Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI KLUB diskusi kebangsaan ini, menurut polisi, ia mengenal orang-orang yang kemudian mengajaknya menyi-apkan kerusuhan dengan mendompleng unjuk rasa “Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI” pada 28 September lalu. Dengan tuduhan ini, polisi menangkap dan langsung menerungku Basith di rumah tahanan Kepolisian Daerah Metropo-litan Jakarta Raya beberapa jam sebelum aksi tersebut digelar. Rencana pengebom-an itu pun ambyar.
Di kertas itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini juga menggambar beberapa logo kantor pemerintah dan lembaga negara yang ia sebut berkaitan dengan negara Cina. Menurut Basith, logo itu mirip lambang palu dan arit. Ia menilai Indonesia sedang salah arah. Inilah salah satu alasan yang mendorong tersangka berusia 62 tahun itu ikut menyiapkan rencana pengeboman pada aksi massa tersebut. “Andil saya menyiapkan bensin tiga liter dan tempat tinggal,” katanya kepada Linda Trianita dan Lani Diana Wijaya dari Tempo pada Rabu, 2 Oktober lalu, di kantor Polda Metro Jaya. Saat wawancara, Basith, yang mengenakan baju tahanan oranye, didampingi dua penyidik.
Polisi menuduh Anda menyimpan bom molotov yang akan diledakkan saat Aksi Mujahid 212....
Saya menceritakan apa adanya seperti yang ditanyakan polisi. Saya hanya menyediakan tempat untuk empat orang yang membuat bahan peledak. Mereka semestinya ditempatkan di rumah Pak Slamet (bekas Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana [Purnawirawan] Slamet Soebijanto) di Cibubur, tapi penuh. Setelah itu, saya diminta menampung mereka.
Tapi polisi menemukan bom itu di rumah Anda....
Itu ditemukan di lemari kamar tamu. Tapi polisi bilang itu saya sembunyikan di lemari saya. Seolah-olah saya yang buat.
Bagaimana ceritanya bisa ada bom di rumah Anda?
Awalnya ada pertemuan di kediaman Pak Narko (bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal [Purnawirawan] Soenarko) pada 20 September lalu. Ada 15 orang di sana. Ada Pak Slamet Soebijanto dan Pak Narko. Kami membahas bagaimana caranya mengusir etnis Cina di negeri ini. Kami menyimpulkan mereka itu duri dalam daging, sehingga mereka harus diusir. Caranya dengan membuat mereka tidak nyaman berbisnis di sini.
Bagaimana Anda mengenal mereka?
Kami sama-sama di Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara. Ini klub wawasan kebangsaan. Saya bergabung di sana sejak 2016. Pak Sony (pensiunan TNI Laksamana Muda [Purnawirawan] Sony Santoso, tersangka kasus yang sama) baru bergabung. Saya baru kenal bulan kemarin. Saya dikenalkan oleh seseorang dengan Pak Soenarko saat mengikuti demonstrasi menolak hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi beberapa bulan lalu.
Apa saja yang didiskusikan di Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara?
Kami salah satunya mendiskusikan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sesuai dengan Pancasila. Isinya bukan seperti sekarang, perwakilan fraksi dari partai. MPR itu isinya Majelis 1 sampai 5, sesuai dengan Pancasila. Misalnya, Majelis 1 diisi tokoh agama sesuai dengan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Majelis 2 diisi tokoh pendidikan karena peradaban dari sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” berasal dari pendidikan. Majelis ini nantinya yang menyusun, mencari perwakilan dari provinsi, dan kami kontak orangnya. Total, sudah ada 800 anggota MPR. Kalau majelis sudah berdiri, presiden menjadi mandataris MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Pemikir Rakyat.
Lalu bagaimana sampai tercetus untuk melakukan pengeboman dalam pertemuan tersebut?
Untuk membuat mereka tak nyaman, kami menyepakati perlu membuat ledakan atau letusan di beberapa titik. Salah satu peserta pertemuan, Laode Sugiono (salah seorang tersangka), menyanggupi untuk menyiapkan rencana aksi peledakan di sejumlah titik tersebut. Ia menyanggupi untuk menyiapkan ledakan dan mendatangkan 20 orang dari Buton, Sulawesi Tenggara.
Istimewa (Barang bukti)
Siapa yang membiayai kedatangan 20 orang itu?
Wallahualam duitnya dari mana. Dari jumlah 20 yang dijanjikan, hanya empat yang datang.
Polisi menyebut Anda mendanai Rp 8 juta untuk mendatangkan mereka.…
Itu bukan dari saya. Dari obrolan Laode Sugiono kepada saya, duit itu dari Pak Soenarko. Totalnya Rp 9 juta. Rp 1 juta dipakai Laode untuk makan dan sisanya untuk pesawat. Laode juga menggadaikan motornya karena duit untuk pesawat kurang. Biaya pesawat tak hanya dari Buton, tapi ada yang dari Sorong, Papua Barat, dan Ambon.
Apakah empat orang ini yang kemudian menginap dan membuat senjata di rumah Anda?
Mereka awalnya akan diinapkan di rumah Pak Slamet di Cibubur. Tapi saat itu rumahnya sudah penuh karena di sana banyak orang yang menginap untuk persiapan demo di Cilangkap, Jakarta Timur. Lalu saya diminta menampung mereka.
Anda tahu mereka juga akan membuat bom?
Ini mungkin keteledoran saya. Setelah mereka masuk ke rumah, keesokan harinya mereka belanja Kratingdaeng dan lain-lain. Saya melihat mereka membuat itu (bom). Caranya ada yang memakai Supermi digencet-gencet. Saya baru tahu buatnya seperti itu.
Berapa lama mereka membuat bom di rumah Anda?
Setelah dua malam di rumah saya, barang (bom) itu jadi. Saya meminta kepada mereka jangan ditaruh di rumah saya. Kemudian saya juga meminta mereka keluar dari rumah saya. Tapi mereka minta waktu sampai mobil jemputannya tiba. Ternyata barangnya masih ada sampai ditemukan polisi.
Polisi menyatakan bom itu akan diledakkan saat Aksi Mujahid 212 pada 28 September lalu....
Awalnya untuk aksi hari Selasa, 24 September. Tapi mundur karena para pembuatnya baru datang pada tanggal 24 itu. Kenapa tanggal 28, karena momentumnya saat sedang ramai. Tapi ini enggak ada urusannya dengan demo. Ini hanya upaya mengusir Cina. Kami tidak ada urusan mengebom orang, melainkan pusat bisnis.
Di mana saja bom itu akan diledakkan?
Di tujuh titik yang merupakan pusat bisnis, seperti di Jalan Otto Iskandar Dinata (Jakarta Timur), Kelapa Gading, Senen, Glodok, Taman Anggrek.
Kapan dan di mana pembahasan lokasi peledakan?
Itu sudah dibahas sejak tanggal 20 (dalam pertemuan di rumah Soenarko).
Kalau untuk keputusan peledakan dalam Aksi Mujahid 212, kapan pembahasannya dilakukan?
Itu diputuskan saat kami bertemu di rumah Pak Sony di Tangerang. Di sana juga membahas teknis meledakkan bom. Kami juga menyepakati Laode Sugiono yang membawa bahan peledak. Lalu dia menjemput seseorang di Bekasi. Setelah itu, dia yang mendistribusikan kepada para eksekutor. Siapa mereka, saya tidak tahu.
Polisi kemudian menangkap Anda setelah mengikuti rapat tersebut....
Setelah keluar dari sana, saya melihat rumah Pak Sony sudah dikepung polisi. Mereka kemudian menghentikan mobil saya dan menggeledahnya. Polisi menemukan selongsong gas air mata yang tidak sengaja saya temukan di jalan. Lalu kemudian mereka memeriksa telepon seluler saya dan menemukan pembicaraan yang mereka sebut mencurigakan. Setelah itu, saya dibawa ke kantor polisi.
Anda menyesal terlibat kasus ini?
Andil saya menyiapkan bensin tiga liter untuk bahan peledak dan tempat tinggal untuk eksekutor. Tapi tuduhannya saya yang membiayai dan macam-macam. Saya dikorbankan.
Apakah kolega Anda di IPB sudah menemui di tahanan?
Pak Rektor IPB dan pembantu rektor sudah datang ke sini. Saya sudah menjelaskan semua ini kepada mereka. Pak Rektor minta saya bersabar. Saya akan mengundurkan diri karena kampus tercoreng gara-gara kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo