Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran Jenderal Prayuth Chan-ocha dalam kemelut politik Thailand bisa dikatakan "sudah dari sananya". Dia adalah bagian dari lingkar dalam militer yang melancarkan kudeta pada 2006 dan menindas kelompok Kaus Merah, pendukung Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang menewaskan 90-an orang empat tahun kemudian. Dua kejadian ini menerakan cap bahwa dia tergolong dalam kaum royalist, para penyokong monarki.
Kesan tunggal tersebut sempat terbelah ketika Prayuth dipilih menjadi Panglima Angkatan Darat, tak lama setelah tragedi berdarah itu. Dia berusaha mendekati kelompok Kaus Merah dan berbaik-baik dengan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra; pendeknya, dia menunjukkan sikap netral dalam politik. Di tubuh Pheu Thai-mesin politik metamorfosis dari partai bentukan Thaksin, kakak Yingluck-sampai ada yang percaya dia bisa dirangkul sebagai sekutu.
Kudeta pada Kamis dua pekan lalu menepis hal itu dan menegaskan lagi jati diri Prayuth. "Terbukti sekarang," kata Paul Chambers dari Institute of Southeast Asian Affairs di Chiang Mai University, "dia sebenarnya menjalankan permainan terhadap keluarga Shinawatra. Pada 20 Mei, dengan pemberlakuan keadaan darurat militer (saja), dia memperlihatkan diri sebagai royalist sejati."
Seperti sudah direncanakan, Prayuth memainkan langkahnya sebagai drama. Segera setelah mengumumkan keadaan darurat untuk "memulihkan ketertiban" pada Selasa pekan lalu, dia memproyeksikan diri sebagai juru damai. Prayuth juga menunjuk dirinya sendiri menjadi Kepala Dewan Nasional Perdamaian dan Pemelihara Ketertiban. Dan dia mengklaim diri sebagai mediator ketika berusaha mewujudkan kompromi di antara kubu-kubu yang berseteru.
Prayuth, kini 60 tahun, dikenal sebagai figur yang menjauhi pusat perhatian. Hubungannya dengan media digambarkan alot. Dia kerap membentak wartawan karena pertanyaan yang dia anggap bodoh. Prayuth merupakan bagian dari klik terkuat di tubuh Angkatan Darat yang dikenal dengan julukan Macan Timur.
Alumnus kelas 12 di akademi militer ini memupuk karier profesionalnya dengan merapat ke Anupong Paochinda, seniornya dan alumnus kelas 10. Mereka bertugas bersama di kesatuan elite Resimen Infanteri ke-21 di Chon Buri, menjadi pengawal Ratu.
Ketika Anupong menjadi Panglima Divisi Infanteri ke-2 di Prachin Buri, Prayuth mengintil di belakangnya, seperti bayangan. Duet ini berlanjut ketika Anupong dipromosikan sebagai Panglima Wilayah 1 Angkatan Darat.
Di masa Thaksin berkuasa, 2001-2005, mereka termasuk di antara perwira tinggi yang terancam disingkirkan-karena Thaksin, teman seangkatan Anupong di kelas 10, telah mengendus ketidaksetiaan mereka. Tapi kudeta pada 19 September 2006 mengubah situasi.
Setahun setelah penggulingan kekuasaan itu, Anupong, yang merupakan anggota Dewan Keamanan Nasional, dipromosikan menjadi Panglima Angkatan Darat. Lagi-lagi dia menggandeng Prayuth. Peluang Prayuth menggantikan Anupong terbuka pada 2010. Selain karena kedudukannya sebagai kepercayaan Anupong, dia masih punya waktu empat tahun di ketentaraan.
Sebenarnya banyak analis melihat simpatinya terhadap gagasan kaum oposisi untuk mendongkel pemerintahan yang sah. Tapi, dengan masa jabatan yang panjang, dia diyakini bisa mengubah lanskap politik. Perubahan yang digadang-gadang itu sejauh ini tak terjadi. Konflik antara oposisi pendukung monarki dan pendukung pemerintah, yang merupakan kepanjangan tangan Thaksin, tetap tajam.
Sang Jenderal akhirnya memilih kudeta, intervensi yang dalam kata-kata Kaewmala, komentator politik dan sosial online, justru menciptakan situasi "kehendak mayoritas lagi-lagi diremehkan". Dalam keadaan normal, waktu yang dia punya tak banyak lagi; masa jabatannya akan berakhir pada September.
Prayuth seharusnya bisa menjalani hari-hari akhir karier militernya-dan pensiun-dengan damai. Tapi dengan melancarkan kudeta-yang justru menambah masalah-dia seolah-olah yakin bakal sanggup mengendalikan Thailand lebih baik ketimbang para pendahulunya.
Purwanto Setiadi (BBC, Independent, The Nation, Financial Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo