Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pesta Nuklir Para Imam

Iran mengumumkan kemampuan pabrik nuklirnya berskala industri. Retorika yang bisa menjadi kenyataan.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lonceng-lonceng sekolah serentak berdentang di seantero Iran pada pukul sembilan pagi Senin pekan lalu. Hari itu, pengguna bus kota dan kereta kota di Ibu Kota Teheran ikut senang: mereka tak ditariki ongkos. Sekitar 15 ribu sukarelawan milisi Basij membentuk rantai manusia di luar fasilitas nuklir Isfahan dan Arak. Di instalasi nuklir Bushehr, anak-anak menerbangkan layang-layang yang membawa slogan bertulisan ”Satu masa depan cerah dengan energi atom”. Pemerintah Iran lantas menyebut hari itu ”Pesta Nuklir Nasional”.

Pada 9 April tahun lalu, Iran mengumumkan memproduksi pengayaan uranium untuk pertama kali di pabrik Natanz. Kala itu, Iran menyatakan pengayaan hanya hingga 3,5 persen, tingkat yang dibutuhkan untuk bahan bakar reaktor nuklir. Sedangkan untuk bahan senjata nuklir dibutuhkan tingkat pengayaan uranium hingga 90 persen.

Inilah gerak cepat pemerintah Iran lima hari setelah Presiden Mahmud Ahmadinejad memberi rakyat Inggris hadiah di anak tangga istana kepresidenan dengan membebaskan 15 pelaut dan marinir Inggris. Siang harinya, Ahmadinejad tampil di depan undangan, termasuk kalangan diplomatik, di kompleks pabrik bahan bakar nuklir Natanz. ”Dengan sangat bangga, saya umumkan hari ini, negeri kita, Iran, telah bergabung dengan kelompok negara nuklir yang dapat memproduksi bahan bakar nuklir pada skala industri,” ujar Ahmadinejad.

Padahal hanya dalam hitungan hari juga Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi kedua terhadap Iran karena negara itu menolak tekanan negara Barat untuk menghentikan program pengayaan nuklir, akhir Maret lalu. Iran mengaku program nuklirnya untuk kepentingan damai, tapi negara Barat menuduh Iran tak berhenti di situ. Iran, di mata mereka, bermaksud membuat senjata nuklir.

Pesta nuklir itu dirancang untuk mengirim pesan kepada negara Barat bahwa Iran tak akan menghentikan aktivitas nuklirnya. ”Hari ini kami siap memulai negosiasi sebenarnya dengan tujuan mencapai satu pemahaman,” ujar Ali Larijani, perunding nuklir Iran.

Negara Barat pun sontak kaget. Bayangkan, baru Februari lalu Iran menyatakan mengoperasikan 328 mesin pemutar di Natanz. Kini pejabat Iran menyatakan pabrik nuklir Natanz mengoperasikan 3.000 mesin pemutar untuk memperkaya uranium menjadi bahan bakar nuklir. Berarti, hanya dalam kurun tak sampai dua bulan, Iran ngebut membuat dan mengoperasikan 3.000 mesin pemutar.

Menurut sejumlah perkiraan, kelak Natanz dapat menampung 50 ribu mesin pemutar yang dapat memproduksi 20 senjata nuklir per tahun. Perkiraan lain menyatakan pabrik Natanz hanya akan punya 5.000 mesin pemutar. Toh, dengan jumlah itu, Iran diperkirakan mampu memproduksi pengayaan uranium yang cukup untuk menghasilkan sejumlah kecil senjata nuklir.

Juru bicara Gedung Putih mencela pengumuman Iran itu. ”Iran terus menantang komunitas internasional dan mengisolasi dirinya dengan mengembangkan program nuklir tinimbang menghentikan pengayaan uranium,” ujar Gordon Johndroe, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.

Tapi, menurut Ahmadinejad, tak ada alasan bagi Iran untuk menghentikan program nuklirnya. Sebab, kata dia, tak ada bukti pelanggaran dalam aktivitas nuklir. Iran memang sempat menunda kegiatan pengayaan uranium di pabriknya dekat Natanz pada 2003, tapi fasilitas itu dibuka kembali baru-baru ini.

Pada 2003, laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sempat melaporkan contoh uranium berkadar senjata nuklir ditemukan di dekat pabrik Natanz. Tapi Iran menyalahkan peralatan impor terkontaminasi bahan itu, dan belakangan laporan independen membenarkan pernyataan Iran ini. Inspektur IAEA juga datang ke Natanz dua pekan lalu, dan dua inspektur IAEA juga mengunjungi Natanz selama beberapa hari sejak Selasa pekan lalu.

Bahkan Kepala IAEA Mohamed el-Baradei meragukan kapasitas produksi pabrik nuklir Iran yang diakui Ahmadinejad berskala industri. ”Iran masih pada tahap awal menyiapkan fasilitas pengayaan (nuklir) di Natanz,” ujar Baradei. Menurut dia, angka 3.000 atau 50 ribu mesin pemutar nuklir baru rencana, sedangkan saat ini hanya ada ratusan mesin pemutar.

Diplomat di Wina yang dekat dengan IAEA berusaha memberikan angka yang lebih rendah tentang jumlah mesin pemutar di pabrik nuklir Iran, yakni 650. Bahkan, kata diplomat yang tak mau disebut namanya itu, mesin pemutar di Natanz berjalan tapi tak satu pun yang melakukan pengayaan uranium.

El-Baradei malah menepis kecurigaan bahwa Iran menjalankan program pengayaan tersembunyi sebagaimana yang dituduhkan Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Menurut Baradei, hingga kini tak ada fasilitas nuklir di bawah tanah di Iran yang ditutupi kegiatannya. ”Apalagi Iran tak punya bahan mentah uranium yang dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir,” katanya.

Jadi kenapa negara Barat tetap ngotot bahwa Iran harus menghentikan program nuklirnya? Menurut Ahmadinejad, munculnya Iran sebagai pemain dalam industri bahan bakar nuklir hanya akan mengurangi ketergantungan negara pengguna nuklir terhadap delapan negara besar yang menguasai teknologi dan industri nuklir, yakni Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Rusia, dan Jepang. ”Walaupun kami sudah bekerja sama dan transparan, walaupun faktanya tindakan kami legal, kami menjadi saksi kontroversi yang diciptakan sejumlah kekuatan dunia yang mengambil keuntungan dari lingkaran bahan bakar nuklir untuk diri mereka sendiri,” katanya.

Buktinya, Brasil harus merogoh kocek rakyatnya sebesar US$ 16 juta setiap tahun untuk membayar ongkos pengayaan uranium di Kanada dan Inggris. Bahan bakar nuklir itu digunakan untuk menghidupkan reaktor pembangkit listrik Brasil. Tak aneh, Brasil akhirnya memutuskan mendirikan pabrik pengayaan uranium sendiri.

Hebatnya, Brasil tak mengizinkan inspektur IAEA leluasa memelototi mesin pemutar bahan bakar nuklirnya. Pejabat IAEA hanya boleh melihat proses pengayaan uranium dengan ditutupi layar. Alasannya, itu untuk melindungi teknologi komersialnya. Hal yang sama dilakukan Iran. Toh, IAEA dan Amerika Serikat mengizinkan program nuklir Brasil berjalan terus. ”Brasil tidak mencurangi NPT,” kata David Albright, bekas inspektur IAEA dari Amerika Serikat.

Brasil, sebagaimana Iran, adalah penanda tangan Pakta Nonproliferasi Nuklir atau NPT (perjanjian tak mengembangkan senjata nuklir) dan konstitusi Brasil melarang penggunaan senjata nuklir. Sedangkan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, mengeluarkan fatwa haram hukumnya menggunakan senjata nuklir.

Tapi masalahnya, kata Albright, Iran secara terbuka berkonfrontasi dengan Amerika Serikat. Iran dianggap mengancam kepentingan Amerika di Timur Tengah dan mengancam keberadaan Israel yang punya senjata nuklir. ”Brasil meraih keuntungan dari masalah Iran,” kata ahli Brasil di Universitas Vanderbilt, Amerika, Marshall Eakin. Sebaliknya, Iran akan terus mendapat tekanan Barat.

Namun Ali Larijani, perunding nuklir Iran, memperingatkan bahwa Iran tak punya pilihan selain mempertimbangkan keanggotaannya pada Pakta Nonproliferasi Nuklir jika negara Barat terus menekan. Mungkin 50 ribu mesin pemutar pengayaan uranium di Natanz bukan lagi sekadar retorika Iran. Rudal milik Iran pun akan berhiaskan hulu ledak nuklir.

Raihul Fadjri (BBC, Guardian, AFP, AP, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus