TOKOH oposisi paling terkenal di Korea Selatan itu kembali dari Kwangju tempat kelahirannya. Semua pendukungnya gelisah menunggu. Tokoh itu, Kim Dae-Jung, berjanji akan memberikan keputusan apakah ia mau menjadi calon presiden sepulang dari perjalanan itu. Namun, Kim ternyata diam saja. Ia terikat janji dengan tokoh oposisi lainnya, Kim Young-Sam, ketua Partai Reunifikasi Demokratis (RDP) untuk menjaga keutuhan kelompok oposisi. Demi persatuan itu, keduanya sepakat tidak berebut kursi presiden dan akan mengajukan satu saja calon dari RDP, hasil pilihan bersama. Perpecahan di RDP diperhitungkan kedua Kim akan menguntungkan kelompok berkuasa, Partai Keadilan Demokratik (DJP) yang mencalonkan ketuanya Roh Tae-Woo. Tokoh ini yang sedang populer karena dengan dahsyat mampu membalik citranya dari kawan diktator Chun Doo-Hwan menjadi pahlawan yang mampu mencegah perang saudara. Toh pendukung Kim Dae-Jung tak sabar. Jumat pekan lalu aspirasi mereka tampil lewat RDP di parlemen. Kim Dae-Jung didesak agar mau mencalonkan diri. Calon presiden, menurut kelompok ini, harusnya tokoh yang paling populer di masa kini. Dan tak ada tokoh lain, kecuali Kim Dae-Jung. Kim Dae-Jung terbujuk? Senin awal pekan ini ia menerima pendukungnya di rumah dan memberi jawaban, "Saya akan mengikuti kehendak dan pendapat rakyat." Apa artinya? Juru bicara Kim mengemukakan pada wartawan, dalam perjalanannya ke Kwangju, di setiap provinsi yang dikunjunginya Kim senantiasa memberikan jawaban itu. Artinya, Kim bersedia menjadi calon presiden bila rakyat mendesaknya. Para pengamat politik di Korea Selatan menganggap ini sikap diplomatis Kim untuk mencari pembenaran. Beberapa waktu lalu ia tegas menolak dicalonkan bila pemilihan presiden secara langsung disetujui rezim Chun karena desakan. "Persetujuan itu -- harusnya didasarkan kerelaan," katanya ketika itu. Kenyataannya kini, pemilihan presiden disetujui karena desakan. Bila Kim Daelung benar bersedia dicalonkan, sejarah pertarungan duo Kim akan berulang -- seperti yang terjadi di tahun 1979. Berbagai kemiripan semakin nyata. Maka, Korea Selatan kemungkinan besar sedang menghadapi kekacauan lain. Kisah dari sejarah di tahun 1979 itu berawal dari naiknya nama Kim Dae-Jung di tahun 1971, ketika ia nyaris mengalahkan Jenderal Park Chung-Hee dalam pemilihan presiden. Ia kemudian menjadi lebih terkenal karena sikapnya yang mengakibatkan ia ditindas dan dibuang ke luar negeri. Di tahun 1978, ketika Park tertembak, Kim Dae-Jung memenangkan nominasi pencalonan presiden 1979 di kubu oposisi -- ketika itu Partai Demokrasi Baru (NDP). Namun, pengamat politik menilai, yang sebenarnya menghadapi kekerasan rezim Park Chung-Hee di Korea Selatan bukan Kim Dae-Jung, melainkan tokoh oposisi lainnya, Kim Young-Sam -- ketua NDP. Ia bertarung ketika Kim Dae-Jung dibuang ke luar negeri -- tercatat berulang kali menjalankan mogok makan untuk memenangkan konsesi kekuasaan. Maka, ketika Park tertembak, pendukung Kim Young-Sam merasa tokoh inilah yang sepantasnya dicalonkan meraih kursi presiden. Persaingan keras duo Kim pun terjadi, dan di tengah kekacauan itulah pemberontakan bersenjata terjadi di Kwangju. Kim Dae Jung ditangkap dengan tuduhan mendalangi kericuhan Kwangju, dan Kim Young-Sam bersama sejumlah tokoh oposisi lain juga ditahan. Dua jenderal, Chun Doo-Hwan dan Roh Tae-Woo, muncul sebagai penguasa militer. Posisi duo Kim di masa kini tak banyak berubah. Kim Dae-Jung masih saja seorang idealis yang tak kenal kompromi, dan seorang filosof -- yang mempelajari kitab-kitab Korea kuno di taman bunga. Ia senantiasa populer karena citra pahlawan yang teguh memegang prinsip. Di sisi lain, Kim Young Sam seorang politikus pragmatis. Perubahan cuaca politik yang kini terjadi adalah buah tangannya. Kendati tidak nyata, ia menurut para pengamat politik adalah arsitek rentetan kericuhan mahasiswa dan pengatur strategi kelompok oposisi yang akhirnya mampu mendesak penguasa. Sikap politik kedua tokoh oposisi itu juga masih seperti yang dulu. Kim Dae Jung bersikap "lurus" dan populis. Pendapatnya mengalir mengikuti arus pendapat masyarakat. Mempersiapkan kampanye presiden, ia melontarkan pokok-pokok pikirannya dalam menjalankan program pemerintahan. "Kita akan mengembangkan pasar bebas yang lepas sama sekali dari pengaruh pemerintah," katanya. Selain mencanangkan akan menjalankan swastanisasi perusahaan pemerintah dan bank, Kim juga menjanjikan tawar-menawar bebas dalam menentukan upah buruh. Kaum buruh diberi hak mogok dan polisi dilarang keras campur tangan. Berapi-api tokoh oposisi berusia 63 tahun itu berjanji, akan menumpas perdagangan "bawah tanah" dalam arti mengikis habis kemudahan yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar yang dekat dengan pejabat-pejabat pemerintah. Selain menuduh korupsi di lingkungan pejabat, ia juga menuding modal Amerika Serikat sebagai biang keladinya. Sikap Kim Dae-Jung senada dengan meruyaknya suasana anti-Amerika yang berpangkal pada kecurigaan AS telah membantu rezim Chun. Kebencian menajam ketika tersebar isu pasukan AS di Korea membantu menumpas pemberontakan berdarah Kwangju. Ingatan pada Perang Korea (1953) ketika AS tampil sebagai penyelamat telah memudar. Sikap politik Kim Young-Sam jauh berbeda dari nada itu. Di RDP tokoh ini ditunjang kelompok pengusaha dari generasi Perang Korea. Pendukung Kim Young-Sam ini umumnya masih melihat AS sebagai partner sementara sikap anti-asing terarah pada Jepang. Tidak aneh bila kelompok ini berpihak pada AS dalam perang dagang AS-Jepang yang kini sedang melanda dunia. Pola ekonomi ini pula yang dijalankan rezim Chun. Silang pendapat sudah mulai terdengar. Kubu Kim Young-Sam mengkritik program ekonomi yang dicanangkan Kubu Kim Dae Jung. Grup usaha swasta Ssangyong Investment Securities, yang berdiri di belakang Kim Young-Sam, menyangkal, perekonomian Korea terbentur birokrasi dan kekuasaan. "Bahkan di tengah kericuhan yang lalu, pertumbuhan ekonomi masih bisa terjadi," ujar seorang juru bicara korporasi itu. Seperti di tahun 1979, pihak militer pun tampil sebagai pemain -- ketiga. Senin pekan ini terbetik berita, Kepala Staf Angkatan Darat Korea, Jenderal Park Hee-Do, mengemukakan pendapat, Kim Dae-Jung akan mendapat kesulitan bila ia berani mengikuti pencalonan presiden. Kim, pejuang oposisi yang ditindas selama 16 tahun dan sudah 55 kali kena tahanan rumah sejak kepulangannya Februari 1985 cuma tersenyum. "Saya tidak punya komentar," katanya. Jim Supangkat, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini