Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zakia baru masuk masa remaja. Tapi anak perempuan 12 tahun itu tidak tampak ceria dan segar-bugar. Badannya kurus dan pucat. Setiap kali buang air besar, darah segar ikut mengalir keluar. ”Banyaknya sekitar setengah cangkir,” kata Eva J. Soelaiman, spesialis anak Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, dokter yang menanganinya, Kamis pekan lalu. Transfusi darah pun menjadi ritual rutinnya agar Zakia tak kehabisan darah.
Anak yang tinggal di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, ini sudah kenyang gonta-ganti dokter dan bolak-balik ke rumah sakit selama tujuh tahun terakhir. Namun hasilnya selalu mengecewakan. Sumber penyakitnya tak jua ketemu. Hasil pemeriksaan endoskopi—alat untuk memeriksa organ dalam tubuh secara visual—baik dengan memasukkan selang lewat mulut (gastroskopi) maupun anus (kolonoskopi), menunjukkan kondisi pencernaan si upik normal dan sehat.
Alhamdulillah, akhirnya Zakia bertemu dengan Eva. Karena sulit menemukan sumber perdarahan Zakia, Eva pun curiga, biang keladinya ”bersembunyi” di usus halus. Menurut Eva, dua metode endoskopi terdahulu memang tak mampu menjelajahi seluruh bagian usus halus. Gastroskopi cuma bisa meneropong sampai batas duodonum atau bagian awal usus halus. Sedangkan kolonoskopi hanya menjangkau pangkal usus halus.
Lalu Eva menawarkan kepada orang tua Zakia agar putrinya menggunakan cara endoskopi dengan kapsul. Bukan sembarang kapsul, benda silindris 11x6 milimeter itu mampu meneropong dan memotret. Dan yang paling penting, tak seperti dua pendahulunya, si kapsul mampu menjelajahi seluruh saluran pencernaan, mulai dari kerongkongan hingga ujung usus halus.
Cara kerjanya sederhana. Si pasien harus menelan kapsul endoskopi itu seperti makan obat biasa. Maka alat canggih ini pun langsung bekerja memotret semua organ dalam tubuh yang dilaluinya, mulai dari kerongkongan sampai anus, hingga akhirnya keluar dan terbuang bersama feses. Kapsul bergerak seirama dengan gerak peristaltik usus. Setiap detik, sang kapsul mampu menjepret dua kali. Alhasil, selama 8-10 jam ”masa perjalanan”, kapsul endoskopi itu mampu menghasilkan 60 ribu hingga 80 ribu potret organ dalam dengan berbagai pose.
Menurut Murdani Abdullah, ahli gastroenterologi atau pencernaan dari FKUI-RSCM, kapsul endoskopi berfungsi layaknya teropong yang dilengkapi sejumlah komponen seperti kamera, baterai, lensa, dan lampu. Kapsul juga bisa langsung mengirimkan foto yang diambil ke perekam data nirkabel yang dipasang di pinggang pasien. Setelah prosedur selesai, dokter akan melihat gambar yang ada di monitor video—dokter hanya memerlukan sekitar lima dari puluhan ribu gambar tadi.
”Hasil gambarnya berwarna seperti foto yang diambil kamera biasa,” kata Murdani, yang sudah 15 kali menggunakan kapsul endoskopi untuk mengeta-hui kondisi usus halus pasiennya. Berbagai kelainan di usus halus, seperti luka, tonjolan di usus halus (polip), radang usus (inflammation bowl disease), iritasi, hingga tumor pun terekam sempurna. Keakuratan kapsul endoskopi memang tergolong tinggi, 80-90 persen.
Masih menurut Murdani, dulu meneropong kondisi usus halus yang panjangnya mencapai lima meter itu bukan perkara mudah. Namun, sejak sekitar dua tahun lalu, setelah kapsul endoskopi hadir di Indonesia, usus halus bukan lagi misteri. ”Dengan teknologi ini, semua bagian yang dulu sulit dijangkau bisa terekam jelas,” katanya.
Khusus untuk balita yang belum bisa menelan, dokter akan memasukkan kapsul lewat mulut dengan bantuan selang, seperti endoskopi biasa. ”Pada bayi biasanya dilakukan pembiusan, soalnya mereka kan tidak bisa diam dan mudah menangis,” kata Eva, yang pernah menggunakan kapsul endoskopi ini pada bayi dua tahun dan anak lima tahun—keduanya kini sudah sembuh total.
Nah, berkat penjelajahan kapsul endoskopi pada awal April lalu, penyebab perdarahan Zakia pun ditemukan. Ternyata sepertiga bagian bawah usus halus Zakia sensitif dan mudah berdarah. ”Dia terkena penyakit inflamasi usus,” kata Eva. Kini tim dokter yang menangani Zakia tengah mengupayakan kesembuhannya dengan memberikan obat antiinflamasi.
Namun Murdani menyarankan agar pasien yang menggunakan kapsul ini adalah mereka yang dicurigai mempunyai kelainan di usus halus saja. ”Kalau untuk kelainan di organ pencernaan lain, lebih baik menggunakan endoskopi biasa,” katanya. Pasien yang memiliki obstruksi atau penyumbatan di usus sebaiknya juga tidak menggunakan metode ini. ”Takut nanti kapsulnya tertahan di usus yang mampet itu,” ujar Murdani. Harga pemeriksaan dengan kapsul endoskopi pun masih terbilang mahal, sekitar Rp 12,5 juta per pemeriksaan.
Di luar itu, teknik ini terbilang aman, nyaman, dan bisa digunakan oleh semua golongan usia. Pasien cuma diminta berpuasa delapan jam sebelum menelan kapsul dan empat jam sesudahnya. Bahkan, selama proses berlangsung, pasien bisa melakukan aktivitas seperti biasa. ”Mau jalan-jalan ke pasar juga bisa,” seloroh Murdani. Cuma, karena faktor keamanan, pasien diminta menginap semalam di rumah sakit. Hal itu untuk menjaga agar alat perekam data tidak hilang atau rusak.
Maklumlah, alat perekam data itu cuma ada satu di Indonesia. Alat buatan Amerika Serikat tersebut milik PT Versacon Medical, distributor alat dan kapsul pemotret di Indonesia. Jadi, selama ini rumah sakit hanya meminjam alat itu berganti-ganti, sedangkan kapsulnya dibayar pasien. Selama ini, rumah sakit yang sudah pernah menggunakannya antara lain RS Mitra Kemayoran, RS Abdi Waluyo, RS M.H. Thamrin, RS Harapan Kita, dan RS Cipto Mangunkusumo. Tidak lama lagi, rumah sakit di Bandung dan Surabaya sudah bisa memanfaatkan endoskopi kapsul.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo