamu istimewa. Wisma tamu itu bagian dari rumah Horta yang luas tanahnya dua hektare dan letak-nya 100 meter dari pantai. Di dalamnya, di atas meja bertaplak putih, tertata gugusan makanan: ayam goreng, daging sapi, sayur, dan buah-buahan. Juga, whisky dan Tinto, minuman khas Portugal yang terbuat dari anggur, untuk menghangatkan suasana.
Undangan yang ditebar sangat terbatas. Hanya untuk 12 orang, enam di antaranya untuk kandidat presiden Timor Leste, kecuali Francisco ”Lu Olo” Guterres, pesaingnya, calon dari Partai Fretilin. Namun, hanya dua calon presiden yang datang: Lucia Lobato dari Partai Sosial Demokrat dan Avelino Coelho dari Partai Sosial Timor Leste. Sedangkan empat partai oposisi lainnya (Uni Demokratik Timor Leste, Partai Demokrat, Partai Liberal, Partai Politik Timorense) hanya diwakili para petingginya.
Di Timor Leste, negeri yang sedang memilih pemimpin, tak ada hal yang tidak bersifat politik elektoral sekarang. Jamuan itu tidak diadakan untuk merayakan kemenangan. Menurut Komisi Pemilihan Nasional Timor Leste (CNE), Horta, kandidat independen, kalah dari calon Fretilin. Hingga akhir pekan lalu, Lu Olo memperoleh 28,79 persen suara, Horta cuma 22,60 persen. Jamuan itu berorientasi masa depan: pemilu putaran kedua, antara Lu Olo dan Horta, 8 Mei mendatang.
Horta ingin menang pada pemilu putaran kedua. Dengan dukungan enam partai, penerima Nobel Perdamaian 1996 ini bisa berharap mendapat sekitar 70 persen suara. Selama dua setengah jam pembicaraan, di sela-sela makan siang serta tegukan whisky dan Tinto, pihak oposisi yang hadir pun setuju mendukung Horta. ”Demi perubahan, persatuan, dan kesatuan bangsa, kami memilih Horta,” kata Sekretaris Jenderal UDT, Luis Daz Rodrigues.
Kesepakatan Metiaut ditindaklanjuti dengan rapat pada malam harinya untuk membentuk tim sukses kemenangan Horta. Semua bergulir terus. Oposisi juga menemui Presiden Xanana Gusmao, Sabtu pekan lalu. ”Kami minta Xanana menggunakan hak vetonya untuk memecat Kepala Pengadilan Tinggi Claudio Ximenes,” ujar Rodrigues. Mereka menganggap Ximenes yang dari Fretilin, terlibat dalam manipulasi suara, yang nantinya bisa memenangkan Lu Olo pada putaran kedua.
Dalam pemilu putaran pertama, tujuh calon presiden yakin Fretilin telah melakukan kecurangan, melalui teror dan intimidasi, dalam penghitungan suara. Rabu pekan lalu, mereka mengadakan konferensi pers untuk mengungkap kelakuan Fretilin ini. Menurut Horta, kepala polisi Baucau dan Viqueque menekan rakyat agar memilih Fretilin. Para kandidat presiden juga memprotes ber-edarnya sebuah dokumen di Dili. Dokumen yang menyatakan: total suara di Dili tidak sesuai dengan jumlah pemilih.
Makan siang di Pasir Putih memang gratis, namun dukungan partai-partai tidak gratis. ”Kami minta dua kursi di kabinet,” ujar Rodrigues. UDT sangat mengincar posisi menteri pertambangan dan energi yang kini dipegang Jose Teixeira dari Fretilin. ”Karena kami spesialisasi di bidang itu,” katanya. Posisi ini memang paling menggiurkan, karena kementerian inilah yang ”menguasai” sumber minyak dan gas di Celah Timor, sumber kekayaan masa depan Timor Leste.
Kubu Fretilin juga tak tinggal diam. Mereka tahu, keunggulan Lu Olo pada putaran pertama bukanlah sebuah kemenangan. Pada pemilu 2001, mereka meraup 57 persen suara, dan menguasai 55 dari 85 kursi parlemen. Selain itu, Mari Alkatiri, sesepuh Fretilin dan mantan perdana menteri, telah melakukan road show ke berbagai daerah untuk memperkuat basis Fretilin selama Februari lalu. Tidak heran jika Fretilin yakin bisa meraih suara mayoritas sehingga tidak perlu ada putaran kedua. ”Saya sudah menang sebelum pemungutan suara. Tidak akan ada putaran kedua,” kata Lu Olo selepas mencoblos di sentru votasaun (TPS) SD Farol, Dili, Senin pekan lalu.
Menyadari hal ini, Lu Olo pun berupaya mendekati partai-partai oposisi. Rabu pekan lalu, Fretilin mengutus Wakil Menteri Dalam Negeri Filomeno Aleixo menemui pemimpin Partai Demokrat dan partai ASDT. Namun ajakan itu kurang bersambut. ”Kami pikir belum saatnya membicarakan koalisi. Kami masih mempersoalkan hasil pemilu,” kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Mariano Sabino.
Sedangkan ASDT mengaku belum dihubungi Fretilin. Tapi, Sekretaris Jenderal partai itu, Gil Alves, menegaskan, tidak akan menerima pinangan Lu Olo. ”Kalau kita bergabung dengan Fretilin, rakyat bilang apa? Mayoritas rakyat ingin ada perubahan, pemberantasan korupsi dan nepotisme,” katanya.
Undangan bergabung dengan Fretilin juga dilayangkan ke Fretilin Mundaca (pembaruan). Alkatiri bahkan berjanji tidak akan meminta jabatan sebagai perdana menteri kembali, dan ia akan memberikan beberapa posisi menteri penting kepada Mundaca. Alkatiri sendiri akan tetap menempatkan orangnya untuk posisi menteri pertambangan dan energi.
Namun, tawaran itu belum berhasil. ”Kepentingan rakyat jangan dikompromikan dengan jabatan dan uang,” kata Menteri Luar Negeri Jose Luis Guterres yang juga ketua partai. Menurut dia, penggabungan kembali Fretilin pro-Alkatiri dengan Mundaca, baru bisa dilakukan setelah pemilihan presiden dan parlemen. Syaratnya, ada perubahan mendasar dalam kepemimpinan dan anggaran dasar partai.
Permintaan itu masuk akal, karena Fretilin Mundaca sebenarnya terbentuk karena langkah orang-orang reformis dalam partai itu. Luis Guterres, serta beberapa menteri di kabinet Alkatiri, yang saat itu masih perdana menteri, menentang kubu Lu Olo dan Alkatiri. Kelompok pembaharu ini juga telah minta perubahan mendasar Fretilin pada Kongres Fretilin ke-2, Mei 2006. Dalam Kongres yang terjadi di tengah kerusuhan akibat Alkatiri memecat sekitar 500 tentara Timor Leste FDTL, kelompok pembaharu ini dijegal Alkatiri. Lalu mereka membentuk Fretilin Mundaca.
Tampaknya tidak mudah bagi Lu Olo dan Alkatiri untuk kembali mendongkrak popularitas Fretilin. Negara bekas provinsi Indonesia yang resmi merdeka—setelah pemerintahan transisi di bawah PBB—pada 2002 ini, belum menunjukkan kemajuan berarti. Negara berpenduduk sekitar satu juta jiwa ini, miskin dan sangat tergantung bantuan asing—PBB mengeluarkan lebih dari US$ 3 miliar atau sekitar Rp 27 triliun sejak 1999.
Minyak dan gas di Bayu Undan, salah satu ceruk eksplorasi Celah Timor, yang menurut kesepakatan dengan Australia pada Mei 2002, akan memberi negara itu US$ 15 miliar atau sekitar Rp 135 triliun sepanjang masa produksi—belum memakmurkan rakyat. Hasil Bayu Undan ini tentu besar sekali bagi negara dengan anggaran negara US$ 450 juta atau sekitar Rp 4 triliun per tahun. Bahkan Horta dan Xanana pun menanyakan ke mana saja hasil Celah Timor.
Jalan yang ditempuh negeri kecil ini memang tidak mudah. Kerusuhan-kerusuhan seperti yang terjadi pada Mei 2006 dan Maret lalu, masih sering meletup, memperlihatkan keadaan yang belum lagi stabil. Perpecahan masih mengancam: persoalan Mayor Alberto Reinado dan Gastao Salsinha, pimpinan tentara desertir dan petisioner yang dipecat Panglima FDTL Taur Matan Ruak akhir April 2006. Jadi, sekalipun Horta menang—seperti diinginkan Xanana, partai oposisi, gereja dan PBB—hidup di masa depan tidak akan mudah.
Faisal Assegaf, Salvador Ximenes Soares (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo