KAMI menganggap Uni Soviet biang keladi perang. Bukan Amerika
Serikat.
Deng Xiaoping
Dengan semangat anti Soviet yang meluap-luap, Deng Xiaoping dan
rombongannya memasuki Amerika Serikat 29 Januari lalu. Resminya,
kunjungan pertama seorang pembesar RRC ke Amerika Serikat itu,
"untuk memberi arti pada normalisasi hubungan kedua negara."
Tapi dimanapun dan dalam kesempatan apa pun, Deng menggunakan
waktunya untuk memojokkan Moskow. "Kerja sama Cina, Jepang,
Amerika Serikat dan Eropa perlu dalam menghadapi Beruang kutub,"
kata Deng. "Beruang kutub" dan "hegemonis" merupakan dua nama
yang selalu digunakan Deng tatkala berbicara mengenai Uni
Soviet.
Dalam pembicaraan pribadi antara Deng dan Presiden Carter, Wakil
Perdana Menteri Cina itu kabarnya mendesak agar Washington
mengambil sikap keras terhadap Moskow. Ketika bertemu dengan
anggota-anggota Congress, Deng memperingatkan mereka mengenai
tidak bergunanya menanda-tangani suatu persetujuan pembatasan
persenjataan dengan Uni Soviet. Katanya: "Kalian bisa, dan
silakan, menanda-tangani segala macam persetuJuan yang kahan
senangi, tapi berhati-hatilah dengan kecenderungan hegemoni Uni
Soviet. Moskow tak pernah bisa dipercaya."
Kampanye anti Soviet Deng ini jelas bertentangan dengan
pendekatan Washington terhadap Moskow berkenaan dengan makin
mendekatnya pembicaraan pembatasan senjata (Salt II) antara
kedua negara. Desakan dan kampanye anti Soviet Deng itu terutama
dirasakan mengganggu oleh Menlu Amerika, Cyrus Vance, dan
penasehat-penasehatnya dalam urusan Soviet. Orang-orang Deplu
Amerika ini merasa strategi global mereka -- "jangan mengganggu
Moskow" terganggu oleh Deng.
Dongkol
Di tengah kesibukan menerima Deng -- yang kadang terganggu oleh
demonstrasi anti Maois dan pro-Taiwan -- pihak Gedung Putih
terpaksa juga menyempatkan diri menjernihkan persoalan. Pada
suatu kesempatan bertemu dengan wartawan, Presiden Carter dengan
terus terang berkata: "Amerika Serikat masih terikat pada usaha
detente dengan Uni Soviet. " Pernyataan ini kabarnya
mendongkolkan Deng. Mungkin itu sebabnya di akhir kunjungan
tidak dikeluarkan suatu pernyataan bersama. Sumber-sumber Gedung
Putih mengungkapkan kehendak Deng yang keras untuk suatu
pernyataan bersama. Tapi karena kata "hegemoni" didesakkan oleh
pihak tamu kepada tuan rumahnya, gagasan pernyataan bersama itu
gagal.
Meski demikian, kunjungan itu toh dinilai "sukses dan
menyenangkan" oleh Deng. Kepuasan Deng ini tentu saja tidak
melulu karena ditandatanganinya persetujuan dalam kerja sama
ilmu dan teknologi, pertukaran kebudayaan dan konsuler. Lebih
dari itu Deng telah berhasil menimbulkan perdebatan -- dan
perbedaan pendapat -- di kalangan para pemimpin Amerika. Paling
tidak kini perbedaan pendapat antara penasehat Carter --
Brzezinski dan kawan-kawannya di Dewan Keamanan Nasional dan
kalangan Deplu AS makin mendapatkan bentuk yang nyata. Adalah
Ketua DKN Brzezinski Zbigniew yang membujuk Carter agar
menandatangi saja persetujuan bersama Cina-Amerika, meski di
sana ada kata "hegemoni". Pihak Deplu AS nampaknya berhasil
meyakinkan Carter untuk tidak melakukannya.
Koboi
Berada 9 hari di Amerika Serikat, Deng dan rombongannya
berkunjung juga ke berbagai obyek penting. Ia pergi ke Houston,
di Texas, dan kagum pada kegiatan angkasa luar Amerika dan
teknologi minyak. Ketika mengunjungi pabrik mobil Ford, Deng
berkeliling pabrik bersama Ford III, cucu pendiri pabrik itu,
dan direktur pabrik mobil itu sekarang. "Suatu pemandangan yang
indah, pendekar anti kapitalis bercengkerama mesra dengan biang
kapitalis," kata seorang diplomat di Washington. Yang tidak
kurang menarik adalah pemandangan Deng -- menggunakan topi koboi
-- menyaksikan pertunjukan rodeo, permainan naik kuda khas
Amerika.
Di akhir kunjungannya, di Seattle, Deng mengalami kelelahan dan
menderita flu berat. Pada acara makan pagi dengan para wartawan
di kota ujung Barat dekat perbatasan Kanada itu, Deng diwakili
oleh Menlu Huang Hua. Di sana Vietnam yang mendapat kesempatan
diperbincangkan. Menyebut Hanoi menginvasi Kamboja, Hua
menyerukan kepada "bangsa-bangsa yang cinta damai agar tidak
tinggal diam". Ketika masih di Washington, Deng kabarnya memberi
tahu Carter mengenai rencana Peking "memberi pelajaran" kepada
Hanoi. Bagaimana bentuk "pelajaran" yang akan diberikan itu,
hingga kini belum diketahui. Tapi tentara Cina kabarnya telah
dipusatkan di sepanjang perbatasan dengan Vietnam.
Peringatan keras Cina terhadap Vietnam diulangi kembali di Tokyo
ketika Wakil PM Deng dan rombongan singgah tiga hari di Jepang
dalam perjalanan pulang dari Amerika. "Suatu sanksi harus
dijatuhkan terhadap Vietnam," kata Deng kepada Masayoshi Ohira,
Perdana Menteri Jepang. Tapi katanya pula: "Cina akan bertindak
dengan hatihati dalam urusan ini." Menyebut masalah Indocina
sebagai "ancaman terhadap Asia", Deng juga mendesak agar Jepang
"mengamat-amati Vietnam." Deng memuji sikap Jepang yang
bekerjasama denan Asean dalam usaha mendesak Vietnam menarik
pasukannya dari Kamboja.
Mengingatkan Jepang mengenai kepulauan Kuril -- milik Jepang
yang diduduki Uni Soviet sejak Perang Dunia II - yang berangsur
jadi pangkalan militer Rusia, Deng membujuk Tokyoagar secara
bersama -- dengan Cina, Amerika dan Eropa -- menghadapi ancaman
"beruang kutub." Juru bicara pemerintah Jepang, Rokusuke Tanaka,
menjelaskan Ohira sama sekali tidak memberikan persetujuan pada
ide-ide anti Soviet yang dikampanyekan Deng.
Tapi di Tokio sendiri, semangat anti Soviet makin menaik
bersamaan dengan bertambahnya hasrat mempersenjatai diri di
Jepang. Dan Deng, kini secara terang-terangan tidak berkeberatan
jika Jepang -- yang telah berdamai dengan Cina -- mempersenjatai
kembali dirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini