Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tiga Minggu, Dua Martir

Pembunuhan pemimpin Hamas diduga melemahkan organisasi ini. Tapi muncul generasi baru Hamas yang semakin membahayakan Israel.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kakek itu mengingatkan salah seorang cucunya agar tidak nakal. Ia menenangkan hati putri-putrinya yang gelisah, khawatir akan keselamatan sang ayah. Setelah itu, ia memimpin salat magrib bersama.

Sejak diangkat jadi ketua Hamas bulan silam, Abdul Aziz al-Rantissi, 57 tahun, jarang bertemu dengan keluarganya, keluarga besar yang dulunya tinggal di sebuah rumah bercat putih kekuning-kuningan, bertingkat dua, namun tak begitu besar, di Hay Nasr, Gaza. Tapi pertemuan Sabtu malam penghujung April itu ternyata sebuah pamit. Seperti diketahui, Al-Rantissi tewas dalam perjalanan pulang ke kantor. Sebuah helikopter Apache bikinan Amerika, milik tentara Israel, menembakkan tiga rudal: dua pengawalnya tewas di tempat, Al-Rantissi tewas di Rumah Sakit Al-Shifa, dengan pecahan rudal yang melukai leher dan badannya.

Belajar dari kematian Syekh Ahmad Yassin Maret silam, dan Al-Rantissi barusan, kepemimpinan Hamas kini di tangan orang yang dirahasiakan. Tapi, hingga Jumat pekan lalu, wartawan TEMPO Zuhaid el-Qudsy menyaksikan simpati belasungkawa masyarakat Palestina terhadap pemimpin lama yang "syahid" itu terus mengalir. "Hubungan" antara si mati dan dunia yang ditinggalkannya tetap terjaga, berlangsung.

Tiga jenderal di pucuk tertinggi militer Israel, PM Ariel Sharon, Menteri Pertahanan Shaul Mofaz, dan Kepala Staf Mosh Ya'alon, hakul yakin bahwa pembunuhan pemimpin Hamas itu strategi yang tepat: menimbulkan gelombang reaksi kebencian seketika, tapi akan efektif mengikis aksi-aksi kekerasan Hamas untuk jangka panjang, masa depan Israel yang bersih dari ancaman teror. Dan Amerika setuju. Namun sejumlah pengamat Arab, PBB, Uni Eropa, dan Vatikan mengutuk dan meragukan sukses taktik itu.

Dalam tiga minggu, Israel telah mencetak dua martir besar. Kita tahu, martir adalah bagian penting dari tradisi perlawanan. Tak ada tangis dan ratap ketika jenazah Ketua Hamas Abdul Aziz al-Rantissi memasuki kediamannya di kawasan utara Kota Gaza, Senin pekan lalu. Yang ada gairah meluap di tengah 20 ribu orang yang mengacungkan ibu jarinya ke udara. Seorang aktivis Hamas bertanya dengan pengeras suara. Suaranya jernih: Apa organisasimu? Massa menjawab: "Hamas". Siapa singamu? Massa menjerit: "Al-Rantissi".

Ya, seperti yang diperkirakan Sharon dan kawan-kawan, reaksi jangka pendek itu muncul, melebar ke luar Jazirah Arab. Di Kairo, Mesir, mahasiswa menggalang aksi demonstrasi dengan sasaran Kedutaan AS di kawasan Maidan Tahrir. Kemarahan serupa juga merebak di Jakarta dan Surabaya. Selasa pekan lalu di Surabaya mahasiswa bergerak ke kantor konsulat AS, menyanyikan lagu intifadah. Di Solo sekitar 300 mahasiswa muslim mengarak foto Al-Rantissi dan Syekh Yassin menyusuri jalan protokol Slamet Riyadi.

Harus diakui, Sharon bukan sekadar kepala negara yang memandang penyelesaian militer satu-satunya cara mujarab. Ia sosok politisi yang mencoba memetik keuntungan politik. Meski keputusannya menarik tentara Israel dari beberapa kawasan di Gaza mengakibatkan kabinetnya terancam ambruk, Sharon berhasil memuaskan hati kelompok militan Israel dengan membunuhi tokoh garis keras Palestina. Tak mengherankan bila Presiden AS George Walker Bush merestui proposal Sharon berupa tindakan unilateral Israel terhadap Palestina.

Tapi inilah Palestina. Dan sejumlah pengamat justru melihat pembunuhan itu mempercepat sebuah proses penting di tubuh Hamas: regenerasi. Di mata analis Reuven Paz, pembunuhan Al-Rantissi hanya pergantian ahli strategi generasi tua semacam Al-Rantissi ke pejuang lebih muda yang akan bertempur menghadapi Israel, berapa pun harga yang harus dibayar. Untuk itu pemimpin sayap politik Hamas, Musa Abu Marzuk, menyiapkan "100 operasi pembalasan". Abu Marzuk tak menjelaskan model operasi ini, tapi Dr. Hamid Abdul Rauf, pakar politik Timur Tengah di Kairo, yakin "100 operasi pembalasan" itu tak lain istisyhadiyah (bom bunuh diri). "Karena itulah yang paling mungkin kami lakukan," kata Mohammad Bassam Adnan, anggota Hamas yang bermukim di Suriah, kepada koresponden majalah ini di Kairo lewat saluran telepon.

Intifadah pertama meletus pada 1988 setelah Syekh Yassin ditahbiskan sebagai pemimpin spiritual Hamas. Intifadah merupakan perang yang tak pernah terbayangkan ahli perang modern. Intifadah aksi pembangkangan sipil, mogok total, boikot produk Israel, membentangkan barikade, hujan batu oleh pemuda Palestina melawan tank Israel, hingga corat-coret di dinding. Semua aksi yang akhirnya memaksa dunia internasional menoleh ke Tepi Barat dan Gaza. Yassin dianggap sebagai biang kerok intifadah, dan Israel pernah menciduknya pada 1989.

Sejak itu Hamas mencuri hati rakyat Palestina yang mulai frustrasi terhadap pemerintahan otoritas Palestina di bawah Yasser Arafat. Pasalnya, aksi Hamas lebih nyata ketimbang kerja politik para politisi Palestina di meja perundingan. Hamas mengirim anggotanya menerobos perbatasan menjadi martir bom bunuh diri yang membuat rakyat Israel merasa tak aman di negerinya sendiri. Perdamaian Oslo kandas pada 1996, menyusul perjanjian Wye River yang ditandatangani dengan setengah hati oleh politisi kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 1999.

Lambannya proses perdamaian kembali menimbulkan frustrasi rakyat Palestina. Kemarahan memuncak ketika Ariel Sharon yang memimpin Partai Likud menerobos kawasan Masjid Aqsa di Yerusalem pada September 2000. Tindakan ini memicu aksi demonstrasi yang belakangan dikenal dengan nama Intifadah Al-Aqsa. Hamas juga berada di balik intifadah yang kedua ini, dan Al-Rantissilah tokohnya. Orang ingat kata-katanya waktu itu: "Tujuan utama intifadah tidak lebih untuk membebaskan Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem."

Al-Rantissi tewas di tangan musuh, sesuai dengan keinginannya: syahid. Dan Hamas yang populer kini semakin populer. Di Kota Gaza, di perempatan-perempatan jalan, di antara asap hitam akibat ban yang dibakar, suasana mirip karnaval. Anak-anak berlarian dengan ikat kepala mengusung bendera hijau Hamas dan bendera hitam Jihad Islam. Ya, barisan para simpatisan bertambah panjang, dan batas-batas yang memisahkan kelompok Hamas dengan kelompok-kelompok perlawanan lainnya semakin kabur. Brigade Syahid Aqsa sudah mengumumkan: nasib mereka sama seperti Hamas, dan mereka berjanji akan bekerja sama, menghadapi musuh bersama.

Akan munculkah intifadah ketiga? Yang jelas, sebuah regenerasi berlangsung. Proses yang lebih cepat dari biasa. Di Kota Gaza, seorang laki-laki perlahan membimbing anaknya yang berusia lima tahun mendekat ke makam Al-Rantissi. Si anak diam, tapi memorinya merekam. "Anak lelaki saya akan menjadi pejuang dan martir. Bagi kami, kematian adalah kehidupan," kata ayahnya.

Raihul Fadjri, Zuhaid el-Qudsy (Kairo), Anas S. (Solo), Adi Mawardi (Surabaya)


Tebas Kepala, Injak Ekor

Selama sewindu terakhir, Israel berupaya memboyakkan pertahanan Hamas dengan gaya "tebas kepala, injak ekor"—lebih-lebih setelah Ariel Sharon berkuasa. Berbagai percobaan pembunuhan itu diwarnai sukses dan kegagalan. Tak mengherankan bila Sharon menjadi tidak sabar: dalam sebulan terakhir, peluru kendali pun dipakai untuk menghabisi satu demi satu pemimpin Hamas guna melemahkan organisasi itu. Bagi Israel, Hamas adalah biang keladi berbagai bom bunuh diri yang telah memetik ratusan nyawa warga Yahudi.

Januari 1996
Yahya Ayyash, ahli bom Hamas, dibunuh di Gaza.

September 1997
Khaled Mashaal, pemimpin sayap politik Hamas, selamat saat akan ditewaskan.

Juni 2003
Al-Rantissi selamat dari percobaan pembunuhan. "Saya tidak takut. Saya ingin mati syahid," katanya kala itu.

24 Agustus 2003
Helikopter Israel menyerang mobil Ismail Abu Shanab, tokoh senior Hamas, di Kota Gaza. Abu Shanab dan dua pengawalnya tewas.

30 Agustus 2003
Rudal Israel membunuh Abdullah Aqel, pemimpin sayap militer Hamas, di Gaza.

1 September 2003
Serangan helikopter menewaskan Khader al-Husari, anggota senior Hamas, di Kota Gaza.

6 September 2003
Sharon mengirim pesawat tempur ke rumah Marwan Abu Ras, salah seorang pejabat Hamas, ketika Syekh Ahmad Yassin bertandang ke rumahnya. Saat itu Abu Ras sedang menawarkan makan siang kepada Ahmad Yassin. Abu Ras segera mendorong kursi roda Yassin ke luar rumah sebelum rudal melumatkan rumah itu. Yassin selamat.

22 Maret 2004
Atas perintah langsung Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, helikopter Israel melepas rudal hanya beberapa langkah dari pintu masjid saat Syekh Ahmad Yassin keluar dengan kursi rodanya seusai salat subuh. Yassin tewas dengan organ tubuh bercerai-berai. Dua anak dan dua pengawalnya ikut tewas. Sharon memberikan selamat kepada eksekutor pembunuh Yassin. Israel menyatakan akan membunuh pemimpin Hamas lainnya.

17 April 2004
Helikopter Israel mengirim rudal yang menghantam mobil Abdul Aziz al-Rantissi di Gaza. Seorang anak dan pengawalnya tewas di tempat. Al-Rantissi meninggal di rumah sakit. Sharon memberikan selamat kepada eksekutor pembunuh Al-Rantissi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus