Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa pemerintah Malaysia merasa perlu adanya lembaga resmi penangkal rumor? Bukankah selama ini pemerintahan Mahathir sudah terbukti paling cepat bereaksi terhadap segala hal yang dinilai "menyerang" pemerintah Malaysia? Dengan kontrol atas media massa cetak dan elektronik, pemerintahan Mahathir mampu mendominasi informasi ke masyarakat.
Menurut beberapa pengamat, sikap pemerintahan Mahathir itu merupakan muara dari runtutan kekisruhan politik yang dipicu oleh pemecatan dan penangkapan bekas Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, pada akhir 1998. Sejak saat itu, gerakan oposisi makin jelas. Semangat perlawanan oposisi juga makin kuat dengan munculnya Partai Keadilan, yang dinakhodai Wan Azizah Wan Ismail, istri Anwar. Singkat kata, politik Malaysia berwarna dengan demonstrasi-demonstrasi, perlawanan oposisi dalam pemilihan umum, November 1999, yang disusul dengan penangkapan empat tokoh oposisi, sebulan silam (TEMPO edisi 46).
Nah, gerakan perlawanan tersebut berkembang sejalan dengan tumbuhnya media massa alternatif, media yang bisa menyalurkan pendapat "miring" yang tidak selalu setuju dengan pemerintah. Oplah tabloid Harakah, milik Partai Islam Se-Malaysia (PAS)salah satu partai oposisimisalnya, meningkat tiga kali lipat dalam setahun belakangan. Berita-berita alternatif di internet semakin banyak dibaca di Malaysia. Akhirnya, media massa yang tidak propemerintah dinilai sebagai kekuatan antipemerintah, pro-Anwar, sekaligus penyebar rumor. "Padahal, berita-berita alternatif tersebut merupakan berita yang berdasarkan fakta," demikian menurut James Wong Wing On, analis politik lulusan Universitas Monash, Australia.
Sementara itu, masyarakat Malaysia makin skeptis dengan berita versi pemerintah. Contoh yang paling baru adalah berita soal sakitnya Mahathir akibat terjatuh dari kuda ketika dr. M dan keluarga berlibur di Argentina. Pihak pemerintah dengan sigap membantah keras soal sakitnya Mahathir, sementara masyarakat tidak yakin atas kebenaran bantahan pemerintah, yang disebarluaskan melalui media massa mainstream itu.
Menurut beberapa wartawan Malaysia, kondisi penuh rumor, ketika orang membicarakan apa-apa yang ada di balik panggung politik, memang makin merebak. "Banyak orang menjadi analis politik dadakan," kata seorang wartawan. Pembicaraan tentang siapa yang ingin berlaga menjadi ketua UMNO (United Malays National Organization) mendatang, misalnya, menjadi pembicaraan hangat di kampus, kafe-kafe, dan berita-berita tak jelas di internet. Padahal, menurut analis politik Mustafa K. Anuar, rumor yang beredar di masyarakat disebabkan oleh sikap pemerintah, yang memang tidak bersedia memberi tempat untuk pendapat yang berbeda. "Akhirnya, masyarakat cenderung tidak percaya pada berita versi pemerintah," demikian tuturnya.
Masalahnya sekarang, bisakah sikap skeptis masyarakat itu ditangkal dengan lembaga baru penangkal rumor tersebut? Belum tentu. Selama ini, masyarakat Malaysia sebenarnya sudah mampu memilah berita yang diterimanya.
"Langkah itu justru akan memperburuk citra pemerintah," kata Steven Gan, editor situs Malaysiakini, salah satu media alternatif yang dituding pro-oposisi oleh pemerintah Malaysia.
Sebenarnya semua itu tidak lepas dari cermin gejolak politik di Malaysia sendiri, yang makin dipenuhi dengan perpecahan. Ketidakpuasan atas kepemimpinan Mahathir di UMNOkarena partai ujung tombak Barisan Nasional dinilai gagal dalam pemilu lalu, misalnyamerupakan salah satu soal besar. Sementara itu, pemerintahan Mahathir sibuk mempertahankan citra bahwa pemerintahnya masih solid. "Jadi, pemerintahan Mahathir sedang gelisah," kata seorang pengamat. Dan kegelisahan itu terpancar dari pembentukan jaringan penangkap rumor.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo