Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan yang digelar di Ruang Mendut, Hotel Grand Sahid, Jakarta, awal Mei lalu itu berlangsung hangat. Begitu dibuka, sejumlah peserta, terutama utusan Provinsi Nusa Tenggara Timur, langsung memberondong wakil Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka mempertanyakan alasan Kementerian membahas kembali kebocoran sumur minyak Montara di Laut Timor pada 2009.
Salah satu yang berbicara lantang adalah Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni. Dia mempersoalkan langkah Kementerian Lingkungan membuka lagi kasus yang ia anggap mengendap terlalu lama. Padahal, ketika warga Timor Barat gencar menuntut ganti rugi kepada pemerintah Australia, pemerintah Indonesia terkesan tak serius mendukung mereka. "Lalu apa maunya pemerintah Indonesia sekarang?" kata Ferdi.
Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan Sudariyono, yang memandu acara itu, tak terpancing komentar pedas sebagian tamu yang dia undang. "Kami berharap semua pihak punya persepsi yang sama dan bisa berjuang bersama-sama," ujarnya. Setelah Sudariyono memberi penjelasan panjang-lebar, ketegangan pun mereda.
Diskusi siang itu akhirnya mengalir lancar selama hampir tiga jam. Peserta pertemuan membahas berbagai langkah hukum yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia bersama warga Timor Barat. "Pekan-pekan ini Menteri Lingkungan akan memberikan surat kuasa khusus kepada Kejaksaan Agung," kata Sudariyono kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Anjungan pengeboran minyak di Montara, Blok West Atlas, Laut Timor, perairan Australia, meledak dan terbakar pada 21 Agustus 2009. Saban hari, sekitar 400 barel (64 ton) minyak mentah tumpah ke laut lepas. Sembilan hari kemudian, tumpahan minyak mentah itu sudah memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, yang berbatasan dengan ZEE Australia.
Ladang minyak Montara terletak sekitar 690 kilometer di sebelah barat Darwin dan 250 kilometer di barat laut Truscott, Australia Barat. Penanggung jawab pengeboran adalah PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia Pty Ltd, yang bermarkas di Perth. Ini anak usaha PTTEP Thailand, yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra. Di Indonesia, PTTEP-melalui afiliasi dengan perusahaan lain-juga memiliki beberapa konsesi tambang yang hingga kini masih aktif.
Kebocoran kilang minyak itu akhirnya bisa ditutup pada 3 November 2009. Namun tumpahan minyak telanjur mengalir ke perairan Indonesia. Pada 21 September 2009, misalnya, jejak tumpahan minyak ditemukan pada jarak 51 mil laut dari Pulau Rote. Dampaknya terasa sampai dua tahun setelah kebocoran itu. Pada tahun pertama setelah kebocoran, hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah Timor Barat anjlok sekitar 85 persen. Hasil panen petani rumput laut juga berkurang hampir 90 persen dari saat normal.
Pada 15 Juli 2010, pemerintah Indonesia membentuk Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor. Tim dipimpin Masnellyarti Hilman, Deputi Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Menggandeng sejumlah lembaga penelitian, tim tersebut mengambil sampel pencemaran lingkungan, menghitung kerugian, dan menyusun argumen untuk menuntut ganti rugi.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, pemerintah Indonesia menghitung kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi sekitar Rp 22 triliun. Itu termasuk biaya pemulihan lingkungan akibat kebocoran sumur minyak tersebut. "Perhitungan kerugian jelas ada, tapi berapa yang kami klaim tak bisa dibuka," ucap Masnellyarti, Rabu pekan lalu.
Mengawali negosiasi, pada 27 Juli 2010, Tim Advokasi terbang ke Perth. Di sana untuk pertama kalinya tim Indonesia bertemu dengan PTTEP Australia. Ternyata argumentasi keras yang disiapkan dari Jakarta belum terpakai dalam pertemuan itu. "Mereka menerima kami dengan baik," ujar Masnellyarti.
Pada beberapa pertemuan awal, PTTEP menunjukkan iktikad baik mereka. Di Singapura, pada 4 Maret 2011, misalnya, tim PTTEP berjanji membayar biaya penanggulangan tumpahan minyak yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. Mereka pun berjanji memberikan bantuan bagi masyarakat NTT berupa dana corporate social responsibility (CSR). Pemerintah Indonesia mengusulkan dana CSR sebesar US$ 5 juta, tapi PTTEP menawar US$ 3 juta.
Itu baru skema penyelesaian sementara. PTTEP juga bersedia menegosiasikan ganti rugi yang lebih besar. Mereka bahkan berjanji menyediakan bank guarantee sebesar US$ 50 juta. Adapun pemerintah Indonesia mengusulkan jaminan minimal dua kali lipat usulan PTTEP. Kedua pihak pun sepakat menuangkan poin-poin itu dalam nota kesepahaman (MOU) tertulis yang akan dirumuskan bersama.
Dalam perjalanannya, proses negosiasi yang semula tampak "gampang" itu ternyata menjadi "ruwet". Pihak PTTEP terus mengulur waktu penandatanganan MOU. Alasannya ada saja, dari pergantian kabinet sampai alasan yang terasa ganjil, misalnya banjir di Thailand. Mereka pun bolak-balik mengganti tim perunding.
Dalam acara jumpa pers di Hotel Ritz-Carlton Jakarta, September 2011, Executive Vice President PTTEP Group Luechai Wongsirasawad membuat pernyataan yang mengejutkan tim Indonesia. Menurut dia, setelah melakukan verifikasi ke lapangan, PTTEP menyimpulkan kebocoran minyak Montara tak merusak lingkungan Indonesia. Alasannya, sebagian besar tumpahan minyak Montara mengalir ke perairan Australia. Tim PTETP, kata dia, juga tak menemukan jejak minyak Montara di sepanjang garis pantai Pulau Timor dan Rote.
Pada Mei 2012, PTTEP kembali menjanjikan "gula-gula". Mereka menyatakan akan membayar CSR sebesar US$ 5 juta seperti diminta pemerintah Indonesia. Namun PTTEP meminta poin yang menyebutkan perihal pencemaran minyak telah masuk ke wilayah Indonesia itu dihapuskan dalam draf MOU. Mereka pun meminta, dengan pembayaran CSR, masalah Montara dianggap selesai. "Tentu saja kami menolak," ujar Masnellyarti.
Melihat gelagat buruk dari PTTEP, sejak akhir 2012, tim negosiasi merekomendasikan pemerintah Indonesia menempuh jalur hukum. Namun pemerintah Indonesia masih mencoba jalur diplomasi langsung ke pemerintah Thailand. Tapi upaya itu pun tak membawa hasil.
Mentok di jalur negosiasi, pada Mei 2013, tim Kementerian Lingkungan membuat kajian soal peluang membawa kasus Montara ke jalur hukum. Menurut tim, pemerintah Indonesia bisa menempuh jalur hukum internasional, hukum pidana, dan hukum perdata.
Di jalur hukum internasional, Indonesia bisa memakai sejumlah deklarasi internasional di bidang lingkungan. Misalnya Rio Declaration on Environment 1992 dan Stockholm Declaration on Human Environment 1972. Pemerintah Indonesia bisa menuntut pertanggungjawaban pemerintah Australia karena lokasi ladang minyak yang dibor PTTEP berada di wilayah Australia. "Itu bisa lewat negosiasi bilateral," demikian tertulis dalam dokumen kajian.
Secara pidana, menurut tim itu, Indonesia bisa memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Dalam hukum positif Indonesia, siapa pun yang sengaja atawa lalai merusak lingkungan bisa dihukum maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Pilihan berikutnya, menurut tim Kementerian Lingkungan, pemerintah Indonesia bisa menuntut PTTEP ke jalur perdata. Soalnya semua upaya penyelesaian di luar pengadilan sudah buntu. Caranya, pemerintah bisa menggugat PTTEP di pengadilan Perth atau di Jakarta. Di Negeri Kanguru, pihak Indonesia bisa menggunakan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup Australia. Adapun di Jakarta, pemerintah bisa memakai hukum perdata dan Undang-Undang Lingkungan Hidup Indonesia.
Dari sekian peluang hukum yang tersedia, menurut Sudariyono, dalam tahap awal, pemerintah Indonesia akan menggugat PTTEP secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemerintah hanya akan menuntut ganti rugi atas kerusakan lingkungan. Untuk kerugian sosial dan ekonomi, pemerintah mendorong masyarakat Timor Barat mengajukan gugatan bersama (class action)."Biar ganti ruginya bisa maksimal," kata Sudariyono.
Jajang Jamaludin, Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo