Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jejak Genosida Hingga ke Suu Kyi

Perserikatan Bangsa-Bangsa mempersiapkan berkas penuntutan kasus genosida Rohingya terhadap enam jenderal Myanmar. Aung San Suu Kyi berpotensi terseret.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aung San Suu Kyi berbicara di depan parlemen di Naypyitaw./REUTETS/Soe Zeya Tun/

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM pencari fakta di Myanmar yang dipimpin Marzuki Darusman telah menyelesaikan tugas dan melaporkan hasilnya dalam sidang Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, 17 September lalu. “Setelah ini, giliran Mekanisme Penyelidik Independen untuk Myanmar (IIMM) melakukan pemberkasan untuk penuntutan kasus dugaan pemusnahan etnis (genosida) ini,” kata mantan Jaksa Agung itu saat ditemui Tempo di Jakarta, Selasa, 1 Oktober lalu.

Dalam laporannya, Marzuki menyam-paikan bukti tambahan adanya genosida di Myanmar, yang juga direkomendasikan setahun sebelumnya. Dua data tambahan itu adalah soal peran bisnis militer Myanmar, yang disebut Tatmadaw, dalam geno-sida dan kekerasan berbasis gender ter-hadap kelompok-kelompok etnis mino-ritas di negara tersebut, termasuk Rohingya. Menurut Marzuki, temuan itu memper-kuat dugaan kasus pemusnahan etnis Rohingya.

Dalam temuan awal yang diumumkan pada September 2018, tim sudah mereko-mendasikan pengadilan terhadap enam jenderal. Mereka adalah Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Wakil Panglima Militer Jenderal Senior Soe Win, Komandan Biro Operasi Khusus 3 Letnan Jenderal Aung Kyaw Zaw, Komandan Militer Sektor Barat Mayor Jenderal Maung Maung Soe, Komandan Divisi Infanteri Ke-99 Brigadir Jenderal Than Oo, dan Komandan Divisi Infanteri Ke-99 Brigadir Jenderal Aung Aung.

Para jenderal itu memang tidak secara langsung dan fisik melakukan kejahatan ke--manusiaan tersebut. “Tapi, dalam hukum internasional, mereka dinyatakan bertanggung jawab,” tutur Marzuki.

Laporan akhir tim sudah disampaikan kepada Mekanisme Penyelidik sebelum disampaikan di depan sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB, 9 September lalu. Tugas Mekanisme Penyelidik berikutnya adalah membuat berkas untuk persiapan penuntutan. Setelah pemberkasan, mereka akan meminta Dewan bersidang memutus-kan jenis pengadilan. Ada tiga jenis pengadilan yang bisa diputuskan, yaitu Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda; pengadilan nasional di Myanmar; atau gabungan keduanya.

Wakil pemerintah Myanmar meng-kritik laporan tim pencari fakta dan mem-per---tanya-kan motifnya. Menteri dari Kantor Penasihat Negara U Kyaw Tint Swe menga-takan Myanmar menolak pem-bentukan Mekanis-me Penyelidik. Dia meminta masyarakat dunia mendukung upaya pemerin-tahnya menyelesaikan krisis di Negara Bagian Rakhine, tempat kaum Rohingya dulu bermukim. Swe, seperti dilansir Myanmar Times, menyebut lapor-an tim Marzuki itu “tidak akurat, menyim-pang, dan tidak memiliki obyektivitas profesional”.

Protes Myanmar juga dilancarkan saat Marzuki menyampaikan laporannya di Jenewa. Wakil Myanmar mempertanyakan keabsahan laporan itu karena tim tidak pernah masuk ke negaranya. Mereka juga mempertanyakan penggunaan istilah “Operasi Pembersihan” untuk tindakan keras militer Myanmar di Rakhine pada akhir Agustus 2017 yang menyebabkan lebih dari 600 ribu warga muslim Rohingya mengungsi.

Marzuki menjawabnya dengan menunjuk-kan bukti berupa surat pemerintah Myanmar yang menyebut peristiwa itu sebagai “Operasi Pember-sihan”. Ia juga membela keabsahan laporan timnya meski tak bisa masuk ke Myanmar karena tak mendapatkan visa. “Para korban kan juga sebagian besar sudah di luar, yaitu di Cox’s Bazar, Bangladesh,” ujarnya.

Sebenarnya bukan hanya enam petinggi militer itu yang terindikasi terlibat kejahat-an genosida. Menurut New York Times, tim mengidentifikasi 150 orang yang punya jejak dalam genosida. Marzuki mem-benarkan adanya ratusan nama itu. “Kalau terus diselidiki, akan ditemukan bukti yang sama kuatnya dengan enam orang itu,” ucapnya. Namun tim tak meneruskan penyelidikan karena masa kerjanya habis.

New York Times mengidentifikasi salah satu aktor yang bisa terseret kejahatan genosida adalah Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1991. Suu Kyi menjadi Penasihat Negara sejak 2016 setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), meraup suara mayoritas dalam pemilihan umum 2015. Meski NLD menguasai parlemen, militer Myanmar masih menjadi penentu penting kebijakan negara itu.

Tim pencari fakta, menurut New York Times, mengetahui Suu Kyi tidak memiliki kendali atas tindakan Tatmadaw. Namun, sebagai pemimpin partai yang mengen-dalikan 60 persen kursi di parlemen, ia memimpin pemerintah yang berkuasa mengubah setiap hukum, kecuali konsti-tusi. Dengan situasi seperti itu, kata Christopher Sidoti, anggota panel tim, Suu Kyi memiliki tanggung jawab yang luas atas kon-disi hak asasi manusia di negaranya.

Militer Myanmar dan milisi sekutunya, menurut tim, juga terus menggunakan praktik penyiksaan dalam operasi ter-hadap Kachin, Shan, dan kelompok etnis minoritas lain di Myanmar utara. “Makin lama hal ini berlangsung, makin tidak mungkin bagi pihak pemerintah sipil untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pidana internasional atas situasi hak asasi manusia di Myanmar,” tutur Sidoti.

Menurut Marzuki, dalam laporan pertama tim yang dirilis pada September 2017, Suu Kyi tidak ditemukan terlibat langsung dalam genosida. Tapi belakangan ditemukan fakta lain. “Tim mendapat informasi bahwa Suu Kyi hadir dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan Nasional Myanmar di Naypyitaw (ibu kota Myanmar) pada awal Agustus, tak lama sebelum adanya Operasi Pembersihan,” Marzuki menjelaskan.

Operasi Pembersihan di Rakhine pada Agustus 2017 itu bermula dari rentetan peristiwa sebelumnya. Menurut Crisis Group, lembaga perdamaian non-peme-rintah transnasional, kekerasan oleh militer terhadap warga Rohingnya mendo-rong lahirnya Harakah al-Yaqin, yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA). Pemicu utamanya kekerasan komunal yang mematikan di daerah itu pada 2012.

Kelompok bersenjata di Rakhine itu melan-carkan sejumlah serangan terkoor-dinasi ke markas polisi penjaga perbatasan pada 2016. Militer meresponsnya dengan serangan besar pada Oktober 2016, yang diikuti Operasi Pembersihan. Militer menyatakan operasi kontra-pemberon-takan tersebut bertujuan merebut kembali lusinan senjata dan ribuan amunisi yang dirampas ARSA. Ketika serangan itu dilawan kelompok bersenjata, militer meningkatkan gempurannya, termasuk dengan helikopter. Selama minggu-minggu berikutnya, puluhan ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan tentara membakar beberapa ribu rumah.

Lalu terjadi serangan yang diklaim dilakukan ARSA pada 25 Agustus 2017 terhadap sekitar 30 pos polisi penjaga perbatasan dan pangkalan militer di Rakhine. Angkatan bersenjata Myanmar melancarkan serangan balasan yang kemudian menyebabkan lebih dari 624 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyebutnya sebagai salah satu eksodus pengungsi tercepat pada zaman modern dan telah menciptakan kamp pengungsi terbesar di dunia. PBB menggambarkan kekerasan di Rakhine itu sebagai “contoh buku teks tentang pembersihan etnis”.

Menurut Marzuki, Suu Kyi diketahui hadir dalam rapat awal operasi pada Agustus atau beberapa hari sebelum ope-rasi tersebut. “Apa yang dibahas? Kami belum mendapatkan bahannya. Tapi mung-kin ada hubungan antara rapat dan Operasi Pembersihan itu.”

Dugaan keterlibatan Suu Kyi kian kuat karena dia tidak bereaksi setelah menge-tahui operasi tersebut. “Dia tidak membuat pernyataan, tidak segera melakukan langkah-langkah penyelidikan, tidak mela-kukan pemeriksaan terhadap militer. Ia malah membantah terjadinya Operasi Pembersihan,” kata Marzuki.

Tim pencari fakta juga yakin bahwa Suu Kyi setidaknya melakukan pembiaran karena Panglima Militer Min Aung Hlaing pernah mengatakan semua yang dilakukan Tatmadaw dibicarakan dengan Suu Kyi. Sejumlah fakta itu belum membuat tim bisa menyimpulkan bahwa Suu Kyi layak dituntut atas kejahatan genosida. “Kami hanya bisa mengatakan tingkat keterlibatan Aung San Suu Kyi merupakan tanda tanya besar. Ini tugas IIMM untuk menelusuri lebih lanjut,” tutur Marzuki.

Abdul Manan (Reuters, New York Times, Myanmar Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus