Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kabar dari Kota Gaza

Apa yang terjadi menjelang jam-jam terakhir sebelum kematian Ketua Hamas Abdul Aziz al-Rantissi? TEMPO melaporkan langsung dari Kota Gaza, Palestina.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah berwarna salem itu terletak beberapa meter dari pertengahan Jalan Nasr di Kota Gaza. Terbagi dalam dua jalur sempit, jalan itu diisi deretan toko makanan dan kebutuhan sehari-hari. Satu-dua mobil melintas. Beberapa pejalan kaki menggegaskan langkah ke rumah tersebut. Di antaranya, Sami Abu Jazar, 42 tahun. Dia menjejak ambang pintu rumah itu dengan wajah berduka. Kepada TEMPO, Abu Jazar mengaku tengah ber-tasyi—memberi belasungkawa—atas kematian tuan rumah: Abdul Aziz al-Rantissi. Ketua Hamas itu tewas oleh roket Israel pada Sabtu malam, dua pekan silam.

Kediaman keluarga Abdul Aziz al-Rantissi tak begitu besar. Bertingkat dua, lantai bawah digunakan sebagai toko bahan makanan. Di sebelahnya terletak ruang tamu berukuran sedang. Foto Abdul Aziz dan Ahmad Yassin tergantung di dinding, mengapit bendera Hamas berwarna hijau. "Kami, para peziarah, terdiam dan menangis ketika keluarga Al-Rantissi menceritakan detik-detik terakhir Almarhum," ujar Abu Jazar dengan nada bergetar.

Detik-detik terakhir Abdul Aziz dituturkan beberapa waktu lalu kepada Abu Jazar dan para peziarah lain oleh istri Abdul serta saudara lelaki Almarhum, Adnan al-Rantissi. Sementara itu, beberapa warga lain muncul. Mereka ingin bertanya tentang musibah tersebut, namun Fatimah, anak tertua Abdul Aziz, hanya menutupi wajah dengan tangan dan meratap. Abu Jazar tercekat, namun mengeraskan usahanya untuk berceritera kepada TEMPO.

Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, Abdul al-Rantissi muncul di rumahnya di Hay Nasr. Telah beberapa bulan ia tak bertemu keluarganya. Pada hari-hari akhir pekan, biasanya kelima anak perempuan Al-Rantissi berkumpul di rumah orang tua mereka. Maka, mendada segala bahaya, Abdul Aziz bersikeras ikut reriungan di sana kendati telah diwanti-wanti oleh istri dan para pengawalnya. "Itulah bentuk kasih sayang Almarhum kepada keluarganya," kata Shalah Na'amy, seorang tetangga. "Dia amat yakin, nyawanya akan tercabut di mana pun Allah menghendaki," Shalah melanjutkan.

Maka, malam itu, sejak waktu asar hingga isya, Al-Rantissi tenggelam di tengah reuni keluarga. Dia membesarkan hati anak-anak perempuannya yang gelisah karena ayah mereka telah masuk daftar sebagai buruan nomor satu Israel. Cucu-cucunya, yang berjumlah 7 orang, berebutan menggelendot di pundaknya dan bergelung di kakinya. Shalah menuturkan, kakek berusia 57 tahun itu sempat menegur salah seorang cucunya agar tidak menjahili saudaranya.

Jam berdentang pukul tujuh malam. Seusai salat magrib berjemaah, Ahmad—dia kerabat sekaligus pengawal Abdul Aziz—dikontak via telepon genggam oleh Akram Nasr. Akram adalah pengawal yang bertanggung jawab atas kunjungan Abdul Aziz ke Hay Nasr. Dia yang akan menjemput Abdul Aziz dan membawanya kembali ke kantor sekaligus tempat persembunyiannya di Hay Jala.

Abdul al-Rantissi akan memakai mobil Subaru putih yang menyertainya ke mana pun selama ini. Ahmad mengusulkan agar menggunakan lebih dari satu kendaraan untuk mengecoh mata-mata Israel, walaupun saat itu tidak ada pesawat Israel yang melintas. Ahmad memang ekstrahati-hati. Dia pernah cedera dalam usaha pembunuhan Abdul Aziz sebelumnya.

Alhasil, Ahmad membawa Al-Rantissi keluar dari Jalan Nasr dengan mobil Odey. Dia berhenti di pertengahan Jalan Al-Lubaddy, yang menghubungkan kawasan Jala dan Hasr. Sesaat kemudian, Subaru putih muncul bersama Akram dan Muhammad, salah satu putra Al-Rantissi. "Serah-terima" Abdul Aziz di antara para pengawal itu berlangsung beberapa detik.

Selang 20 menit, ledakan dahsyat mengguntur di atas langit Gaza. Tiga rudal "Hellfire" dimuntahkan helikopter Apache milik Israel ke mobil yang tengah membawa Abdul Aziz al-Rantissi. Ketiga penumpang tewas. Dan dalam sekejap, ritual dukacita itu membahana dari segala penjuru: lengking ratapan, suara tahlil bertalu-talu, teriakan pembalasan, dan kutukan dunia yang toh sia-sia.

Mata ganti mata, nyawa ganti nyawa. Kematian Al-Rantissi seolah menggeliatkan lagi semboyan ini dari dalam sekam. Sebuah semboyan lama yang pernah diwariskan—sejatinya, oleh leluhur yang sama—kepada Palestina dan Israel.

Hermien Y. Kleden (Jakarta), Zuhaid Elqudsy (Palestina)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus