Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK unjuk rasa anti-peme-rintah meletus di Lapang-an Tahrir dan sekitar-nya dua pekan ter-akhir, Zaky al-Rasyid tidak lagi mendekati wilayah di pusat Kota Kairo tersebut. Mahasis-wa Indonesia yang tinggal di Mesir sejak 2012 ini memilih mematuhi imbauan Kedutaan Besar Indonesia di Kairo tidak ke luar rumah pada akhir pekan, khususnya ke lokasi demonstrasi. “Setiap kali ke luar rumah selalu membawa paspor dan kartu tanda mahasiswa,” kata Zaky kepada Tempo, Rabu, 2 Oktober lalu.
Menurut lelaki 26 tahun yang kuliah magister ushul fikih di Al-Azhar University itu, gelombang unjuk rasa umumnya ber-langsung pada akhir pekan, dari Kamis sore hingga puncaknya seusai salat Jumat. Aksi protes tak sampai mengganggu ruti-nitas warga. “Sabtu biasanya sudah tak ada lagi keributan,” ujarnya. Tempat tinggalnya di Distrik 10, Nasr City, di timur Kairo, terbilang aman karena terletak 15 kilometer dari Tahrir.
Zaky mengatakan demonstrasi anti-pemerintah mendapat tandingan sejak pekan kedua. Mereka yang menentang Presiden Abdul Fattah as-Sisi berunjuk rasa di pusat kota dan Lapangan Tahrir, pusat revolusi Musim Semi Arab yang meng--gulingkan Presiden Husni Mubarak pada 2011. Adapun massa pendukung peme-rintah yang lebih sedikit beraksi di Jalan Salah Salim, sekitar 4 kilometer dari Tahrir.
Mesir kembali diguncang unjuk rasa anti-pemerintah sejak 20 September lalu. Musababnya adalah testimoni Mohamed Ali, pelakon dan kontraktor militer yang kini mengasingkan diri bersama keluarganya di Spanyol. Melalui serangkaian video yang diunggah di dunia maya, Ali menyingkap dugaan korupsi yang meluas di jajaran teratas rezim Sisi dan militer di tengah kesulitan ekonomi rakyat Mesir. Ali menuduh Sisi menghabiskan jutaan dolar uang rakyat untuk membangun istana, vila, dan hotel.
Dalam salah satu videonya, Ali, yang pernah bekerja sama dengan militer selama 15 tahun, menyerukan satu juta orang turun ke jalan dan berpawai saban Jumat untuk menuntut jenderal yang berkuasa sejak 2013 tersebut mengundurkan diri. “Waktu Anda habis,” kata Ali kepada Sisi. “Waktu terakhir Anda dengan rakyat Mesir adalah Jumat.” Ibarat bensin yang tersulut api, video Ali menyebar cepat lewat media sosial dan ditonton ribuan orang Mesir, yang lantas turun ke jalan-jalan Kairo dan kota-kota lain.
Pasukan keamanan merespons unjuk rasa itu dengan tindakan keras. Dalam dua pekan terakhir, polisi telah menangkap ribuan orang, termasuk pengacara, aktivis politik, jurnalis, dan pegiat hak asasi manusia. Salah satunya narablog terkenal, Alaa Abdel Fattah. Mereka kebanyakan dituduh sebagai bagian dari Al-Ikhwan al-Muslimun, gerakan politik berbasis Islam yang dilarang rezim Sisi pada 2014.
Eduard Cousin, jurnalis yang berbasis di Kairo, menilai tindakan represif aparat cukup ampuh meredam pergolakan rak-yat. Dia memperkirakan aksi protes tidak akan berlanjut untuk sementara waktu, kecuali beberapa yang tersebar di luar Kairo dan perdesaan Mesir. Tapi itu pun tidak berskala besar. “Polisi makin intensif -ber--jaga di sekitar pusat Kota Kairo,” tutur-nya kepada Tempo. “Kita mungkin me--lihat lebih banyak penangkapan dan penge-kangan keamanan yang makin ganas.”
Sisi menuding Ali telah menebar “kebohongan dan fitnah” dan menegur warga Mesir karena menonton video-video-nya. Dia bahkan baru mendarat di Kairo pada 27 September lalu, lima hari setelah melawat ke New York, Amerika Serikat, untuk mengikuti sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa serta bertemu dengan sekutu utamanya, Presiden Donald Trump. “Selama Islam politik berupaya menggapai kekuasaan di negara kami, kestabilan di kawasan tidak akan pernah terwujud,” ucapnya.
Sekembali dari New York, Sisi menulis di akun Facebooknya bahwa pertempuran melawan terorisme belum berakhir. Dia me--minta rakyat Mesir berfokus mem-berantas “kanker terorisme” yang meng-gerogoti negara. “Kita terus berjuang dan dengan segenap kekuatan insya Allah akan me--nang. Terima kasih kepada pasukan Mesir yang kuat, yang terus menggagalkan ideo-logi jahat,” tulisnya.
Abdul Fattah as-Sisi meme-rintah Mesir secara de facto sejak Juli 2013 setelah meng-kudeta Presiden Muham-mad Mursi. Sisi, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan, meleng-ser-kan Mursi menyu-sul gelom-bang protes yang menyebut Mursi dan organisasi yang dipim-pinnya, Al-Ikhwan al-Muslimun, memaksakan pe--nerapan syariat Islam, gagal mere-for--masi militer, dan keliru mengelola ekonomi. Situasi saat itu, menurut Zaky al-Rasyid, lebih mencekam daripada seka--rang. Banyak pendukung yang ber-balik menentang Mursi. “Aparat sampai memberlakukan jam malam,” ujar Zaky.
Mursi dan para koleganya kemudian ditahan. Al-Ikhwan al-Muslimun dinyata-kan sebagai organisasi teroris. Mursi wafat setelah pingsan saat diadili di Kairo dalam persidangan kasus spionase, satu dari sederet dakwaan yang dialamatkan kepadanya, 17 Juni lalu. Dokter menyatakan Mursi meninggal karena serangan jantung. Namun, menurut Sarah Leah Whitson, Direktur Human Rights Watch Timur Tengah dan Afrika Utara, “Mursi tewas setelah penganiayaan pemerintah selama bertahun-tahun.”
Sisi satu dari 14 anak penjaga toko yang bekerja di distrik wisata Khan al-Khalili di Kairo. Ayahnya menikah dua kali. Ibunya pasangan yang pertama. Dia tumbuh di lingkungan yang konservatif. Semua anak laki-laki dan perempuan harus mem-pelajari Al-Quran. Sisi menikahi sepu-punya, Entissar Amer, setelah lulus dari Akademi Militer Mesir pada 1977, saat usianya 23 tahun.
Sisi sejak awal memilih jalur militer, yang merupakan cara terbaik untuk mena-paki tangga sosial di Mesir. Sepanjang karier-nya sebagai tentara, dia hanya sekali ber-tempur, yakni saat Mesir di bawah Husni Mubarak tergabung dalam koalisi militer Amerika Serikat membebaskan Kuwait dari invasi Irak pada 1991. Selama beberapa hari dia terlibat serangan darat untuk mengusir pasukan pimpinan Saddam Hussein.
Karier Sisi melesat naik saat dia menjadi anak didik Direktur Intelijen Militer Jenderal Farid el-Tohamy, lalu mengepalai Badan Pengawasan Adminis-tratif, organi-sasi yang lebih ditakuti karena bertanggung jawab atas kasus korupsi. Tohamy dengan cermat menga-wasi karier Sisi, yang ketika itu menjadi komandan divisi infanteri mekanik sebelum memimpin zona militer utara. Pelan tapi pasti, Sisi sukses meng-gapai posisi yang pernah diemban Tohamy, yaitu Direktur Intelijen Militer, pada 2010.
Jumat Keramat untuk Sisi/REUTERS/The Egyptian Presidency/Handout via Reuters
Ketika angin perubahan Musim Semi Arab mengguncang Mesir, yang berujung pada penggulingan Mubarak, Sisi dan Tohamy menghadapi nasib yang berbeda arah. Mursi mencopot Tohamy setelah menudingnya menyembunyikan bukti untuk mengadili kasus korupsi Mubarak dan kroninya. Sedangkan Sisi mendapat kepercayaan penuh dari Mursi dengan didapuk sebagai Menteri Pertahanan.
Sisi mencuri panggung utama dalam politik Mesir pada musim panas 2013, setelah gerakan protes “tamarrud” (pem-be-rontakan) muncul menuntut Mursi diganti melalui pemilihan umum. Unjuk rasa anti-Mursi terus membesar dan beberapa demonstran mendesak Sisi menggulingkan Mursi. Pada 1 Juli, Sisi meresponsnya dengan mengultimatum Mursi agar menyelesaikan krisis dalam waktu 48 jam atau menghadapi intervensi militer. Mursi menawarkan negosiasi, tapi menolak mundur atau menyetujui pemi-lihan umum. Sikap itu membuat militer menggulingkan dan menahannya.
Sejak berkuasa, Sisi dan para jenderal penyokongnya seakan-akan tidak pernah bisa rileks dalam menyikapi demonstrasi. Enam tahun lalu, pasukan keamanan membantai ribuan orang, yang kebanyakan pendukung Al-Ikhwan al-Muslimun, yang memprotes pengambilalihan kekuasaan dari tangan Mursi. Padahal Mursi adalah Presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis pada 2012 setelah gerak-an rakyat mengakhiri 30 tahun kedik-ta--tor--an Mubarak. Sejak itu, menurut Human Rights Watch, rezim Sisi telah memen--jarakan sekitar 60 ribu tahanan politik, tuduhan yang selalu ditampik Sisi.
Hingga kini, tidak ada ruang toleransi bagi oposisi. Hussein Baoumi, juru kampanye Amnesty International Mesir yang berbasis di Tunisia, mengatakan sedikitnya 2.806 orang telah ditahan dalam dua pekan terakhir. “Ini gelombang penangkapan terbesar sejak Presiden Sisi resmi menjabat pada 2014,” katanya kepada Tempo, Rabu, 2 Oktober lalu. Dari jumlah itu, sedikitnya 2.268 orang bakal menghadapi dakwaan di pengadilan, menjadikannya kasus terkait dengan aksi protes terbesar dalam sejarah Mesir.
Baoumi mengatakan rezim Sisi selalu menghidupkan “hantu” Al-Ikhwan al-Mus-limun sebagai dalih untuk membung-kam para pengkritik. “Mereka menuduh semua oposisi dan bahkan media indepen-den dan organisasi hak asasi manusia sebagai ‘Islamis’ atau mendukung ‘Islamis’,” ujar-nya. Dalih ini keliru besar jika me--lihat kom-posisi tahanan di Mesir sejak awal era Sisi. Menurut dia, banyak tahan--an yang apolitis dan bukan muslim. Banyak politikus yang ditangkap, kata Baoumi, “Adalah kaum kiri dan liberal yang dianiaya Al-Ikhwan al-Muslimun selama pemerintahan singkat mereka.”
Tuduhan terorisme adalah jurus lain rezim Sisi untuk menyingkirkan lawan. Siapa saja bisa menjadi korban, dari perem-puan yang menentang perundungan sek-sual, pendukung Husni Mubarak, artis, jurnalis, pengacara, pembela hak asasi, politi-kus, eks pemimpin militer, calon presiden, hingga korban salah tangkap. “Presi-den Sisi mencoba mengecap semua penentangnya sebagai ‘oposisi Islam’ sehingga komunitas internasional akan mendukung tindakan keras yang diambil-nya,” tutur Baoumi.
MAHARDIKA SATRIA HADI (AL MONITOR, THE GUARDIAN, MIDDLE EAST EYE)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo